Tapai

dhani
6 min readSep 21, 2024
Japanese flock of cranes (18th century) vintage painting by Ishida Yūtei. Original public domain image from the Minneapolis Institute of Art. Digitally enhanced by rawpixel.

Saban kali pulang ke Bondowoso, menyusuri jalan dari Jember menuju Sekarputih, di sela-sela pergantian sisi-sisi jalan, aku mengingat dua puluh tahun lalu. Usai lulus SMA, memutuskan kuliah di Universitas Jember, kebebasan serupa air segar yang kuteguk di tengah padang pasir.

“Tapi aku ingat saat itu, dengan bahasa Indonesia terbata, kamu menyembunyikan logat parau Madura dari suaramu ketika memperkenalkan diri,” katanya.

Perempuan itu, dengan jilbab hitam, kaca mata yang kepalang besar untuk hidungnya, dan alis tebal yang disisir rapi ke atas, menunjukkan ekspresi usil. “Saya Badrun, dari Bendebesah, tapi biasa dipanggil Boy,” ia melanjutkan.

Aku melengos dan pura-pura tak mendengar, memandang ke arah depan jalan panjang yang sesekali melalui gedung-gedung tua bekas gudang tembakau dan pabrik rokok. “The accent is the soul of a language; it gives it character and identity,” kataku berkilah.

Ia tertawa lepas, karena tahu, meski telah duapuluh tahun meninggalkan Bondowoso, setiap mengucapkan kata dengan konsonan “d” maka logat Madura yang pekat dalam rongga mulutku akan ikut keluar. “Identity, tak iyeh?” katanya lagi.

Kami berdua tertawa dan aku tahu benar ia sebenarnya tak menghina, malah jatuh cinta. Bertahun-tahun lalu, saat menghadapi senior brengsek yang menghina celana kulot bekas abangku, dengan wajah garang, perempuan di sampingku ini membela kemiskinan yang tampak jelas dari rupa dan kain buluk bertampal sepanjang tubuhku.

Ia, satu-satunya senior perempuan di tengah lelaki gondrong mau tembakau (dan alkohol murah), membela seorang mahasiswa ceking dari pelosok Pandalungan. Di hadapan kakak senior yang bermuka masam dan nilai akademik serendah IQ keledai, ia mengingatkan bahwa kemiskinan bukan bahan olokan, tapi masalah pelik yang harus diselesaikan kelas terdidik. “Bakar saja almamater kalian kalau tak mampu adil dan lepaskan juga status mahasiswa kalian jika tak kuasa berpikir,” aduhai, nyaring betul.

Di perjalanan ini ia memutar lagu-lagu kesayangan kami. Mulai dari Nina Simone, New Jeans, Bonnie Pink, The Script, Coldplay, Iwan Fals, Bob Dylan, American Football, hingga Sal Priadi. “Kamu kenapa bisa sampe dengerin Bob Dylan?” katanya.

“Karena Rolling Stone,” kataku singkat. Aku paham benar ia tak sedang meremehkan selera musikku. Mungkin beberapa orang akan muntab berpikir, emang kalau anak kabupaten tak boleh mendengar Bob Dylan? Tapi Ia tak berpikir begitu. Ia hanya bingung mengapa aku bisa punya ragam genre musik yang didengar.

“Karena dulu kami di kampus berbagi playlist,” kataku saat pertama kami berkencan. Bukan berkencan, tapi waktu pertama kami keluar ngobrol hanya berdua. “Jadi mau tidak mau aku mendengarkan segala jenis musik.”

Kami makan nasi goreng di depan kampus ekonomi Unej, harganya masih Rp3.000, bapak penjualnya adalah seorang kenalan di jamaah pengajian salafi, yang setiap aku datang selalu berdoa agar kami segera dinikahkan dan segera halal. Perempuan itu selalu terkekeh dan mengucapkan amin kencang-kencang.

“Tapi saat itu orang melihatmu memang seperti pesohor,” kataku. “Presiden mahasiswa, IPK tinggi, atlet karate, dan debater.” Wajah perempuan itu memerah dan melengos ke arah jendela mobil. “Tapi sayang, ngga bisa masak dan suka panik sendiri.”

Ulu Hatiku tiba-tiba terasa panas dan seperti diremas oleh tang kecil penuh bara. Perempuan itu dengan gemas mencubit perutku. “Nggak, ya. Aku bisa masak, tapi it required taste. Cuma kamu aja yang bilang masakanku ga enak. Bapak dan ibu bilang sedap,” katanya merajuk.

Tentu saja sedap, kalian sekeluarga punya lidah yang mati rasa. Aku masih ingat makan malam pertama di rumah perempuan itu, sayur asin, ikan asam, gulai teh, dan ayam tawar yang mereka buat demikian amburadul. Mereka tak bisa masak dan tak ada satupun yang memberi tahu jika lidah mereka berantakan.

Butuh waktu satu tahun untuk mengajaknya berkencan, dua tahun untuk mengajaknya pacaran dan empat tahun untuk memutuskan menikah. Meski sempat berpisah karena perempuan itu lulus terlebih dahulu, hubungan kami benar-benar lancar. Seperti jalan aspal menuju Bondowoso ini. Riak-riak hubungan kami hanya perkara siapa makan apa di mana. Tidak seru dan membosankan.

Tapi aku suka tidak seru dan membosankan. Kami bicara hal-hal yang kami tak suka, kami membagi apa-apa yang kami suka. Kesedihan yang dibagi akan berkurang separuh, kebahagiaan yang dibagi akan bertambah dua. Perjalanan ke Bondowoso kali ini adalah yang kesekian kalinya.

Aku ingat kali pertama perempuan itu mampir ke kota ini usai menikah, ia kagum dengan jalan-jalan kosong di pecinan usai jam delapan malam. Tumpukan nasi Buk Benjir yang menggunung jelang tengah malam. Merahnya saus tomat palsu yang dimakan bersama bakso dan lontong. “Kota ini seru sekali, kenapa kamu membawaku ke sini setelah nikah,” katanya.

Di Bondowoso ia baru pertama kali tahu jika ada tape mentah yang butuh beberapa hari untuk matang. Ini adalah strategi pengrajin untuk tamu luar kota yang hendak membawa oleh-oleh agar tape yang dibawa tak mudah rusak dan masak tepat waktu. “Di kota ini tak ada tape, yang ada Tapai,” kataku. Ia bingung dan aku harus menjelaskan panjang lebar soal logat dan bagaimana orang-orang di kota kami melafalkan nama-nama benda.

Perempuan itu tak sadar, sepanjang kami bersama saat kuliah, aku selalu berusaha menyembunyikan identitasku sebagai orang Bondowoso. Pura-pura jadi jawa, pura-pura menjadi apapun asal bukan dari kota ini. Di kepalaku, lahir di Bondowoso adalah kutukan. Tak ada apa-apa di sini kecuali video berita Pocong di Tasnan atau fakta bahwa kami membuat tape paling enak se Indonesia. Itu saja.

Bertahun lalu, ketika kemudian kami bersama dan saling terbuka tentang satu sama lain, aku dengan kikuk menyebutkan nama kota ini dan ia salah paham menyebutnya dengan nama Wonosobo. “Oh aku pernah ke sana, ke Dieng,” katanya polos. Kebanyakan manusia di kolong langit ini memang akan kesulitan menunjukkan Bondowoso dalam peta, kecuali kau lahir dan besar di Situbondo, Jember, dan Banyuwangi, kabupaten ini barangkali cuma akan kamu dengar dalam berita sekilas tentang pembunuhan atau kriminalitas lainnya.

“Aku ingin kamu sadar bahwa sebagian dari kami adalah poliglot,” kataku lirih. Sejak lahir kami menguasai bahasa Madura sebagai bahasa ibu, kemudian di sekolah belajar bahasa Indonesia, dan di lingkar pertemanan mempelajari bahasa Jawa. “We are born to be a genius, but forced to be a commoner,” kataku lagi.

“Contohnya bagaimana?” katanya.

Begh, ojok longor tah dedi reng lakek. Jangan terlalu polos jadi lelaki, semacam itu lah”

Fascinating, how you develop both accent, lingo, and language as a means to communicate with each other, just like a windtalkers,” katanya.

“You can put it that way, but we call this ben seromben, cak-ocakan. Sembarangan, omongan,” kataku.

Perempuan itu selalu gembira jika aku bicara dalam bahasa madura. Berbeda dengan teman lain yang mengolok logatku sebagai sesuatu yang eksotis, ia dengan tulus menunjukkan bahwa kemampuan bahasaku secara unik menunjukkan ekspresi personal yang otentik. “You talk in english when angry, talk in javanese when you are calm, and talk in Madura when you are excited,” katanya. “I feel like talking to three different people.”

“Sekadar tips, dengan teramat sangat, sebisa mungkin jangan bicara dalam bahasa inggris di rumah,” kataku. “Bahasa Indonesia atau jawa saja,”

“Kenapa?” ia memiringkan kepala dan penasaran.

“Beberapa dari kami menganggap bahasa Inggris itu bahasa orang kota, orang sombong, karena cuma beberapa saja yang menguasai dan perlu belajar tinggi menguasai itu. It likes showing your privilege,” kataku.

“But you always talk in english with our friends,”

“Karena dulu aku malu mengakui berasal dari pelosok kabupaten. Sekarang aku bodo amat.”

Ia diam dan kemudian membuka laci mobil, mengeluarkan sebuah kaca mata, dan memakainya, menghalau silau matahari dari ujung jalan. Perempuan itu sadar benar aku tak selalu seperti ini. Percaya diri dan bangga akan identitasku sendiri. “Kamu selalu punya nilai kok, dengan atau tanpa sikap rendah diri seperti itu,” katanya.

Butuh waktu lama untuk bisa menerima bahwa aku adalah Badrun, bukan Barry, bukan Budi. Nama-nama yang aku ciptakan untuk mendorong jauh identitasku. Barangkali setelah mengakui siapa diriku sendiri, aku tahu bahwa tak ada yang bisa menjatuhkanku hanya karena aku punya aksen kental madura. Dan itu rasanya membebaskan.

“Bangunkan aku kalau kita sudah sampai,” katanya.

Perempuan itu gegas tidur sementara jarak Jember dan Bondowoso sebenarnya tak terlalu jauh. Karena tak tega membangunkan, aku memutuskan untuk berputar sebentar di Bondowoso. Mengelilingi pusat kabupaten kecil yang dari ujung ke ujung bisa dijelajahi selama 30 menit saja.

Aku lupa rasanya mengelilingi jalan-jalan kecil kabupaten, di antara rimbun pohon asam tua, yang dulu masih dihinggapi burung kuntul dan membuat mobil-mobil dipenuhi kotoran berwarna putih. Sementara aku menjelajahi ingatan, perempuan itu terlelap dan terlihat damai sekali. Seperti subuh, seperti sore yang teduh.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

Responses (2)