Menulis bagi saya bukan lagi pekerjaan. Kegiatan ini jadi terapi untuk melawan kecemasan dan rasa takut. Belakangan sejak awal pandemi, kepala saya selalu bising dengan skenario-skenario rumit yang berujung pada tragedi. Berkali-kali saya ingin menyakiti diri sendiri, karena sesak di dada dan penyesalan akan kesalahan yang saya bikin, tidak tertanggungkan.
Pada awalnya saya hanya menulis kata-kata pendek. Seperti sakit, capek, lelah, marah, perih, takut, sepi, muram, dan sejenisnya. Belakangan saya coba menjelaskan perasaan-perasaan tadi. Mengapa saya merasa sakit? Apa yang membuat saya capek dan lelah? Apa sumber kemarahan saya? Dan seterusnya. Hasilnya isi kepala saya menjadi tenang, suara bising berkurang, dan saya bisa lebih jelas melihat keadaan.
Akun ini saya gunakan untuk menuangkan pikiran. Setiap hari saya menulis apa yang saya rasakan, sembari mengutip lagu-lagu dari band emo midwest yang belakangan sedang gandrung saya dengarkan. Kalimatnya akan sering berantakan. Racauannya mungkin tidak jelas. Kasualitas dan koherensi kalimat akan membingungkan, tapi ini bukan soal benar dan salah, tapi soal menulis apa yang saya rasakan.
Saat sedih saya akan banyak menggunakan kata-kata dengan tendensi melankolis. Saat gembira saya akan menggunakan kata-kata yang agresif dan riang. Tentu pilihan kata ini sangat-sangat subjektif. Bagi banyak orang senja itu melankoli, tapi bagi saya senja itu agresif. Karena hari telah berakhir dan malam akan tiba. Ada gerak di situ meski tak semua menyadari.
Menulis jadi alat yang penting untuk mengkomunikasikan perasaan saya. Saya susah ngomong. Jika kita jumpa, mungkin, saya akan sering banyak diam. Tapi jika menulis dengan medium blog semacam ini, saya bisa cerewet, pamer kutipan, pamer pengetahuan, dan bisa ngomong panjang lebar.
Suatu hari pada 1842, Nathaniel Hawthorne yang saat itu berusia 38 tahun menulis dalam catatannya: “To write a dream, which shall resemble the real course of a dream, with all its inconsistency, its eccentricities and aimlessness — with nevertheless a leading idea running through the whole. Up to this old age of the world, no such thing has ever been written.”
Sejak penciptaan Epos Mahabarata 6 abad sebelum masehi hingga buku seri Supernova karangan Dewi Lestari, menulis adalah upaya menerjemahkan mimpi. Mimpi, seperti juga perasaan, adalah pewujudan dari metafor-metafor yang susah kita jelaskan lewat lisan. Kata-kata menjadi relevan karena ia bisa menangkap nuansa, imaji, dan juga bayangan dari penulis kepada pembacanya.
Menulis adalah upaya untuk tetap waras. Selama pandemi kita akan dihajar ketidakpastian. Perasaan-perasaan yang ditahan butuh disalurkan. Ia butuh diterjemahkan dan disampaikan untuk mengurangi beban pikiran. Hingga pada akhirnya kita bisa hidup lebih baik, lebih layak, dan lebih santai. Tekanan karena isolasi bisa membuat kita jadi gila. Saya tak ingin gila.
Saya berharap dengan menulis saya tidak lagi menyalahkan diri sendiri, menyakiti diri sendiri, atau ingin melakukan tindakan bodoh. Saya harap kalian yang membaca tulisan ini akan bahagia. Akan sehat dan selalu dicintai.