~ Revolusi memangsa anak-anaknya sendiri
Kukira saat itu, Sondang dengan gigil yang teramat sangat, bolak balik berjalan di antara kerumuman orang. Berlalu di antara palang besi garis batas pengamanan istana negara. Ada rasa kesal, takut , kalut dan muak tercampur jadi satu. Semua berkelindan dan merasuki nalarnya. Mungkin sedari pagi ia tak makan. Ia mual. Amuk amarah telah merebut kebenarannya sendiri.
Kukira Sondang, seperti juga kebanyakan dari kita, adalah orang biasa. Mengangumi senja yang berlarian di permukan kaca-kaca gedung dingin Jakarta. Mengutuk kemacetan di Sudirman kala sore tiba. Menikmati sejuk dingin es degan di Taman Ismail Marzuki. Diam berpikir saat rekan sebayanya riuh berdebat dalam diskusi. Dan tentu saja sesekali ia memaki kerbau saat demonstrasi terjadi.
Kukira Sondang mengenal Munir, mengenal Wiji Thukul, mengingat Kudatuli, mengingat Talang Sari, mengingat Tanjung Priuk, mendengar Ahmadiyah dan tentu saja mendengar Lapindo. Tentu ia mengenal semua itu. Gaul berintim dengan lembaga seperti Kontras akan terus mengiris nuraninya untuk terus mengingat. Menolak melupakan penindasan dan merawat ingatan mereka yang bertanggung jawab.
Kukira Sondang juga sama seperti mahasiswa lain di republik ini. Kuliah dengan teratur. Membaca buku. Mengerjakan tugas. Merayakan kesenian dengan teater dan puisi. Sesekali membolos untuk koordinasi aksi. Sibuk bergurau dengan pacar di kafe sekitar kampus. Semua sama. Ngopi hingga tengah malam memperbincangkan hal-hal remeh. Ia melakukan itu dengan sebuah kebahagiaan. Menjadi salah seorang dari sedikit yang memikul tanggung jawab sebagai agent of change.
Agent of change taik kucing…
Kukira Sondang menyadari bahwa dalam sebuah perjuangan akan selalu ada tumbal. Ia juga menyadari, bahwa hanya sedikit perbedaan antara menjadi idealis atau melakukan kebodohan. Bahwa perihal kurban atau juru selamat, itu adalah permasalahan sudut pandang. Tak ada satupun manusia di bawah kolong langit yang berhak memberikan nilai atau kuasa hukum dalam sebuah perjuangan. Perjuangan adalah perkara keyakinan diri.
Kukira Sondang pernah membaca fragmen kisah Ramayana. Saat dimana Dewi Sinta membakar diri, sebuah laku mestia, untuk membuktikan kesetian dan kesucian dirinya. Lantas ia tiba tiba mengingat Mohamed Bouazizi. Si tukang sayur asal Tunisia yang membakar diri dan menyulut revolusi Jasmine (Melati?). Menumbangkan kediktaktoran degil Ben Ali yang korup lagi bebal. Apalah arti luka demi sebuah perubahan?
Kukira Sondang juga terkejut menengenai sikap bebal dan tolol anggota-anggota DPR RI yang cabul lagi rakus. Juga keputusan pemerintah yang tak juga menuntaskan kasus Munir. Atau perihal ganti rugi Lapindo yang urung tuntas. Semua permasalahan ini menyulut kesadaran. Ada pertarungan dalam dirinya. Satu sisi menolak peduli dan ingin tetap acuh seperti kebanyakan masyarakat kita. Sisi lain berontak menuntut keadilan dan pertanggung jawaban rezim. Ia terjebak dalam keinginannya sendiri.
“dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka” teriak Rendra.
Kukira Sondang akhirnya muntab. Mengambil satu jerigen penuh bensin dan mengguyur basah tubuhnya. Bau apak keringat, tengik bensin dan kecut air mata menyaru dalam hidungnya. Dengan gagap Sondang berjalan ketengah jalan. Tak seorangpun peduli. Di Jakarta siapa yang peduli dengan orang lain? Apalagi orang asing di jalan.
Kukira Sondang saat itu mengingat Mama. Mengingat bagaimana dengan mesra dan patuh ia memeluknya di gereja. Mendengar kidung puji. Doa tuhan Bapa kami dengan khusyuk. Atau betapa ketika kecil rapal Salam Maria membuatnya pulas tertidur. Yesus yang maha kasih juga semua kegiatan gereja. Mengingat betapa natal dan keriuhan bersama keluarga adalah kenangan yang sangat indah. Dan perlahan merapal doa-doa minta maaf. Kalut ia bertanya: “Apakah aku akan diampuni bapa?”
Kukira Sondang gemetaran saat menyakalan korek api miliknya. Ada ragu. Ada takut. Ada marah. Ada malu. Ada amuk. Ada dendam. Perlahan api itu lantas melentik lata pada tubuhnya. Membakar dengan giras bulir-bulir bensin yang merekat dalam tubuhnya. Api membakar hangus amarah. Seperti juga dendam membakar habis akal sehat.
“Siapa yang akan berbicara untuk kami / siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini” tanya Sapardi
Kukira Sondang saat itu hendak berteriak. “Dengarlah wahai Indonesia yang tengik! Pemimpin goblok! Dan rakyat yang pelupa! Ingat ini! Ingat pengorbananku! Dan terbakarlah kalian semua dalam kepura-puraan!” tapi teriakan itu tak selesai terucap. Otaknya melecutkan rasa sakit yang teramat sangat dan membuatnya terkapar tak berdaya.
Kukira Sondang terbakar amarah. Tapi ia tak sendirian. Karena aku kini juga terbakar amarah. Atas kebodohanku. Kelemahanku. Dan ketakpedulianku pada masalah bangsa ini. Sondang menyulut api kebencian, yang pelan-pelan menyebar di udara. Menunggu para maling dan pencoleng republik ini gosong di dalamnya. Lantas berharap agar api yang membakar tadi melahirkan sebuah kondisi yang lebih baik. Sebuah bangsa yang lebih bernyali menghadapi kebenaran.
Tapi apalah arti sebuah api kecil di tengah keculasan yang menahun? Kegelapan terjadi bukan karena tak ada cahaya, namun karena cahaya tak mampu menerangi area yang muram. Kerusakan bangsa ini bukan terjadi karena banyaknya penjahat. Namun terlalu sedikit orang baik yang mau bangkit berdiri melawan. Mengatakan yang baik adalah benar dan yang buruk adalah salah. Tragedi seringkali terjadi akibat sikap diam.
“Terkutuklah buat ketidakadilan, terkutuklah buat ketidakpedulian, terkutuklah buat kemiskinan, terkutuklah buat rasa sakit dan sedih, terkutuklah buat para penguasa jahat, terkutuklah buat para penjahat, setelah aku tidak punya rasa lagi,” tulis Sondang.
Kukira Sondang akan selalu diingat. Olehku. Mungkin tidak oleh sebagian besar masyarakat republik ini. Dan kematiannya hanya akan berakhir jadi bisik dan perbincangan warung kopi. Seperti biasanya. Karena kebebalan lupa pada republik sudah terlalu akut untuk bisa disembuhkan.
Selamat jalan Sondang.
Kau abadi, terbakar sendirian.