Ketika terbangun dari tidur pagi itu separuh kanan tubuhku tak bisa digerakkan, kakiku lemas seperti jeli yang terlalu lama dijemur dan kepalaku berubah seperti cangkang kosong yang penuh suara bising knalpot RX-King.
Aku hanya ingat satu dua hal dari apa yang terjadi semalam. Seseorang berteriak tentang oksigen, sementara yang lain memompa dadaku dengan keras. Setiap pagi hanya ada dua berita yang aku tunggu. Kabar baik dan kabar buruk. Kabar baiknya aku akan hidup. Kabar buruknya aku masih hidup.
Apa yang harus dilakukan seseorang yang hidup dengan komorbid di tengah wabah?
Tidak banyak.
Kamu hanya bisa mengasingkan diri, menjaga tubuh dengan berbagai vitamin, memasang dua lapis masker, dan berharap cuaca tidak cukup labil untuk berganti. Ibuku selalu bilang bahwa musim yang tak ajeg adalah tanda alam sedang tidak baik-baik saja.
“Kalau langit biru terang, tapi di daerah kita basah dengan hujan deras. Itu pertanda ada dua saudara kandung saling bunuh,” kata ibu.
Atau ini karena perubahan iklim akibat eksploitasi alam yang menggila. Mungkin juga rekayasa cuaca produk teknologi militer tersembunyi. Aku tak tega mendebat ibu yang semalaman menangis saat aku berhenti bernafas. Ia selalu menyesal karena melahirkan anak yang sakit-sakitan dan menyalahkan diri karena aku lahir dengan rapuh.
Ibu sudah pulang saat aku bangun. Ia meninggalkan selembar kain batik di kakiku. Menurutnya doa-doa leluhur, harapan, juga dharma baik yang dilakukan keluarga kami akan tinggal dalam benda-benda yang diwariskan. Batik biru itu menutup selimut bagian bawah.
Dinding perekat ruang isolasi ini hanya terbuat dari triplek dan separator yang bisa digeser jika perlu. Kamu bisa melihat betapa murahnya bahan separator itu jika menyentuhnya. Tidak terlalu tebal, mudah penyok, dan bau cat kering yang dipasang tergesa. Apa yang kamu harapkan dari apartemen separuh jadi yang disulap jadi ruang perawatan dadakan karena melonjaknya pasien wabah?
Sayup sayup di antara tipis dinding, partisi dinding di belakang kasur tempat aku tidur, ada mesin yang menghadirkan bunyi repetitif. Bip-bip-bip seperti tetesan air, diikuti dengan gesekan kain, dan sesekali helaan nafas. Perempuan itu masuk sebelum aku. Ia tak banyak bicara dan aku suka dia karena itu. Tidak pernah berisik, tak pernah bicara, dan tak pernah bising memakai gawai.
Aku menghargai ketenanganku seperti nyawaku sendiri. Aku benci keramaian dan kerap bila harus memilih, aku akan tidur dengan perut lapar daripada harus keluar mencari makan jika ada tamu di rumah. Perempuan ini tak banyak bergerak, ia hanya menggambar, berjemur di dekat jendela, tak pernah menyalakan tv dan hanya mendengarkan musik dengan volume paling pelan.
Pagi itu aku bangun dengan dua kekecewaan. Pertama aku masih hidup. Kedua perempuan itu sepertinya akan bersiap pergi meninggalkan ruang isolasi.
***
Aku suka rutinitas. Bangun tepat waktu, makan makanan yang sama, melakukan aktivitas repetitif yang membosankan. Ini mengapa aku tak punya banyak teman. Orang terdekatku bisa dihitung dengan jari. Ibu, Mas Yanto perawat yang mengurusku jika kumat, Mali, dan perempuan itu.
Kepergian perempuan itu berarti satu hal, akan ada orang baru yang masuk ke kamarnya. Orang baru bisa saja berisik, gemar menonton televisi, memutar musik kencang, dan yang paling buruk, bisa saja dia suka mengobrol! Membayangkan ada orang baru yang menggantikan perempuan itu membuat perutku mulas dan kondisi nyaris mati semalam membuat keadaanku makin memburuk.
Saat pikiranku mulai memburuk, dadaku ikut sesak, dan ini berarti satu hal. Alat keparat yang memantau detak jantungku akan mengirimkan sinyal pada para perawat. Mereka akan datang dan orang asing yang tak aku kenal akan masuk ruangan. Belum lagi bising pengingat dari mesin itu akan membuat kepalaku makin pusing.
“Tarik nafas,” terdengar suara dari ruangan.
Aku tak merespon. Mungkin itu imajinasi saja.
“Tarik nafas. Jantungmu akan makin kencang berdetak kalau kamu diam saja,” kata suara itu.
Perempuan itu! Dia masih di sebelah dan bunyi mesin pendeteksi jantung di ruanganku terdengar sampai ke tempatnya.
“Aku tahu,” jawabku rintih. Hidup dengan jantung bocor, penyakit paru-paru yang brengsek, dan berbagai gangguan kecemasan membuatku sadar bahwa bernafas dengan tenang akan membantu kondisiku. Tapi saat itu aku sedang tidak baik-baik saja. Membayangkan orang asing yang berisik dan ribet membuatku cemas luar biasa. Setelah berulang kali menarik nafas, menghembuskannya pelan dan mencoba menahan diri untuk tidak melompat dari kasur.
Hening. Ia tak lagi bicara. Aku tak suka ngobrol tapi bicara dengan orang yang membuatmu nyaman sepertinya bukan hal buruk. Bertahun lalu saat aku masih berumur 8 tahun aku bertemu Mali di rumah sakit. Ia tipe orang yang tak suka bicara. Kami dalam kamar yang sama selama dua minggu, pada hari ke limabelas ketika aku akan pulang, Mali membagikan satu pisang. “Kamu orang baik, kamu tak pernah membahas wajahku,” katanya.
Sejujurnya aku tak peduli. Aku tahu Mali baru saja mengalami operasi bibir sumbing. Keluarganya tak ada yang mendampingi. Hanya seorang ibu paruh baya yang setiap siang datang mengantarkan bubur dan menukar baju kotor. Setelah itu hanya kami berdua di ruangan. Mali bilang itu pertama kali ia bertemu anak seumuran yang tak menganggapnya monster.
Mali tak suka bicara, ia hanya menggeram, batuk, dan mengangkat bahunya untuk berkomunikasi. Ia selalu memakai masker dan bukan karena wabah, bekas operasi yang meninggalkan luka di mulutnya membuat Mali benci orang melihat wajahnya berlama-lama. Itu mengapa ia berteman denganku. Aku tak pernah peduli pada siapapun atau apapun. Atau kupikir begitu.
***
Sore harinya aku bangun dari tidur. Matahari sudah berangsur rubuh di horizon. Warna merah oranye langit membuat segalanya jadi dramatis. Menjijikan. Aku benci sore hari menjelang malam. Segalanya serba keemasan. Kaca kamarku menghadap ke arah barat dan berada di lantai 23 membuat segalanya jadi terlihat jelas. Jalanan yang macet, gedung bertingkat, lapangan bola, dan juga arak-arakan awan yang terlihat seperti gulali rasa jeruk.
Kepalaku masih pusing tapi tidak separah tadi. Dadaku juga tidak sesak seperti biasanya. Ruangan di sebelah masih hening. Lampunya padam. Aku tahu karena partisi yang memisahkan ruangan kami tidak terlalu baik. Aku yang suka ruangan gelap, masih mendapatkan cahaya dari kamar sebelah.
Perempuan itu takut gelap. Atau kupikir demikian. Sepanjang hari lampu di kamarnya tak pernah padam. Ia tak suka suara, tak pernah menghabiskan makanan yang diberikan, selalu minum obat dengan ketepatan mesin, tapi ia benci gelap. Setiap maghrib, jelang langit gelap, nafasnya terdengar lumayan berat. Seperti hendak meledak. Seperti ada yang lari dari tubuhnya.
Aku sudah pasrah dan merelakan kalau dia harus pergi dan bertemu dengan orang yang berisik. Tapi aku salah. Perempuan itu tidak sedang pindah, atau pulang, tapi ia sedang bersiap untuk operasi. Atau kudengar demikian. Perempuan itu terkena wabah saat sedang perawatan untuk sebuah prosedur medis.
Pengangkatan rahim.