Dulu pernah nulis soal penyair-penyair muda yang saya anggap keren. Ya karena teman sendiri juga. Dengan kepala super besar, dan keberanian kaya pawang ular, saya bilang generasi penyair seusia saya lebih hebat dari yang terdahulu.
Oh suda betul jika anda curiga tulisan ini adalah upaya membuat saya jadi keliatan bijak. Apakah saat ini lebih bijak? Tentu tidak, masih sama sombong dan jauh lebih goblok. Barangkali yang membedakan adalah kemampuan menerima perbedaan dan kegemaran membalas ajakan berdebat di media sosial.
Di Twitter sejak dua minggu terakhir beberapa teman mengomentari tentang .Feast, lebih tepatnya fans mereka. Fans ini diledek karena militansi mereka. Ya ga masalah juga, kesal ngga, malah lucu. Lagian ngapain marah, setiap zaman punya pendengarnya sendiri, setiap band punya penggemarnya sendiri. Kalau kamu ngga suka, ya mungkin bukan buat kamu.
Pas jaman masih sok-sok baca kajian budaya, pernah menemui frasa de gustibus non disputandum est. Yang artinya kalau ngedabus jangan minum es. Perkara selera, ngga usah didebatkan, itu sia-sia. Jadi lucu karena makin banyak fans .Feast yang defensif, semakin defensif makin banyak yang meledek.
Kejadian kaya gini mah bukan sesuatu yang baru. Kelompok Gelanggang Seniman Merdeka pada era Chairil Anwar juga lahir dengan kegelisahan yang sama. Kemunculan mereka merupakan respon terhadap generasi yang lebih tua, dan “untuk lepas dari ikatan-ikatan atau pengaruh-pengaruh dari angkatan sebelumnya, dan juga pihak penguasa yang mereka anggap munafik dan memasung kreativitas seni”.
Jika disandingkan dengan .Feast, kelompok Gelanggang Seniman Merdeka adalah penyair-penulis-sastrawan muda yang menolak dianggap satu bagian dari kelompok yang lebih tua. Mereka melahirkan penggemar baru, yang nyaris sama fanatiknya dengan penggemar .Feast saat ini. Menganggap generasi baru lebih baik daripada yang terdahulu.
Singkatnya, melepaskan diri dari elitisme dan membuat elitisme baru. Gejala kebencian terhadap elitisme itu selalu ada. Orang-orang yang ingin menjaga kemurnian bahasa, orang yang merasa bahasa semestinya dibebaskan, orang yang menganggap bahwa kesenian harus bicara tentang realitas manusia yang hidup di atasnya, atau mereka yang menganggap seni semestinya bicara soal seni semata.
Fenomena serupa bisa dilihat via komentar video-video Justin Bieber di Youtube. Kebanyakan dari mereka, laki-laki dewasa dengan selera musik bising, mengomentari musik yang dibuat untuk anak-anak perempuan. College humor menyebut mereka sebagai basic bro. Agak lucu, kalau mendebat musik yang satu genre mungkin masuk akal, musik Bieber memang tidak dibuat untuk orang dewasa yang biasa mendengar Mastodon atau Morbid Angel.
Ada orang yang menikmati musik sembari diam, ada yang demen bergoyang. Ada yang menganggap musik paling keren jika bising dan nyaring. Ada yang berpendapat lirik lebih penting daripada musik. Setiap selera sah, setiap genre sah, dan ngga perlu jadi satpol PP untuk mengatur mana yang paling adiluhung. Musik semestinya membebaskan, ngga usah ribet, jika kamu ngga bisa menikmati, berarti bukan buat kamu.
Barangkali, jika ada yang perlu diperbaiki, cailah perbaiki. Mungkin penulisan lirik .Feast yang dibuat oleh Baskara. Sajaknya punya masalah pada logika, keterkaitan antar bait, dan juga diksi. Ini penting karena ada banyak penulisan sajak yang berantakan dan ditulis buruk oleh musisi kiwari. Misalnya Ke-BM-an, insan bukan seekor sapi, atau semacam itu.
Estelle Caswell misalnya di Vox menjelaskan bagaimana lirik bekerja dalam hip-hop. Atau menjelaskan absurditas Trout Mask Replica by Captain Beefheart and his Magic Band. Kritik, apresiasi, atau review tidak sekedar bicara bagus atau jelek, tapi penjelasan mengapa musik ini bagus, apa yang membuatnya istimewa, dan bagaimana menjelaskan pada khalayak secara sederhana.
Hasan Aspani menulis dengan baik mengapa puisi perlu memanfaatkan logika. “Dengan logika kita menalar, memakai hubungan sebab akibat agar sampai pada kesimpulan yang diterima akal, atau kesimpulan yang logis. Kemudian bertindak atau tidak bertindak, menerima atau menolak, sesuatu dengan benar berdasarkan kesimpulan tersebut.”
Dari penjelasan itu penulisan lirik .Feast dari peradaban punya banyak problem. Misalnya:
beberapa orang menghakimi lagi
walaupun diludahi zaman 1000 kali
beberapa orang memaafkan lagi
walau sudah ditindas habis berkali-kali
Dua baris pertama ini agak susah baca keterkaitan antar kalimat pertama dan kedua. Seseorang tetap menghakimi walau diludahi oleh zaman 1000 kali? Apa yang hendak dicapai dari kalimat ini? Seseorang tetap bebal memaki walau zaman sudah memakinya berkali-kali?
Kalau yang kedua, seseorang tetap bisa memaafkan walau ditindas berkali-kali. Ini semacam menunjukkan kesalehan, kezuhudan, sikap mulia manusia seperti nabi. Ini pesannya mungkin masih masuk, dan bisa mudah dipahami.
Peradaban disusun seperti sebuah drama. Adegan-adegan dibangun dengan visual sederhana. Hanya saja, berbeda dengan Tarian Sari yang disusun Frau, untuk bisa memahami syair Peradaban sebagai sebuah pembabakan harus menambahkan subjek.
Misalnya:
“bawa pesan ini ke persekutuanmu
tempat ibadah terbakar lagi
bawa pesan ini lari ke keluargamu
nama kita diinjak lagi”
Ini serupa kabar tentang penyerangan kelompok intoleran. Seseorang membawa berita tentang kekerasan, tidak ada subjek pembawa pesan, ini diceritakan oleh korban yang meminta orang untuk mengabarkan kabar ini ke persekutuan dan keluarga mereka.
bagai keset “selamat datang”
masuk kencang tanpa diundang
ambil minum lepas dahaga
rampas galon, dispenser pula
Babak berikutnya adalah detil cerita penyerangan tadi. Sayang di sini ada logika yang agak remuk. Bagai keset “Selamat Datang” masuk kencang tanpa diundang. Siapa yang masuk tanpa diundang? Keset? Bisakah keset masuk sendiri dalam ruangan dengan kencang? Di sini seharusnya yang masuk kencang tanpa diundang adalah subjek yang membakar rumah ibadah dan menginjak nama korban pada babak sebelumnya.
Sebenarnya ini bisa diteruskan hingga baris perbaris, memeriksa logika antar syair, tapi tentu itu pekerjaan melelahkan. Apakah saya benci Peradaban? Oh tidak, saya suka sekali malah. Cuma syair lagunya kurang bisa dinikmati dan semestinya bukan persoalan. Kalau ngga suka yaudah, berarti bukan buat kamu.