Tua Bersama

dhani
3 min readAug 8, 2021

Setelah putus, hari-hari dalam hidup saya nyaris dihabiskan untuk fokus konseling dan memperbaiki diri. Hubungan terakhir lahir dari codependency akut yang membuat hidup berantakan. Setelah setahun lebih terapi, konseling, olahraga, dan menulis jurnal, saya jadi lebih baik.

Beberapa teman menganjurkan saya untuk pacaran lagi, belakangan makin sering memperkenalkan dengan kawan perempuan lain, tujuannya untuk membuat kami punya hubungan. Tapi saya tahu, mungkin dalam hati, saya belum benar-benar utuh.

Beberapa hari terakhir saya dipusingkan dengan rumah. Ibu sudah tak bekerja, adik saya juga harus bolak-balik antara mengurus suaminya dan Ibu kami. Tak pernah terpikirkan hal yang lain. Kerap telat membalas pesan, hilang dari peredaran, dan menghabiskan waktu menunggu kabar ibu.

Di tengah pandemi, akhirnya adik mengalah dan tinggal bersama ibu. Setelah lega, saya jadi berpikir, jika menikah apakah partner saya mau menerima saya yang masih menanggung kebutuhan keluarga? Bagaimana jika dia merasa bahwa keluarga saya merepotkan? Bagaimana jika dia merasa saya tak peduli padanya?

Jika hendak menikah, atau punya pacar, mungkin hal yang akan saya bicarakan dulu adalah bagaimaa kami memandang hidup. Apakah ia menerima saya sebagai penulis? Bagaimana ia memandang hutang? Bagaimana cara ia menghabiskan dan memandang uang? Apakah agama jadi hal yang penting?

Secara khusus, saya memandang diri sebagai orang yang liberal. Saya tak mau punya anak, lebih tepatnya anak adalah keputusan sadar yang diambil istri. Karena bukan saya yang akan mengandung 9 bulan kehamilan, bukan saya yang akan menyusui dan menghadapi baby blues.

Saya juga terpikir tentang bagaimana relasi kami? Apakah kami mau membuat relasi setara atau ia ingin diayomi seperti standar keluarga konservatif? Apakah ia mau bekerja? Apakah kami mau membeli rumah? Apakah kami akan memelihara hewan? Bagaimana prefernsi makanan kesukaan? Suka yang asin atau manis? Tahan pedas atau tidak?

Hal penting bagi saya adalah bagaimana menghadapi trauma masa lalu. Bagaimana cara menghadapi depresi. Saya punya gangguan kecemasan, suicidal, dan pernah selfharm. Apakah kami bisa menerima satu sama lain ketika mengalami relapse? Jika tidak apa yang harus dilakukan?

Hal-hal intim seperti seks, preferensi relasi seks yang diinginkan, bagaimana bersikap di ruang privat, apa bahasa sentuhan yang diinginkan? Apakah ingin didominasi? Mendominasi? Dan bagaimana kita bersepakat perihal menunjukkan hal-hal personal pada keluarga, teman, sahabat?

Saat ini saya berharap untuk pulih, sembari menunggu, saya menuliskan harapan-harapan. Keinginan untuk punya partner yang ideal. Saya menulis dengan detil. Seperti jenis rambut, mata, tinggi, warna kulit, sikap, watak, pekerjaan. Saya percaya harapan yang spesifik akan dikabulkan dengan spesifik. Manifesting kalau kata anak kiwari.

Kadang saya merasa tidak tahu diri. karena punya standar yang tinggi dalam mencari pasangan. Tapi, saya juga tahu, kalau saya layak dicintai sempurna, dengan keras kepala, dengan keinginan tua bersama. Karena saya juga akan mencintainya seperti itu. Lantas mengapa kita harus mencari sosok yang kurang?

Saya merasa kita harus membuat keinginan yang spesifik. Percaya kalau kita layak dicintai, layak disayang, dan diperlakukan dengan baik. Hanya dengan begitu kita akan tahu nilai kita sebagai manusia. Pernikahan, adalah usaha tua bersama dengan orang asing yang akan merepotkan dan membuat jengkel dirimu sepanjang hayat.

Saya ingin tua bersama partner saya nantinya. Menikmati hari demi hari bersama. Membaca buku, mendengarkan musik, menonton film, menyimak kelas maestro, menghadiri konser, jalan kaki bersama, dan kegembiraan-kegembiraan kecil lainnya. Saya ingin membuat ingatan baru bersama, melupakan luka, dan belajar dari kesalahan masa silam.

Semoga doa ini dikabulkan tuhan.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

Responses (6)