Solusi

dhani
4 min readJul 10, 2020

Seperti Lemony Snicket’s A Series of Unfortunate Events, 2020 nyaris serupa rangkaian kesialan yang terus berlanjut. Ia seperti bilang, hari ini akan lebih brengsek dan lebih buruk dari kemarin, tapi hari demi hari kita dibikin kuat, dibikin lebih pejal, dan lebih adaptif dari kemarin. Kita hanya bisa berharap bahwa kelak keadaan lebih baik, sementara belum terjadi, kita akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Menatap masa depan jadi demikian suram jika kita melihat bagaimana data yang ada. Akhir peradaban yang kita kenal akan semakin cepat, perubahan iklim, kepunahan masal, keruntuhan ekologis, resesi ekonomi, peretasan/penyadapan massal oleh penguasa, pandemi, wabah, banjir, kebakaran hutan, fanatisme agama, pasang naik konservatisme, fasisme, dan juga depresi membuat kita malas bangun tidur dan hanya ingin tidur sepanjang hari.

Umair Haque, ekonom dan esais, menulis dengan baik dalam artikelnya: If Life Feels Bleak, It’s Because Our Civilization is Beginning to Collapse. Ia dengan nada getir dan sinis menyebutkan bahwa usia peradaban manusia modern hanya beberapa dekade. Pada 2030 nanti kerusakan lingkungan sudah tak bisa diperbaiki, pada 2040 sumber daya akan habis dan peradaban modern manusia seperti sistem ekonomi, politik, dan hak asasi manusia akan hancur.

Emisi gas rumah kaca menyebabkan air laut menjadi panas, asam dan berkurang kandungan oksigennya. Para ilmuwan berpendapat, ini bisa berdampak buruk bagi perairan global. Air laut menjadi semakin asam. Proses ini mencapai rekor kecepatan dalam 300 juta tahun terakhir. Tidak hanya itu, kualitas tanah menurun pada titik tak bisa ditanami. Udara makin tercemar dan tak layak hirup.

Umair menyebut kondisi ini akan memaksa manusia menghabiskan lebih banyak uang untuk bertahan hidup. Jika selama ini kita menghabiskan gaji untuk keperluan seperti rumah, transportasi, dan makan. Kebutuhan lain akan bertambah untuk pengobatan, perlindungan diri terhadap ancaman lingkungan, dan juga perebutan sumber daya yang terbatas.

Pada 2050 manusia mungkin berakhir seperti Mad Max. memperebutkan sumberdaya, mengeksploitasi satu yang lain, batas negara hilang dan menjadi komunitas tribal, mereka yang punya senjata/kekuatan, yang akan bertahan. Prasyaratnya, jika kita tidak berhenti mengkonsumsi seperti yang kita lakukan sekarang, tidak berhenti mengeksploitasi alam seperti sekarang, dan tidak berhenti membabat alam seperti yang kita lakukan sekarang.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan sekarang. Karena Umair ekonom, ia bicara dari perspektif ekonomi (baca kapitalistik). Ia mendorong para investor, pemilik modal, atau siapapun yang punya uang untuk berhenti membiayai industri ekstraktif atau yang merusak alam. Seperti tambang atau fast fashion. Lalu berganti berinvestasi ke industri bersih seperti panel surya.

Umair menawarkan apa yang ia sebut sebagai investasi sosial. Meski bernama investasi sosial, investasi ini berfokus pada teknologi dan sains. Daripada ngotot memaksa kita menggunakan produk industri ekstraktif yang merusak alam, kita didorong untuk memberi pendanaan terhadap riset untuk mencari alternatif yang lebih murah. Ketimbang memaksakan diri pada konsumsi luar biasa terhadap pakaian, makanan, dan barang sekali pakai, kita didorong untuk memahami cara kerja konsumsi dan bagaimana memutus mata rantai limbah secara bertanggung jawab.

Usul ini sangat mahal tentu saja. Industri mobil dan transportasi yang bergantung pada bahan bakar kotor bisa jadi kolaps. Industri fast fashion yang bergantung pada buruh murah dan air bersih akan hancur. Industri pertambangan yang merusak alam akan terhenti. Industri barang mewah seperti emas, berlian, dan sejenisnya juga akan remuk. Saya sih gembira kalau yang remuk pemilik modalnya, lha kalau pekerjanya?

Energi terbarukan sayangnya masih membutuhkan cobalt dan lithium yang ekstraksinya lebih keji karena menggunakan perbudakan anak-anak. Untuk itu investasi terhadap riset, perbaikan lingkungan yang bertanggung jawab perlu didorong. Bagaimana memenuhi kebutuhan sekian miliar orang tanpa merusak alam.

Tentu pandangan Umair yang masih fokus pada milyuner filantropik dan capital venture sebagai mesiah sangat problematik. Tapi tawaran yang dia kasih bisa jadi jawaban untuk kelompok 1%. Meski ya bakal mental. Emang milyuner dan kapital venture itu mau keluar duit untuk mengakhiri sumber duitnya?

Kalau ngga bisa merebut alat produksi dan mendistribusikan kemakmuran, ya menaikkan pajak untuk mendanai kebijakan publik. Membatasi perusakan alam, mendorong perubahan dalam bidang jaminan kesehatan dan perlindungan alam, tapi ya berat bener kayanya. Mana mau orang kaya dikurangi kekayaannya untuk masa depan? Apalagi untuk menyelesaikan masalah sosial yang ada.

Jika kamu seperti saya, hidup dengan kecemasan dan depresi, masa depan terasa demikian seram. Kita seperti dibikin tak punya harapan sama sekali. Saat ini yang bisa dilakukan adalah bertahan hidup dari hari ke hari, seolah membayangkan apa yang akan terjadi lusa adalah kemewahan. Kamu tak tahu apakah besok kamu bisa hidup, kamu tak tahu apakah besok kamu masih punya pekerjaan.

Kecemasan dan kekhawatiran lahir karena kita tak tahu apa yang akan terjadi. Lebih buruk dari itu, kita dibuat tak bisa tahu. Kondisi pandemi membuat semua orang perlu menahan diri, kita tak bisa keluar rumah, tak bisa mencari bantuan tanpa takut tertular penyakit, hingga pada akhirnya kita dipaksa diam di rumah tanpa melakukan apapun.

Diam tak melakukan apapun membuat beban batin tertumpuk. Dari hari ke hari kamu dibikin bertanya, apakah aku akan bisa selamat pandemi, apakah akan ada cukup makanan untuk dikonsumsi, apakah ada tabungan untuk membayar makan, setiap hari kecemasan itu dilipatgandakan dengan fakta bahwa kondisi dunia tak makin membaik.

Umair menawarkan solusi, tapi bukan untuk seluruh manusia, tapi sebagian yang sudah mapan. Sementara bagi banyak kelas pekerja, untuk bisa bertahan hidup sehari-hari sudah sangat susah. Apalagi mesti berpikir untuk mengatasi masalah di peradaban. Mereka lebih memilih cara untuk bisa tetap hidup besok. Sisanya barangkali hanya doa.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet