Beberapa waktu lalu twit Serikat Sindikasi yang menggunakan Iphone menjadi polemik di twitter. Twit itu berisi gambar nasi dan cabe, menunjukkan solidaritas untuk kelas pekerja yang mengalami pemotongan gaji dan THR yang dicicil.
Sindikasi dianggap munafik, karena bisa twit dengan IPhone tapi ngga menghadirkan imaji miskin jadi cuma bisa makan pakai nasi dan cabe.
“Kenapa Iphonenya ngga dijual buat bantu makan?”
“Kok bisa ngetwit dan punya Iphone tapi ngga bisa makan?”
Sentimen-sentimen semacam ini mirip ejekan saat buruh protes sembari menggunakan motor Ninja kala Mayday. Beberapa orang menganggap memperjuangkan hak dasar, upah layak, harus dilakukan dengan laku prihatin.
Beberapa dari kita gagap menyadari bahwa kelas buruh, bisa menabung, usaha sampingan, mempunyai uang, dan bisa membeli produk yang oleh kelas menengah dianggap mewah. Memiliki barang mahal, tidak mengurangi hak seseorang untuk memperjuangkan haknya.
Misalnya, upah yang disepakati oleh pengusaha dan pekerja adalah 100 juta, menurut aturan pemerintah, tiap lembur pekerja wajib diberi haknya dan diberi BPJS. Sebuah perusahaan melanggar itu. Apakah karena seorang bergaji 100 juta, ia menuntut hak lemburnya dibayar, ia jadi ngga tahu diri, kurang bersyukur atau bangsat? kan tidak.
Kenapa susah sekali membayangkan jika pemenuhan hak itu ngga diukur dari kaya apa ngga. Kamu bisa punya gaji 100 juta perbulan dan jika perusahaanmu ngga memenuhi hakmu: seperti BPJS ketenagakerjaan, lembur, jam kerja manusiawi, hak cuti hamil, hak libur, kamu boleh dan bisa berserikat untuk memprotes itu.
Bersyukur dan memperjuangkan hak itu dua hal berbeda. Keduanya sama-sama mulia. Terutama jika kamu mampu dan kamu bersolidaritas terhadap mereka yang tidak. Tentu kamu bisa memilih berhenti atau mencari karir yang lain. Hanya diingat saja, kenyamanan dan hak-hak pekerja yang kita peroleh sekarang, bukan hasil kesadaran atau kebaikan korporat, tapi protes buruh yang dilakukan beramai-ramai.
Sama seperti gambar nasi dan cabe sebagai protes tentang solidaritas perjuangan kelas menengah.
Serikat Sindikasi, sebagai satu dari banyak serikat di Indonesia, memuat gambar itu sebagai solidaritas untuk kelas yang mengalami pemotongan gaji dan THR dicicil. Bukan berarti seluruh pekerja yang kena pemotongan gaji atau THRnya dicicil punya Iphone juga.
Kalau kemudian menyangsikan solidaritas Sindikasi, menganggap mereka mampu karena punya Iphone, tapi ngga mau nyumbang. Kalian bisa cek sindikasi x Bagirata, platform distribusi kemakmuran untuk saling bantu kelas pekerja. Sebelum dituduh macam-macam, mereka udah saling bantu.
Twit bergambar cabe dan nasi itu juga ngga ujuk-ujuk muncul. Ia gambaran riset dan juga survei mandiri yang dilakukan Sindikasi. Hingga akhir April 2020, setidaknya sudah lebih dari 200 freelancers dari berbagai kota di Indonesia melaporkan pembatalan project yang mereka alami.
Dalam survei SINDIKASI “Mengubur Pundi di Tengah Pandemi”, 87,8%-nya tidak mendapat kompensasi dan 56,1% dari mereka punya tanggungan yang harus turut mereka hidupi. Tak hanya pekerja lepas, banyak juga pekerja kantoran di industri ini yang terpaksa mengalami penundaan dan pemotongan gaji, dirumahkan tanpa upah, bahkan PHK tanpa pesangon sama sekali.
Sindikasi adalah Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi. Para pekerja kritis & progresif demi ekosistem kerja manusiawi & berkelanjutan. Di dalamnya ada beberapa kenalan, yang mungkin punya pekerjaan bonafide selayaknya karyawan kelas menengah (beberapa dari kita menolak melabeli diri buruh), mampu dalam keadaan finansial, tapi ingin bersolidaritas dengan sesama kelas pekerja.
