Beberapa hari ini aku merasa cemas, setidaknya empat kali aku bermimpi menemukan masalah di kantor. Padahal faktanya, tidak ada masalah sama sekali. Tugas yang diberikan padaku selesai, pekerjaan yang diberikan memuaskan klien, dan aku masih bisa menulis untuk diri sendiri.
Lantas apa yang membuat aku cemas? Kecemasan ini berasal dari asumsiku pada atasan. Selama beberapa bulan terakhir ia sangat ketat, dalam artian kritis dalam pekerjaanku. Tidak puas melihat hasil tulisan, memintaku untuk menulis lebih baik, lebih kritis dalam mengambil sudut pandang, dan tidak malas saat membuat argumen. Dari kacamata apapun masukan ini adalah hal yang baik.
Tapi aku merasa ada yang berbeda. Mungkin karena selama ini aku merasa tulisanku sudah baik, tapi saat ditantang untuk lebih baik dan lebih kritis, ada ego yang terluka. Rasa nyamanku terusik dan menganggap sikap tegas atasanku (sebagai pemberi kerja dan upah) merupakan ancaman atas eksistensiku. Padahal dengan atau tanpa kritiknya, aku memiliki pembaca yang setia, atau setidaknya menyukai tulisanku.
Aku takut bertemu dengan atasanku. Pertama karena enggan diberi kritik lagi, kedua karena tak mau diberikan tugas lebih, dan ketiga aku merasa perlu membuktikan diri atau setidaknya berharap dia akan memberikan pujian. Aku merasa pekerjaanku sudah baik dan apa yang kulakukan sangat berdampak. Tapi berdasarkan metrik dan data-data yang ada, asumsiku salah, dan ini membuat egoku semakin hancur.
Ada kutipan yang sangat aku ingat. Orang seringkali tak akan ingat atas apa yang kamu berikan atau perbuat untuk mereka, tapi orang akan selalu ingat bagaimana caramu memperlakukan mereka. Selama tiga tahun terakhir, atasanku ini adalah pihak yang sangat mendukung karir menulisku.
Ia mengijinkan aku menulis buku pribadi, mengembangkan naskah film, memberikan subsidi konseling psikolog, memberikan kemudahan ijin untuk ke rumah sakit, memberikan gaji yang sangat layak, lebih dari itu ia memberikan kesempatan bagiku untuk tumbuh. Aku selalu lupa hal-hal baik yang telah ia lakukan, karena selama beberapa bulan terakhir ia membuatku merasa tak berharga.
Barangkali ini yang membuatku bermimpi buruk. Pekerjaan pekerjaan kantor bertambah, apresiasi tak ada, tekanan mental bertambah, tugas yang tak membuat diri bersemangat, dan perasaan tak berharga. Semua memburuk karena ditambah asumsi-asumsi, dari fragmen-fragmen ingatan yang aku sendiri lupa konteksnya. Seperti kamu ingat dimarahi seseorang, tapi lupa apa penyebabnya, yang kamu rasakan adalah pedih dan marah belaka.
Kita kerapkali tunduk dan percaya pada perasaan, dalam kasusku, aku berasumsi jika atasanku ini membenciku, tak suka yang aku kerjakan, dan ingin membuatku sengsara. Padahal jika merujuk pada fakta-fakta yang ada, ia melakukan sebaliknya. Memberikan banyak hal yang aku sendiri tidak ingat. Lalu mengapa aku merasa takut masuk kantor besok selasa? Apa yang membuatku merasa bahwa aku tak berharga?
Apa yang aku kerjakan saat ini sebenarnya menulis. Tapi bukan menulis yang aku inginkan. Aku menulis untuk menyelesaikan tenggat, memenuhi ekspektasi kantor, dan aku menikmatinya. Aku belajar hal baru, melakukan riset sederhana, dan dari situ aku menemukan hal-hal unik yang menambah isi kepalaku yang nyaris kopong seperti onde-onde murah.
Tapi aku tak bisa menulis hal semacam ini saban hari. Siapa yang mau membaca? Siapa yang mau membiayai? Lebih dari itu, siapa yang akan dibantu dari tulisan macam ini. Sejak bekerja aku dibuat berpikir bahwa segala sesuatu harus punya kontribusi, nilai yang diberikan. Kalau aku melakukan ini, kamu dapat apa? Kalau kamu memberikan ini, apa yang harus aku lakukan? Hubungan transaksional yang diukur berdasarkan mutu kinerja.
Aku ingin tahu apakah ada kemungkinan yang lain? Misalnya, untuk mendukung seorang penulis, kita memberikan patronase, sponsorship, agar ia membuat sesuatu yang ia sukai, dan kita sebagai patron menunggu dengan cemas-gembira, akan karya yang dibuat. Ide semacam ini sudah dilakukan di karyakarsa atau di patreon. Tapi bisakah kita langsung memberikan dukungan pada si pembuat karya?
Aku sendiri punya empat ide buku, masing-masing buku ini sudah memiliki outline dan satu bab yang selesai ditulis. Aku berharap bisa menemukan pembaca yang cocok dan bila ia cukup gila, bisa memberikan bantuan padaku untuk menuliskannya. Aku fokus menulis, kalian membayarku melakukan itu. Kamu bisa memilih ide buku mana yang menurutmu menarik, lalu aku akan menyelesaikannya sesuai tenggat yang kita sepakati.
Crowdsourcing tapi untuk penulis yang di kepalanya tak berniat menulis sesuatu yang gemilang macam tetralogi pulau buru atau game of thrones, atau juga yang estetik macam cantik itu luka atau cala ibi. Tulisan sepele, tidak megah, dan kurang gagah untuk disebut karya sastra. Mungkin tulisan yang tidak jelek-jelek amat tapi bisa kamu nikmati sembari berak di kamar mandi. Tulisan itu yang ingin kubuat.
Jika seorang jurnalis di luar negeri bisa mengirimkan ide tulisan atau reportase ke sebuah media lantas meminta biaya peliputan. Penulis buku kiranya berhak melakukan hal serupa. Dari situ, aku bisa tetap hidup layak (tidak bermewah-mewahan, cukup untuk makan dan beli kaos band), mampu menulis yang aku sukai, dan pembaca tahu benar apa yang ia dapatkan. Setidaknya tidak beli kucing dalam karung, entah mendapat bangkai atau anjing gila.
Jika aku membuka pendanaan bersama untuk menulis buku, apakah kalian mau ambil bagian membiayai?