Pada awalnya aku mengira memiliki harapan-harapan saat pandemi adalah kebaikan. Kamu tahu? Berharap setelah pandemi ini selesai, aku hendak ke pantai, hendak liburan, hendak menghabiskan waktu bersenang-senang, menghabiskan uang yang aku miliki untuk bergembira. Kemudian setelah kehilangan pekerjaan, bingung mendapatkan pekerjaan baru, bangun dengan kecemasan, bangun dengan ketakutan bahwa tak akan pernah punya pekerjaan baru, harapan-harapan itu jadi duri yang terselip di tenggorokan.
Duri itu membuat segala yang kamu lakukan tak enak. Tidur terasa ganjil, duri itu mengganggu langit-langit tenggorokanmu, membuatmu terus minum air, atau berusaha berdahak agar keluar. Ketika makan, ia membuatmu terganggu, seperti ada yang terganjal, membuatmu menelan dengan penderitaan, makanan kesukaan terasa hambar, kamu malas mengunyah karena toh rasanya akan sama saja. Sakit.
Aku merasa kemampuan kita bersiap dalam menghadapi pandemi ini berbeda. Kita ada dalam badai yang sama, tragedi yang sama, wabah yang sama, tapi daya tahan, kemampuan kita beradaptasi, modal kita untuk menghadapi musim panjang penderitaan ini sungguh berbeda. Beberapa dari kita ada dalam sampan dengan lambung berlubang, beberapa dari kita tak punya layar, beberapa dari kita sudah mengapung bertaruh yawa karena rakit yang digunakan untuk menghadapi badai sudah karam sepenuhnya.
Sementara sedikit dari kita bosan dan kesal mengutuk badai, di sebuah pesiar mewah memandangi angin dan hujan deras, karena tak bisa berjemur sembari menikmati es teh manis di geladak kapal. Kita ada dalam badai yang sama, tapi kemampuan dan modal sosial kita benar-benar berbeda satu sama lain. Yang lain berusaha sekuat tenaga untuk bertahan hidup dan tak tenggelam, sementara yang lain merasa bosan dalam kamar AC dingin dengan selimut dan makanan hangat sembari scrolling media sosial.
Aku merasa tak ada yang salah dari itu semua. Kita bertingkah seperti apa yang diajarkan atau bagaimana lingkungan membentuk kita. Aku merasa diam di kamar ber AC sembari scrolling medsos tak ada yang salah. Juga berbagi foto makanan atau liburan sembari mengingat waktu yang lalu. Ia adalah cara kita untuk menghadapi pandemi. Mungkin dengan berbagi foto liburan, berbagi foto makanan, momen bersenang-senang, ia bisa jadi kuat dan tabah menghadapi wabah ini.
Gejala menjadi egois ini sebenarnya bukan hal yang baru. Sebelum pandemi, persepsi kita terhadap orang lain dan diri sendiri dipengaruhi oleh banyak hal. Diane Barth, L.C.S.W., seorang psychotherapist, menyebut bahwa sikap egois terdiri dari dua karakteristik: “Peduli secara berlebihan atau eksklusif dengan diri sendiri” dan “tidak memperhatikan kebutuhan atau perasaan orang lain.” Kebanyakan dari kita bersikap rela hati dan egois tergantung bagaimana kita hidup dari lingkungan seperti apa.
Menjadi altruistik sebenarnya adalah sikap default tiap-tiap manusia, meski saat pandemi beberapa kita memilih untuk jadi egois. Dalam artikel di Big Smoke Australia, disebutkan egoisme ini bukan sesuatu yang muncul tanpa sebab. Riset terdahulu menjebutkan adanya perubahan sikap terhadap altruisme pada tiap-tiap manusia. Sebuah penelitian yang dilakukan sepanjang tahun 2016 dan 2017 oleh Leonardo Christov-Moore dari UCLA menemukan area korteks prefrontal otak bisa dipengaruhi untuk membuat seseorang kurang dermawan.
Lalu jika benar kepedulian manusia bersumber pada reaksi di otak, mengapa sebagian dari kita malah sulit peduli dan berempati pada orang lain saat pandemi? Psikolog Lisa Marie Bobby, menyebutkan adanya faktor kecerdasan emosional. “Kecerdasan emosional memiliki spektrum dan derajat berbeda. Beberapa individu memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada yang lain,” kata Bobby.
“Salah satu gejala kecerdasan emosional yang rendah adalah kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri, atau secara eksklusif memikirkan tentang apa yang Anda pikirkan, rasakan, butuhkan, dan inginkan, alih-alih pikiran, perasaan, kebutuhan, dan keinginan orang lain.” Terlebih lagi, kita cenderung merasa sulit untuk mendeteksi keegoisan dalam cara kita, membuatnya lebih sulit untuk mengidentifikasi sifat atau perilaku kita yang harus kita hilangkan.
Psikolog dari Yale dan ekonom dari University of Zurich melakukan penelitian tahun ini untuk mengungkap fakta bahwa orang yang egois, tak peduli pada orang lain, dan mereka yang mementingkan diri sendiri membuat adaptasi perilaku dan ingatan diri sendiri untuk menghindari perasaan buruk karena perilaku sendiri.
“Ketika orang berperilaku dengan cara yang tidak memenuhi standar pribadi mereka, salah satu cara mereka mempertahankan citra diri moral mereka adalah dengan salah mengingat penyimpangan etika mereka,” jelas Molly Crockett. Ini yang mungkin bisa menjelaskan perbedaan antara egoisme saat pandemi, mereka yang melawan physical distancing untuk keluar rumah melakukan demonstrasi melawan kebijakan buruk/ketidak adilan, dengan mereka yang keluar rumah karena bosan.
Kukira ada perbedaan antara bosan menghabiskan waktu di rumah, lantas keluar untuk bersenang-senang. Dengan mereka yang terpaksa keluar untuk demonstrasi karena masa depannya terancam. Kita berhak memprotes kebijakan buruk, juga berhak keluar rumah karena sekedar bosan. Menyamakan keduanya sepertinya abai pada derajat prioritas. Yang pertama bisa dicegah dan ditahan, karena tak ada urgensi atau prioritas untuk keluar rumah karena bosan. Sementara yang kedua berkaitan dengan hajat hidup seseorang. Ia bisa mati jika dipecat, ia bisa tak punya pekerjaan jika sebuah kebijakan buruk disahkan.
Aku yakin kedua jenis individu yang keluar rumah ini menyadari betapa mengerikannya wabah. Tapi masing-masing dari mereka bertaruh untuk hal yang sama sekali berbeda. Satu orang mempertaruhkan diri karena malas di rumah, ia mungkin tak punya kekhawatiran perihal pekerjaan, perihal masa depan, perihal uang. Ia tak punya kecemasan ancaman pekerjaan, tak punya kecemasan dipecat, diam di rumah jadi serupa penjara ketimbang metode penyelamatan wabah, sehingga alasan keluar rumah sesederhana karena bosan belaka.
Sementara yang lain terpaksa harus keluar rumah, mempertaruhkan kesehatan diri karena sadar, masa depan bisa jadi demikian suram apabila kebijakan buruk disahkan. Ia tak ingin diam karena menyadari bahwa jika ia tak protes hari ini, kelak ia akan menderita. Individu ini menyadari bahwa protes turun ke jalan, berdesakan dengan ratusan orang lain, berpotensi menulari diri dengan penyakit mematikan. Tapi ia memilih untuk tetap protes untuk sesuatu yang berharga, untuk sesuatu yang ia yakini, menghancurkan kebijakan keji yang anti kemanusiaan.