Yang Perih Saat Berpisah

dhani
3 min readApr 4, 2020

Hal paling menyebalkan dari perisahaan adalah membereskan kenangan. Seperti membersihkan meja kerjamu, merapikan barang-barang yang hendak kamu bawa pulang, mencopot poster atau sticky notes dari tembok, atau keluar dari grup kerja yang tak lagi relevan keberadaannya.

Kita ngga pernah disiapkan untuk menghadapi hal semacam ini. Sejak kecil, kita diajarkan untuk belajar keras, ranking satu supaya nanti bisa dapat karir yang baik. Tapi selama sekolah dan tumbuh sampai bekerja, kita ngga pernah diajari bagaimana menghadapi perpisahan, kegagalan, dan putus hubungan kerja.

Kita diajarkan bagaimana cara untuk sukses, diajarkan cara untuk bisa jadi orang besar. Tapi ngga pernah diajari bagaimana menerima kegagalan atau bagaimana menjalani hidup sebagai orang yang biasa-biasa saja. Lantas saat kita berusaha dan gagal, kita benar-benar terpukul lantas susah untuk bangkit.

Aku merasakan benar itu saat harus membereskan hal-hal yang berkaitan dengan berakhirnya kontrak. Misalnya saat berjalan ke meja kerjaku di lantai empat untuk menyelesaikan sisa pekerjaan. Barang-barang yang kubawa pulang tak banyak. Minyak kayu putih, balsam, tolak angin, dan kecap. Bekerja di bawah AC membuatku mudah masuk angin, sementara kecap adalah bumbu paling gampang untuk membuat makanan jadi sedap.

Setelah mejaku bersih, aku memandang ruangan itu untuk terakhir kalinya. Di dinding tempat whiteboard menempel hanya tersisa pesan-pesan ringan soal deadline tulisan yang semestinya aku selesaikan minggu ini. Lucu bagaimana waktu dua minggu berlalu, sebelumnya kamu demikian bersemangat untuk mengurus sebuah proyek. Memeras otak untuk membuat sesuatu yang menghibur hanya untuk dikabarkan bahwa kamu tak lagi bisa mengeksekusi ide itu.

Di ruangan kerjaku ada sound system yang membantuku memutar lagu kencang-kencang. Biasanya saat teman lain sudah pulang pukul 7 malam, aku memutar lagu Tatsuro Yamashita, The Adams, Paul Desmond, Didi Kempot, sampai Daughters. Kadang bersama teman-teman seruangan, kami bernyanyi kencang usai mengambil video.

“Siang kusaksikan engkau terduduk sendiri
Dengan kostummu yang berkilau
Dan angin sedang kencang-kencang berhembus
Di Jakarta”

Menggelikan bagaimana ingatan bekerja. Kamu seringkali tak pernah menghargai hal-hal sepele sampai kamu kehilangan. Seperti suara parau saat berteriak “Di Jakarta” saat menyanyikan lagu Konservatif. Kenangan bergerak seperti intelejen negara melacak pasien Corona. Senyap dan seringkali tidak berguna. Nongol di saat-saat yang tidak kamu inginkan.

Aku pikir perlu kerja keras untuk merelakan. Terutama jika kamu telah menghabiskan kebersamaan untuk waktu yang lama. Merelakan jadi pekerjaan mudah jika kita bisa menghapus ingatan tadi. Saat-saat bersama, perbincangan yang panjang, juga harapan-harapan tentang masa depan adalah kenangan yang susah direlakan. Perkara merepotkan seperti ini bisa ditemukan dala pekerjaan, hubungan percintaan, atau juga persahabatan.

Aku berusaha untuk tidak melankolis. Putus hubungan kerja, ya sama dengan kejadian hidup yang lain. Manusia dilahirkan, jatuh cinta, berpisah, sakit, lantas mati jadi bangkai. Tidak ada yang perlu dipersoalkan berlebihan. Tapi susahnya menjadi manusia yang punya perasaan, kadang kita tak bisa merelakan yang sudah biasa. Biasa bersama, biasa ada, biasa selalu hadir. Kebiasaan itu yang sering membuat kita jadi tidak rela.

“Aku nelongso mergo ke bacut tresno
Ora ngiro saikine cidro
Ora ngiro saikine cidro”

Saat mencabut sticky notes berisi pesan, tugas, dan keterangan pekerjaan membuatku ingat peristiwa yang telah lewat. Seperti makan siang bersama, rapat kreatif untuk membuat sesuatu yang lucu, sampai juga evaluasi setelah pekerjaan yang melelahkan. Tiap lembar kertas itu menyimpan cerita dan kamu harus membereskan itu semua untuk kemudian membuangnya ke tempat sampah.

Membereskan benda-benda yang terlanjur punya cerita dengan kita juga perkara yang merepotkan. Sebuah botol minuman, cabai pedas instan, tisue basah, juga kue kering yang ada di meja kerja bersama jadi semacam monumen. Memilih antara sampah dan memento.

Akan lebih mudah mengumpulkan semuanya dan mengembalikan seluruh benda itu ke pemiliknya. Tidak perlu ada ikatan emosional. Tapi tentu bukan manusia jika tak membuatnya jadi rumit. KIta menyimpan hal-hal bodoh sebagai penanda, semacam museum, agar sewaktu-waktu bisa kembali mengingat satu peristiwa yang partikular.

Meninggalkan yang telah selesai semestinya jadi latihan mendewasakan diri. Kamu tidak bisa memaksakan hal yang tak bisa kamu kendalikan. Kamu pelan-pelan jadi lebih kuat daripada kemarin. Bisa menghadapi kegetiran dengan kepala lebih dingin. Kamu bisa memilih untuk meratapi perpisahan itu, atau melanjutkan hidup.

Kupikir sedih dan jadi melankolis saat pandemi adalah kemewahan luarbiasa. Saat banyak orang merasa ketakutan, aku disibukkan dengan perasaan sedih (atau marah) karena kehilangan. Aku tak kehilangan orang yang kusayang karena COVID-19, aku tak menderita penyakit itu, atau kekurangan makan karena mesti mengisolasi diri.

Tapi jika boleh, aku mau mengingat hal baik dari apa yang sudah berlalu. Karena rasa sakit akibat berpisah atau pergi dari sebuah relasi yang awalnya baik-baik saja, betul-betul tidak tertahankan.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet