2020 tahun yang brengsek. Kita memulai tahun ini dengan ancaman perang dunia ketiga saat Trump membunuh jendral Iran. Kemudian kebakaran besar di Australia. Pembunuhan warga kulit hitam di Amerika yang menyulut protes nasional. Negara-negara yang menganggap remeh pandemi. Pemutusan hubungan pekerjaan, meningkatnya kekerasan negara, kebijakan-kebjakan yang dibuat untuk memuluskan industri ekstraktif.
Kita seperti tidak diberi ruang untuk bernafas. Kabar buruk datang silih berganti. Pandemi membuat kita malas membuka berita karena setiap hari diberi kabar mengerikan tentang jumlah penderita, kematian, angka penularan dan sejenisnya. Kita pelan-pelan menganggap kematian karena pandemi sebagai hal yang wajar. Menganggap penularan corona sebagai kesialan belaka, bukan sesuatu yang perlu dianggap serius.
Kita mengalami kelelahan batin karena berita buruk yang terus datang. Kemampuan kita untuk peduli makin berkurang, kemampuan kita untuk fokus makin turun, dan kita dipaksa untuk terus menerus siaga karena kondisi buruk yang terus terjadi. Akibatnya? Kita makin abai pada keadaan, masa bodoh, dan menjadi getir. Pahit pada kondisi dan hanya peduli pada diri sendiri.
Pikiran kita seperti tenggelam. Jika dulu informasi seperti aliran sungai jernih yang memberikan ketenangan serta pengetahuan, kini ia berubah menjadi arus deras yang membuatmu gagap bernafas. Kita berusaha menarik nafas, tapi arus deras informasi menarik tubuh ke dalam pusaran, sering kali kita lemas tak berdaya dan menyerahkan diri pada keadaan.
Kabar tentang mafia benih lobser yang dikuasai oleh beberapa politisi dan mantan penyelundup, di hari-hari biasa, barangkali akan membuat gempar publik. Tapi hari ini berita semacam itu cuma video pendek pada senin pagi. Masalah yang terlalu banyak membuat kita cuek pada keadaan dan kerap kali memang disengaja. Penasihat politik Donald Trump menyebut strategi ini sebagai “Membanjiri berita dengan tahi” sehingga kita akan bingung dan lupa apa yang harus difokuskan.
Tidak hanya berita, media sosial seperti twitter, instagram, facebook dan youtube juga berisi kegetiran, informasi mengerikan, dan juga konspirasi. Kita dihadirkan berita macam Deddy Corbuzier, JRX, dan mereka yang menolak percaya pada pandemi. Kita dibuat kesal dengan DPR yang melakukan pengesahan UU Minerba, ngotot membahas Omnibus LAW, tapi kemudian mengeluarkan RUU PKS dari prolegnas. Di Twitter kebencian, kemarahan, dan amarah disampaikan tanpa henti.
Berdasarkan riset dari Reuters Institute for the Study of Journalism pada 2019, sebanyak 35% responden di Inggris dan 41% di Amerika, secara aktif menghindari membaca berita. Meski konsumsi berita sempat naik ketika pandemi muncul, pada April dan Mei lalu, makin banyak orang yang menghindari berita karena tak ingin stres. Depresi, kecemasan, rasa takut, dan stres adalah simtom umum yang dialami ketika kita terlalu banyak menerima kabar buruk.
Riset Graham Davey Dari University of Sussex menunjukkan gejala negatif yang terus meningkat dari penonton dan pembaca berita. “Our research has shown that negatively valenced news conveys that negativity to the consumer and makes them feel more anxious, stressed, or even depressed, and this negativity then feeds into their own personal worries and concerns which makes people worry for longer and often worry catastrophically,” kata Davey.
Kondisi ini makin diperparah bukan hanya oleh sosial media, influencer, atau pemerintah, tapi juga masyarakat yang abai. Kita punya saudara yang sok tahu, tetangga yang bebal, teman yang tak peduli, rekan kerja yang ngotot menihilkan ancaman. Sementara kita paham mereka mungkin demikian tersiksa, kesal, dan tertekan karena kondisi. Tak bisa menyalahkan orang yang diancam keadaan, sementara kita punya privilej.
Pandemi juga punya sumbingnya sendiri. Kita terlalu fokus pada diri sendiri sehingga abai pada yang lain. Lupa mungkin keluarga di rumah khawatir, teman di sebelah kamar kelaparan, tetangga baru saja dipecat, atau kawan baik baru saja berpisah dari pacarnya. Pandemi mengakhiri segala yang kita anggap normal. Wabah yang kita pikir akan berakhir dalam sebulan ternyata malah terus berlanjut. Beberapa orang mungkin tak peduli, tapi kondisi buruk sudah membuat orang jatuh.
Maka tak ada salahnya jika kita coba bertanya. Mencari tahu kondisi. Reach out orang-orang terdekat, menyapa, menanyakan kabar, kondisi, basa-basi mungkin menyebalkan, tapi saat ini ia bisa jadi obat kerinduan atas rasa suntuk. Kamu tak pernah tahu bagaimana kepedulian, sekedar sapa “Hai, apa kabar?” bisa menyelamatkan yang lain.
Pandemi membuat kita terjebak dalam isolasi, jauh dari siapapun, kecemasan, kesendirian, dan rasa takut bisa menggerogoti siapapun. Kita bisa saja merasa sehat, merasa kuat, merasa gagah, tapi pandemi ini punya cara untuk masuk dalam ketakutan kita. Ia bisa jadi rasa takut bahwa dunia akan berakhir, pekerjaan hilang, kepercayaan diri yang memupus, hingga pada akhirnya membuat kita merasa tak berdaya. Seperti tak layak untuk hidup lagi.
Saya merasakan bagaimana usaha kepedulian dengan bertanya kabar bisa demikian membebaskan. Mungkin ada kawan kita yang telah menganggur sejak awal masa pandemi. Mungkin ada kawan kita yang baru saja kehilangan anggota keluarga karena wabah. Ia tak tahu cara menghadapi kepedihan, usaha bertanya kabar bisa membantu orang lain untuk mengeluarkan beban yang ia punya.
Bantuan tak perlu berwujud uang, meski uang atau pekerjaan tetap bisa membantu kita saat ini, tapi ia bukan yang utama. Beberapa dari kita tengah hidup dalam tekanan, dalam kecemasan, rasa takut yang tak bisa dijelaskan. Pertanyaan sederhana semacam “How are you, really?”, bisa membuat orang terbuka, bicara, jadi rapuh, jujur, dan merasa didengar.
Sekedar bertanya kabar bisa jadi menyelamatkan.