Takut

dhani
2 min readSep 25, 2021
Georges Seurat’s The Outer Harbor (1888) famous painting. Original from the Saint Louis Art Museum. Digitally enhanced by rawpixel.

Pagi ini aku bangun dengan hati yang ringan. Kamu tahu? Perasaan seperti menemukan uang di saku celana, atau berada di toko mainan, atau seperti tidur panjang di hari minggu. Perasaan ini sudah lama tidak aku miliki dan hari ini aku berharap Ia tak akan pergi.

Semalam kita saling mengirim pesan dan membuatku sadar: barangkali Aku masih bisa dicintai dan masih bisa jatuh cinta. Sesuatu yang dekat tapi sudah lama tak pernah ditemui.

Lucu sebenarnya, hidup bisa membuat kita jadi seperti orang bodoh. Dibikin gembira pada hal-hal yang sederhana. Dibikin menangis pada hal-hal yang membuat haru.

Kamu tahu? Pagi ini hal pertama yang kuingat saat mata terbuka adalah segala pesanmu. Aku berharap kita bisa lebih sering bicara, lebih sering ngobrol, kamu tahu? Mungkin percakapan pendek kita ini memberiku semangat baru, semangat untuk hidup lagi.

Meski demikian aku merasakan ketakutan apakah ini nyata? Apakah ini benar? Bagaimana jika semua ini sekedar mimpi dan segala kebersamaan kita hanya kebohongan. Hasilnya, sepanjang hari Aku cemas, marah, dan depresi.

Aku mencoba memeriksa pemantik kecemasan ini. Apa yang membuatku takut? Apakah karena Aku sudah lama sendiri? Atau karena kamu sebenarnya tak pernah ada? Sepanjang siang Aku berpikir dan hanya menemukan bahwa segala hal yang membuatku cemas lahir dari ketakutan memulai hubungan baru.

Aku jadi ingat trauma lamaku, saat dulu Aku dirisak dan dituduh oleh orang asing di media sosial. Padahal selama ini Aku merasa media sosial memberi rasa percaya diri.

Di Twitter aku superior, benar, dan berkuasa. Ini hal yang salah dan Aku telah menyadarinya. Dulu Aku suka sekali berdebat, karena merasa bahwa media sosial bisa memberiku afirmasi dan memberiku pengakuan.

Ini kenapa kemudian Aku menghindari hubungan baru, Aku takut nanti di hubungan ini kita akan berdebat, mengalami konfrontasi atau konflik. Aku tak ingin kehilangan diriku lagi. Aku tak ingin kehilangan kamu. Aku pikir apa yang kita miliki beberapa hari ini sangat berharga.

Aku tidak tahu apakah ini trauma atau bukan. Tapi konflik, perdebatan, atau perbedaan pendapat membuatku cemas. Meski demikian Aku ingin kita tetap bisa ngobrol, walau harus berbeda sikap, dan mencari satu gagasan bersama-sama. Aku akan mencoba untuk lebih terbuka dan lebih berani bicara.

Lalu aku berpikir kenapa aku takut kehilangan kamu? Aku merasa bahwa kamu demikian berharga. Aku mengalami ekstasi. Aku ketagihan afeksi dan afirmasi darimu. Lantas Aku tahu bahwa ini hanya endorfin, hormon yang bekerja. Apakah ini cinta, apakah ini kasmaran, atau jangan-jangan cuma respon terhadap kesepian yang selama ini terjadi?

Aku takut ini hanya sementara, nanti akan hilang dan pada akhirnya kita berpisah.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

Responses (2)