“Satu hal yang bisa dipertahankan dari hidup barangkali ingatan. Seperti bunga di kebun belakang rumah, pohon manggis di sekolah, dan pertemuan dengan seseorang bertahun lalu yang membuatmu bersyukur masih bernafas,” katanya.
Perempuan itu bicara dengan suara pelan, di tangan kirinya sebuah gelas berisi teh panas dan tangan kanannya sebatang rokok. Seperti Bunda Maria yang membuka diri untuk para pendosa, ia juga menerimaku untuk bercerita.
Seperti hari-hari yang lain, Surabaya panas menyengat. Konon jika kamu menggenggam telur mentah cukup lama di bawah matahari Kenjeran sejak jam sepuluh pagi, telur itu akan matang sebelum jam dua siang. Tapi kukira itu berlebihan dan cerita soal suhu yang menggila itu dibuat agar tak lagi ada pendatang ke Surabaya.
“Aku pikir bukan ingatan yang penting,” kataku.
“Maaf?” perempuan itu menjawab, sepertinya ia tak mendengar apa yang aku katakan.
“Bukan ingatan yang penting. Segala hal yang kamu ceritakan tadi. Tapi perasaan yang hadir karena ingatan itu. Rasa gembira karena melihat bunga di belakang rumah, rasa senang karena mendapat manggis di sekolah, serta rindu yang dipenuhi…,” aku tak menyelesaikan kalimatku
Perempuan itu menyesap pelan teh, kemudian setelah habis, meletakkan gelas teh di meja. Ia duduk menopang dagu dengan tangan kiri. Asap rokok menjauh dari wajahnya, matanya menatap gemas, seolah meledek, nakal sekali.
“Teruskan, teruskan, jadi setelah rindu dipenuhi ada apa?” katanya.
“Ah tak ada, tak ada,” kataku gugup.
“Kamu selalu menunduk, memainkan jari tangan, dan mengusap jempol ketika gugup,” katanya mendekati wajahku. “Selalu menyenangkan menggodamu,” katanya.
Sejak sepuluh tahun lalu, hingga hari ini, aku tak pernah sekalipun bisa melawan kata-katanya. Seperti ada sihir yang mengikuti setiap ucapan. Ia tahu tombol mana saja yang harus ditekan untuk membuatku menurut. Barangkali seperti itu, hubungan kami selalu timpang, tapi tak ada yang dirugikan.
“Aku pikir kita tak bisa lagi bertemu. Setidaknya tidak dalam waktu dekat,” aku mundur dan menjauh darinya. “Aku akan pindah kota, kembali ke Jakarta dan mungkin setelahnya menetap di sana,” kataku.
Sebenarnya tak masalah dimanapun aku berada, kami akan bisa berjumpa. Via sosial media, via surat, atau dari teman-teman yang kami. Tapi lebih dari sekadar perpisahan, ini adalah usahaku untuk tetap waras. Hubungan kami tak bisa dilanjutkan dan semestinya juga memang tak perlu terjadi.
“Kamu takut jika ayahmu tahu kamu berkawan dengan penyihir?” katanya.
Aku ragu-ragu untuk menjawab, sebelum akhirnya memutuskan untuk jujur. “Ya,” kataku lirih.
Penyihir adalah sebutan kami berdua untuk ahli pengobatan alternatif. Hal-hal yang belum bisa dijelaskan secara saintifik, tapi mampu menyembuhkan. Mungkin itu efek placebo, mungkin itu adalah keyakinan. Tapi sebagai anak laki-laki bungsu yang lahir dari pasangan ahli bedah jantung, perkawanan kami dianggap aib oleh keluarga.
Ayah pernah marah besar ketika koleganya memberitahu bahwa aku sering keluar masuk klinik alternatif perempuan ini. Ia menganggap apa yang dilakukan perempuan dihadapanku adalah penipuan, layak dipenjara, setelah dicambuk dan dipermalukan di muka publik. Sejak saat itu aku harus kucing-kucingan menyembunyikan hubungan kami.
“Kamu pilih orang kotor itu dan keluar dari rumah ini, atau pergi ke Jakarta ambil spesialis bersama kakakmu,” kata ayah pagi ini. Menghardik dengan wajah paling seram yang pernah ia tunjukkan.
Aku kira Ayah adalah orang paling bijak di kolong langit. Orang yang mengajarkanku untuk tidak memilih teman, berkawan dengan berbagai golongan, ternyata menyimpan kebencian pada tabib-tabib tak berlisensi. Ibu bilang, dulu kakak Ayah meninggal dengan kaki membusuk karena kakek dan nenek lebih percaya pada sifu obat alternatif daripada dokter yang menyarankan insulin untuk diabetes paman.
Kebencian dan dendam itu menurun dalam dadanya. Membakar pelan setiap sel yang menjadi dasar akal sehat di otak ayah. Hari ini aku ingin pamit dan perempuan ini menerimanya dengan kelegaan. Seperti tak ada beban, seperti tak ada persoalan.
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan,” katanya. “Aku pikir kita tak perlu membuat berat perpisahan ini, tak perlu menjadikan ini persoalan besar.” ia lantas menarik tanganku. Mencium jari-jariku, lantas membisikkan doa-doa pendek, tentang harapan baik, tentang semangat, berharap aku sehat dan bahagia.
“Kamu harus menjaga dirimu sendiri. Tidur yang cukup, kurangi minum teh, perbanyak jalan kaki, dan jangan biarkan kecemasan menguasai hidupmu,” katanya. Perempuan itu lantas berdiri, membuka pintu klinik tempat ia praktik dan mempersilahkanku keluar.
“Terima kasih,” kataku seraya berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar. “Kamu juga jaga diri, kurangi merokok, dan kurangi saus pedas,” kataku.
“Siap, bos,” katanya sembari tersenyum.
Aku melangkah keluar, ia menutup pintu, dan kami berpisah. Samar-samar aku mendengar suara isak tangis, pelan sekali.