Surat untuk Bapa Fransis

dhani
8 min readSep 3, 2024

25 DESEMBER 2013.
Hari Natal.

Dear Bapa Paus
Fransiskus Jorge Mario Bergoglio
di Vatikan.

Apa kabar, Pak? Sehat? Alhamdulillah. Saya selalu mendoakan kepada Allah agar orang-orang baik seperti anda selalu diberikan kesehatan. Selalu diberikan kemujuran juga kekuatan untuk terus memberikan yang terbaik bagi umat manusia. Teladan, dengan aksi nyata, barangkali adalah hal yang paling dibutuhkan peradaban dunia modern. Ketimbang kutipan-kutipan ayat, seruan perihal ibadah atau bahkan jaminan surga. Manusia butuh kebaikan hari ini. Bukan sekadar janji, yang bisa jadi salah, di hari akhir nanti.

Bapa Frans, bolehkah saya memanggil anda demikian? Saya ingin lebih akrab dengan anda. Barangkali anda suka kopi? Saya pribadi lebih suka susu stroberi dingin. Apalagi dengan Pocky coklat pisang. Apakah anda pernah coba itu Bapa Frans? Pocky coklat dan susu stroberi dingin bisa jadi kudapan segar untuk anda nikmati di hari-hari musim panas Vatikan. Anda tentu bisa saja memesan gellato, tapi cobalah makan Pocky coklat, atau kue cucur mungkin? Kue dari Indonesia yang terkenal legit dan nikmat. Well, kita semua butuh piknik sesekali, bukan? Merasakan hidup dan menikmati sedikit berkah Tuhan.

Tapi, bukan untuk itu saya menulis ini, Bapa Frans. Seperti yang (barangkali) anda sudah ketahui, Indonesia, negeri di mana saya tinggal, merupakan negeri dengan populasi penganut ajaran Islam terbesar di dunia. Sayangnya, tidak semua orang yang mengaku Islam tadi adalah muslim.

Kebanyakan mereka hanya berhenti pada tataran mualaf. Orang yang baru masuk dan belajar menjadi muslim. Mengapa saya sebut demikian? Karena banyak dari orang-orang berlabel Islam pada KTP tadi hanya berhenti menjadi manusia yang beribadah lima kali sehari, naik haji jika punya uang, puasa jika ramadhan, sholat berjamaah seminggu sekali di masjid. Namun mereka gagal menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain.

Agak keras? Tidak juga, Bapa Frans yang baik. Jika orang orang yang mengaku muslim tadi sadar akan sejarah agamanya sendiri, paham akan makna ajaran agamanya sendiri dan mengerti konsep utama dari agamanya sendiri, barangkali ia akan menjadi anda. Menyadari bahwa kesalihan sosial lebih penting daripada liturgi. Bahwa ritus adalah perkara keyakinan masing-masing. Ia tak perlu ditunjukkan, tak perlu disombongkan dan yang jelas tak perlu dipaksakan kepada orang lain. Barangkali mereka yang merasa perlu menunjukkan keyakinan mereka adalah orang yang sebenarnya dipenuhi kelemahan atas imannya sendiri.

Seperti anda, saya juga tak percaya konversi keyakinan. Colek saya jika salah, bukankah anda dalam wawancara bersama la Reppublica mengatakan jika proselytism adalah omong kosong?

Bagi saya, usaha konversi keyakinan adalah usaha untuk merebut keyakinan seseorang. Tak penting siapa utusan yang dipilih oleh Tuhan untuk membawa pesanNya. Entah itu Musa, Isa (atau Yesus) atau Muhammad. Yang penting, apakah kau menerima pesan yang ia sampaikan? Sayang sekali, banyak manusia yang mengaku beragama, termasuk muslim, gagal paham pernyataan anda. Melulu, mereka pikir status dan label agama lebih penting daripada kesalehan sosial.

Barangkali, di antara kesibukan Bapa Frans yang baik, sudilah kiranya datang ke Indonesia. Mengajari kami umat Islam di Indonesia bagaimana caranya menjadi muslim yang baik. Karena saya menemukan lagi apa arti muslim dalam laku hidup dan sikap yang Bapa Frans lakukan.

Menjadi muslim adalah menjadi rendah hati, toleran, saling menolong, terbuka, dan tulus juga iklas. Anda, pada beberapa derajat, lebih muslim daripada orang Islam sendiri. Mungkin dengan kehadiran Bapa Frans yang mulia, mereka, manusia-manusia yang mengaku Islam tapi jumud berpikir sempit, bisa belajar menjadi manusia di antara manusia terlepas apapun keyakinannya.

Saya gemar sekali mendengarkan kidung Mazmur. Bukankah keindahan tak mengenal label agama, Bapa Frans yang baik? Saya sendiri awalnya ada dalam barisan yang membenci Nasrani. Membenci Yesus dan membenci mereka yang berbeda dengan saya. Seumur hidup saya merasa bahwa kalian, umat Katolik dan Kristen, adalah wabah, hantu, wewegombel atau semacam jerangkong yang mengajak umat Islam berpindah agama. Berpindah keyakinan. Seperti yang diajarkan dalam surat Al Baqarah ayat 120. Tapi sebagai manusia yang berpikir dan berotak, saya menolak hanya menerima sebuah perintah tanpa paham dulu konteks sebuah ayat atau perintah diturunkan.