Lho kok bisa karyawan ikut serikat pekerja? Serikat kan cuma buat buruh? Mungkin yang mendasari kebingungan dan ejekan, “buruh kok punya ninja dan buruh kok punya iphone” adalah anggapan serikat pekerja cuma buat orang miskin, buruh mlarat, dan bukan karyawan kelas menangah dengan bayaran layak.
Saya jadi ingat Serikat Pekerja Hollywood. Yang isi anggotanya kaya raya, aktor, aktris, musisi, sutradara, penulis naskah, yang bergabung dalam serikat penulis, serikat musisi, serikat aktor, dan saling bantu sesama kelas pekerja.
Serikat Pekerja Hollywood ini menjamin anggotanya mendapatkan upah layak, bayaran yang cukup, jaminan pensiun, dan asuransi kesehatan.
“Working under the SAG-AFTRA Commercials Contracts guarantees members fair wages, safe sets, protection from image exploitation and the opportunity to qualify for great health insurance and a pension. Previous generations of performers came together to establish a solid union and fought for these protections, often risking their own livelihoods to ensure futures members could build rewarding, stable and sustainable careers.”
Kita mungkin akan terbengong-bengon, kok bisa serikat pekerja memperjuangkan hak artis yang dibayar mahal. Mereka kan udah tajir, udah punya mobil, punya mac (penulis film pake mac misalnya), punya rumah, punya Iphone, ngapain masih perlu dibela? Ya salah satu fungsi berserikat adalah melindungi pekerja dari eksploitasi, terlepas kekayaanmu.
Salah satu protes penting pada 2016 ketika SAG-AFTRA menginiasi mogok ke 11 perusahaan game di Amerika yang tidak membayar layak anggota SAG-AFTRA. Hasilnya setelah 340 hari protes, kontrak dinegosiasikan ulang, dan mereka mendapat lebih banyak bayaran.
Saat COVID-19 menghantam Amerika, serikat pekerja ini, mengeluarkan maklumat untuk perlindungan seluruh anggota. Ngga cuma meminta jaminan gaji tetap dibayar penuh, tapi juga asuransi kesehatan bisa mengcover anggota. Di Amerika layanan kesehatan buruk sekali, untuk cek COVID aja mesti bayar sendiri.
Kalau pakai logika serupa, untuk menyerang Sindikasi di Indonesia, bayangin kita protes ke Robert Downey Jr (anggota Actors Guild Awards), aktor dengan bayaran paling mahal saat ini. Hanya karena ia protes ingin sesama aktor, sutradara, kru, untuk dibayar layak dan hak dasarnya dijamin. (oh jangan khawatir, ia nyumbang kok, lebih banyak dari gajiku setahun juga).
Kritik sosial dan solidaritas semestinya menembus medium. Apakah kritik Banksy terhadap perang, konsumerisme, kapitalisme, dan sejenisnya jadi gugur atau tidak berguna hanya karena karyanya itu terjual sangat mahal?
Atau kritik kepada Israel dan pembelaan Palestina yang dilakukan oleh Roger Waters, dari Pink Floyd, jadi invalid karena dia kaya raya atau karena kritiknya dilakukan di Villa mewah yang ia miliki?
Atau mungkin Das Kapital jadi percuma, karena ditulis Marx dari patron yang diberikan Engels anak juragan tekstil yang kaya raya? Bukankah selama ini Marx melawan kapitalisma, sementara orang tua Engels punya pabrik Barmen di Salford ?
Kritik Sindikasi tetap valid, karena ia sedang menunjukkan solidaritas terhadap sesama kelas pekerja yang jadi korban sistem. Kamu ngga harus miskin dulu untuk peduli pada penderitaan rakyat miskin kota. Atau kamu harus jadi korban perang dulu untuk bersolidaritas terhadap perang di Palestina.
Karena sesungguhnya kita juga akan segan mengkritik seruan pejuang Al Quds melawan zionisme di media sosial hanya karena mereka pake ponsel dan ngetwit.
“Lho kan twitter bikinan yahudi dan ponsel kan mahal? Mending buat beli makanan daripada beli ponsel”