Tak Lagi Teman

dhani
4 min readJan 5, 2022
At the Theater, from the series “Some Aspects of Parisian Life” (1897–1898) print in high resolution by Pierre Bonnard. Original from The MET Museum. Digitally enhanced by rawpixel.

Seorang teman bertanya padaku tentang usaha bertahan saat kamu ingin menyerah. “Bagaimana caramu hidup saat segala yang kamu sayang, saat segala yang kamu anggap berharga, malah menyerang balik dan membuatmu merasa terpojok? Bagaimana caramu memaafkan diri sendiri karena kesalahan yang kamu buat?”

Temanku itu mengirimkan pesan pagi dan aku baru bisa membalas pesannya tengah malam. Kemarin selama sehari penuh pekerjaan lumayan menyita perhatian, meski tentu, aku selalu punya waktu untuk ngetwit. Semoga ini tak membuat temanku tadi merasa dinomorduakan.

Aku mencoba mengingat hal-hal apa saja yang aku lakukan dulu, saat sendiri, saat dipojokkan, dan saat jatuh. Yang kuingat saat itu aku punya pacar, dia percaya bahwa aku tidak bersalah, bukan penjahat, dan bersedia menerima kurangku. Aku merasa dunia jadi sedikit lebih baik jika kamu dicintai dengan utuh dan tanpa prasangka.

Aku menjelaskan pada pacarku saat itu, aku tidak sebaik yang dipikirkan. Sebagai manusia aku dhaif, berbuat salah, dan ketika aku jujur, menunjukkan sisi rapuh, beban di pundakku serasa hilang. Mengakui kesalahan yang aku bikin membuat hidup terasa lebih baik. Tentu masih depresif, suicidal, dan cemas, tapi setidaknya aku lega, tak ada lagi hal yang kusembunyikan.

Tapi pacar bukan satu-satunya yang ada dan bersamaku. Saat aku jatuh dan dirisak banyak orang, ada teman yang setia. Saat orang yang kupikir teman akan berpihak padaku, dia malah menginjak dan turut menyiram bensin pada bara. Aku belajar untuk tidak percaya semua orang, mengurangi teman, memelihara lingkar kecil, pada mereka yang bersedia jadi teman dan mau memaafkan.

Tidak semua orang yang kita anggap teman akan bersetia, tidak semua orang yang kita anggap sahabat akan tetap ada, kadang mereka hanya menunggu kita jatuh untuk ikut ambil bagian menyakiti. Dulu, ketika aku difitnah banyak hal, orang-orang yang kuanggap teman ya ikutan memaki, memberi bumbu pada tuduhan, dan banyak hal yang lainnya.

Aku memaafkan mereka yang ikut menginjak dan memfitnahku. Aku tak akan membalas dendam. Aku hanya berharap, semoga kesalahan yang kulakukan dahulu tak akan aku ulangi. Bisa bertanggungjawab atas dosa yang kubuat dulu. Berharap jadi lebih baik daripada mereka yang memfitnahku.

Dan jika karma itu ada, aku tak berharap orang yang jahat padaku mengalami apa yang kualami. Depresi, kecemasan, suicidal, dan membenci diri sendiri itu ngga enak. Aku berharap mereka mencari bantuan, mengakui kesalahan, memperbaiki diri, dan menemukan ketenangan batin.

Aku berusaha untuk memperbaiki diri. Mengakui kesalahan itu satu hal, tapi menyadari bahwa kita salah adalah hal lain, yang terakhir butuh keberanian. Dengan mengakui kesalahan kita rela dikoreksi, kita rela dihujat, dan tentu saja bersedia menerima akibat kesalahan yang dibikin.

Kita tak bisa mengatur bagaimana orang lain bersikap. Artinya, saat kamu mengakui kesalahan, kamu ga bisa membuat mereka langsung menerima kita. Aku menyadari itu, jadi alih-alih memohon, menunggu orang lain memaafkan, aku berusaha menunjukkan sikap, bahwa aku menyesal dan aku telah berubah.

Itu mengapa seperti pacaran, ada kala dimana kita perlu putus dengan perkawanan. Sahabat bisa saja jadi musuh, teman bisa jadi pengkhianat, dan jika kamu cukup beruntung, kamu akan ditinggalkan begitu saja tanpa harus menerima karma buruk. Kamu tidak perlu berteman dengan siapapun dan tidak perlu menganggap siapapun sebagai teman.

Perpisahan adalah hal yang wajar. Di satu titik di masa kanak-kanak, kita punya karib yang kini mungkin tak lagi pernah bertemu. Kita punya sahabat yang pada satu waktu kita tak lagi bisa bersepakat dengan nilai yang ia pegang. Menjauhi seseorang yang menyakitimu adalah upaya merawat diri, keluarga atau sahabat, siapapun ia.

Teman adalah keluarga yang kita pilih. Beberapa teman lebih berharga daripada keluarga dan pasangan. Tapi seperti juga pasangan yang tak lagi cocok, perceraian bisa terjadi pada perkawanan. Beberapa teman akan berubah jadi jahat dan tak ada yang bisa kamu lakukan selain menjauhinya.

Aku berharap kamu tahu bahwa berhenti menjadi teman, bukan berarti kita berhenti jadi orang baik. Kita bisa tetap membantu orang asing yang terjatuh. Kita tetap bisa membantu menyeberang orang yang tidak kita kenal. Mantan sahabat adalah orang asing dengan sejarah panjang.

Maka, jika kamu tak lagi bisa mentoleransi kejahatan, sikap kerdil, dan kebengisan, sementara temanmu melakukan itu. Pergi, jauhi, dan jangan bersamanya lagi. Ada beberapa bandit yang bisa kita terima sebagai kolega, tapi bukan teman. Maka jika kamu merasa berat berpisah, menyalahkan diri, dan menyesal. Aku ingin kamu tahu, kamu tidak melakukan hal yang salah.

Tapi jika kamu yang pengkhianat, menjadi sumber onar, dan kamu yang berbuat salah, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengakui bahwa kamu salah, berkomitmen untuk memperbaiki diri, dan tak akan mengulangi kesalahan yang sama.

Aku percaya maaf itu tidak diberi, tapi diperjuangkan. Maka jika maafmu bertemu dengan tembok bernama curiga, kebencian, amarah, maka bersabarlah. Mereka sedang terluka dan setiap yang terluka butuh waktu untuk sembuh.

Butuh waktu bagiku untuk memaafkan diri sendiri. Kita akan terus dibuat menyesal, merasa bersalah, dan membuat diri menderita karena merasa itu adalah hukuman yang pantas. Tapi, aku berharap kamu tidak begitu. Kamu berbuat salah? Minta maaf, akui, perbaiki, lalu fokus pada diri sendiri.

Kamu akan ditinggalkan, dihujat, dimaki, dijauhi, dan dianggap penjahat. Tapi dengan mengakui kesalahan, kamu memutus mata rantai kejahatan. Kamu tak akan melakukan kesalahan yang sama, kamu akan jadi lebih baik, dan jika dalam hidup kamu pernah berbuat baik, kelak orang akan melihatmu sebagai sosok yang utuh, baik, dan telah berubah.

Sementara menunggu, aku berharap kamu kuat, mampu mengatur ekspektasi diri, dan tidak terjebak pada kebencian diri.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

Responses (2)