Melulu kita bisa saja diam, bersandar pada satu tafsir yang tunggal. Saya menolak itu, Bapa Frans yang bijak. Pada Ali ‘Imran ayat 118 misalnya Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”

Dalam Asbabun Nuzul-nya, tercatat dari Ibnu Jarir dan Ibnu Ishak, mengetengahkan dari Ibnu Abbas, katanya, “Beberapa orang laki-laki Islam masih juga berhubungan dengan laki-laki Yahudi disebabkan mereka bertetangga dan terikat dalam perjanjian jahiliah yang mengikat.”

Allah menurunkan ayat ini supaya umat muslim terhindar dari fitnah dan kewajiban memerangi sesama muslim karena perjanjian itu. Konteks ayat itu jelas, bahwa kaum muslimin masih lemah dan dalam peperangan. Tapi apakah kita berperang saat ini? Apakah kaum muslimin, di Indonesia, sedang berperang dengan umat anda, Bapa Frans? Tentu saja tidak.

Jika semata kita membaca teks ini tanpa memahami Asbabun Nuzul-nya, tentu akan ada syiar kebencian. Bahwa umat Islam diajarkan untuk eksklusif. Diajarkan untuk menjaga jarak, diajarkan untuk curiga, takut dan memusuhi.

Tapi yang demikian bukanlah ajaran Islam, Bapa Frans yang baik. Islam yang baik menunut para pemeluknya untuk terus berpikir. Terus mencari tahu dan bukan diam sekadar menerima suapan ajaran. Bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan berpikir. Iqra, bunyi surat pertama yang turun dalam ajaran kami bukan melulu perintah membaca Qur’an belaka. Namun ilmu pengetahuan lain yang membuat kami sebagai muslim bisa menjadi terbuka dan bijak.

Bapa Frans yang baik. Apakah anda tahu Imam Ali bin Abi Thalib? Ia yang dijuluki bulul ‘ilmi, pintu dari kota ilmu pengetahuan bernama Nabi Muhammad. Ia yang dijuluki pula oleh kanjeng Nabi kami sebagai Abu Thurab, si manusia yang diselimuti abu. Tahukah anda mengapa ia menerima julukan ini, Bapa Frans yang baik? Karena ia, Imam Ali yang sederhana, saudara terdekat kanjeng Nabi, menantunya yang mulia, pria berjuluk Al Faruq al Azham, tertidur di masjid tertutup debu padang pasir. Lantas kanjeng Nabi Muhammad yang agung membangunkannya seraya berkata, “Bangunlah, Abu Thurab.” Ia, Imam Ali kami, sungguh menyukai panggilan ini.

Tapi mungkin Bapa Frans yang baik bertanya: Mengapa, jika benar, Imam Ali adalah orang yang mulia, menerima bahkan senang ketika ia dijuluki Abu Thurab alias si manusia debu? Karena ia menjadi manusia, menjadi fana, menjadi sederhana dan tidak menyalahi fitrah sebagai umat.

Tahukah anda, Bapa Frans yang baik? Sebagai Imam dan Kalifah keempat dalam Islam, ia bisa saja memilih hidup bermewah-mewahan seperti Abu Sufyan, muawiyah dan yazid keturunannya, tapi si Abu Thurab ini memilih hidup sederhana, miskin dan tak punya apa-apa. Karena apa yang dimiliki Baitul Maal, seperti juga Bank Vatikan yang anda tegur karena terlalu matrealis, adalah milik umat. Bukan milik pribadi pemimpin.

Memang agak kurang tepat membandingkan anda, Bapa Frans, dengan Imam Ali. Bukan, bukan karena kalian berasal dari dua label agama yang berbeda. Tapi karena Bapa Frans dan Imam Ali berada pada dua zaman dengan dua permasalahan berbeda. Saat itu, seperti yang juga terjadi hari ini, umat muslim tengah pecah oleh manusia yang gemar mengafirkan dan menyesatkan. Manusia-manusia dungu yang gagal melihat perbedaan sebagai fitrah. Hari ini, pekerjaan Bapa Frans mungkin sedikit lebih mudah. Dengan segala kesederhanaan dan kebijakan membumi yang Bapa bikin, saya pikir, umat Katolik mencapai puncak peradaban sosialnya yang paripurna.

Sebagai pemimin, anda tak ragu mencuci kaki anak-anak nakal yang terkena masalah. Dua di antaranya adalah muslim. Toleransi ini, boleh jadi adalah gincu, sekadar usaha menaikkan rating dan citra gereja yang terpuruk sebelumnya. Barangkali pula, ini sekadar pura-pura. Tapi kita tahu, saya tahu, anda tahu. Sikap baik selalu berpotensi dianggap pencitraan. Tapi, Bapa Frans yang baik, saya percaya anda adalah orang yang jujur. Mungkin saya bisa salah. Tapi di zaman di mana keras hati dan teror adalah raja, cinta kasih yang anda tunjukkan adalah rahmat lil alamin yang saya rindukan. Anda mungkin bukan orang Islam, tapi bagi saya anda lebih muslim daripada muslim itu sendiri.

Sulit bagi saya untuk tak turut haru mengingat bagaimana pada awal sejarah lahirnya Islam, kaum Nasrani turut membantu dan memberikan perlindungan. Sulit bagi saya untuk tak membandingkan kebaikan mereka yang berbeda keyakinan perihal kekudusan Yesus, atau Isa, namun tak membuat Nasrani saat itu bersitegang ataupun memusuhi kaum muslimin. Pada sebuah kisah di tahun 628 M, beberapa utusan dari Biara St. Catherine, sebuah gereja di kaki Gunung Sinai mengunjungi Nabi Muhammad untuk meminta perlindungan. Lantas, melalui sebuah dokumen, Nabi Muhammad menjamin keselamatan para biarawan Nasrani itu.

Beberapa intelektual muslim mendebat keabsahan dokumen ini. Tentu saja, seperti yang saya bilang di awal, niat baik selalu dicurigai sebagai kepalsuan. Barangkali terlalu sering kita dikhianati sehingga apa yang sebenarnya baik dan tulus dicurigai sebagai kejahatan yang dipalsukan.

Kepada biarawan St. Catherine, inilah janji Nabi Muhammad SAW:

“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang berfungsi sebagai perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di mana pun mereka berada, kami bersama mereka. Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh membela mereka, karena orang Kristen juga rakyatku; dan demi Allah, aku akan menentang apa pun yang tidak menyenangkan mereka. Tidak boleh ada paksaan atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristen yang dicopot dari jabatannya demikian juga pendeta dari biaranya. Tak boleh ada seorang pun yang menghancurkan rumah ibadah mereka, merusaknya, atau memindahkan apa pun darinya ke rumah kaum Muslim.

Bila ada yang melakukan hal-hal tersebut, maka ia melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Bahwasanya mereka sesungguhnya adalah sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai. Tidak boleh ada yang memaksa mereka pergi atau mewajibkan mereka berperang. Muslimlah yang harus berperang untuk mereka. Bila seorang perempuan Kristen menikahi lelaki Muslim, pernikahan itu harus dilakukan atas persetujuannya. Ia tak boleh dilarang untuk mengunjungi gereja untuk berdoa. Gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk memperbaiki gereja mereka dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini. Tak boleh ada umat Muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari penghabisan (kiamat).”

Dokumen di atas boleh jadi palsu, boleh jadi asli, boleh jadi bikinan dan boleh jadi sebuah konspirasi. Tapi apakah kepalsuan itu? Apakah yang asli? Apakah asli jika sesama manusia sekadar tunduk pada nafsu jahiliah akan kegemilangan masa lalu? Bahwa ada manusia-manusia yang merasa punya kuasa untuk menekan kelompok lainnya atas perintah surga?

Bapa Frans yang baik. Anda selama ini, selama kepemimpinan sebagai seorang paus Katolik yang agung, mengajarkan saya untuk menjadi muslim yang benar. Muslim yang menyadari bahwa beragama tidak lantas melupakan tugasnya sebagai manusia. Yaitu menjadi manusia di antara manusia.

Bapa Frans yang baik. Semoga anda selalu sehat. Semoga akal sehat selalu menjadikan anda kawan karib. Semoga anda tetap mencontohkan bahwa keimanan bukan sekadar pertunjukan, tapi ia adalah tanggung jawab bersama. Bahwa mencintai surga tak lantas menjadikan orang lain di sekitar kita jadi terlantar. Atau lebih buruk lagi menjadikan orang yang ada di sekitar kita jadi ketakutan. Lantas apa gunanya beragama? Berkeyakinan jika hanya meneror dan memusuhi yang lain? Bukankah itu hanyalah kesia-siaan?

Mungkin kaum muslimin lupa, bahwa pascapenaklukan Mekah, kanjeng Nabi tidak memaksa, mengancam atau membunuh kaum nonmuslim. Ia memberikan kebebasan bagi kaum Nasrani dan kaum Yahudi untuk menjalankan keyakinannya.

Bahkan pada sebuah narasi yang dituturkan oleh Karen Amstrong mengisahkan bahwa seusai penghancuran berhala-berhala, di dalam Ka’bah terdapat satu lukisan Bunda Maria dan bayi Isa. Jika ini benar, terbukti dan bisa dipertanggung jawabkan, betapa absurdnya permusuhan yang dilakukan atas nama agama beratus tahun seusainya.

Ah, Bapa Frans yang baik. Maafkan saya telah meracau dan membuang waktu anda yang berharga. Barangkali kita perlu berjumpa. Seperti yang anda katakan, manusia butuh lebih banyak bersama, berjumpa dan bicara dari hati ke hati. Ketimbang mengumbar teror, kebencian dan sekadar buruk sangka.

Ah, andai saja. Ya, andai saja banyak umat muslim yang berpikir lebih bijak dan lebih panjang. Barangkali mereka akan menyukai anda, Bapa Frans.

Salam,

Seorang Muslim dari Negeri Jauh.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet