Sepertinya pada setiap perjumpaan kita tak pernah benar-benar siap untuk kehilangan. Kepergian, seperti juga kematian, adalah keniscayaan yang sering kali gagal dimengerti. Sepertinya demikian, tapi kamu yang selalu semerawut itu seolah tak percaya.
“Kepulangan itu selalu sementara. Tak pernah abadi. Besok, lusa, atau bulan depan aku akan kembali. Aku selalu kembali untukmu.”
Tapi kamu kini menghilang, berbulan-bulan, tanpa jejak dan pesan. Seolah apa yang kau sebut pulang itu memang membutuhkan waktu yang sedemikian lama. Kukira, kita semua, aku dan orang orang yang juga merindukanmu telah terbiasa dalam kecemasan.
“Untuk apa cemas? Toh kalau aku memang ditakdirkan mati di singgasana saat mabuk atau di altar saat berdoa sama saja,” katamu marah.
Hari ini pun sama saja, kecemasan itu datang menyergap pelan-pelan. Lalu tanpa sadar aku melelehkan air mataku. Kamu tahu? Rasanya malu sekali tiba-tiba menangis saat sibuk menawar buah. Aku sebenarnya juga tak begitu paham mengapa kemudian menangis. Sekedar luapan emosi tiba-tiba yang mampir kukira. Kau suka buah apel atau jeruk? Sedang aku tak pernah akur dengan kedua buah itu. “Kamu itu aneh, buah enak kok gak doyan. Malah suka rambutan pantes rambutmu keriting,” katamu sambil tertawa.
Sebenarnya apa maumu? Datang dan pergi sesukanya tak tahukah kamu? Musim yang rumit itu masih bisa ditebak apa tabiatnya. Sedang kamu dan segala sikap sontoloyomu adalah misteri. Kenapa kamu harus datang untuk kemudian pergi lagi? Seperti hujan musim panas. “Aku hanya ingin melihat kamu senyum, itu saja cukup, aku harus pergi lagi,” katamu seraya membawa ransel besar yang entah apa isinya.
Sementara aku benci melihatmu semakin kurus pada setiap perjumpaan kita yang singkat itu. “Bah kau pikir aku harus makan seberapa banyak untuk jadi babi?” Aku benci jika kamu berkata itu. Seolah olah segala kejijikan adalah milik babi. Seekor babi tak pernah hendak dilahirkan menjadi babi, seperti juga seekor elang tak selayaknya ingin selalu terbang. “Tapi elang gaya, kan gede kaya punyaku,” dan kita tertawa lepas seolah hal semacam itu biasa saja.
***
“Tuhan tidak pernah adil membagi waktu”
“Kenapa begitu?”
“Kenapa setiap kita berjumpa, waktu sepertinya menguap secepat spirtus,”
“Kamu berlebihan, kiranya terlalu banyak jumpa kawanan bebek,”
“Tidak ada hubungan!”
“Sangat berhubungan, eh lagu kita ini? Anyone else but you..”
“Lupakan lagu, kita sedang bicara. Kamu bisa serius gak sih? Pantas risetmu tak kelar juga!”
“Kelulusanku tak ada hubungannya dengan lagu,”
“Ada, kamu saja yang terlalu tolol,”
“Tolol. Memang dan aku selalu bangga jadi tolol,”
Aku menyesal mengataimu tolol. Tapi kamu memang tolol menolak lulus hanya karena berdebat mengenai ya dan tidak dengan profesor. Sudah kubilang setiap profesor memiliki ego yang tak mungkin bisa diredam. Kamu selalu begitu berlari menjauh seolah dikejar kemungkinan untuk larut dalam kedegilan. Sementara yang kamu sebut kedegilan itu adalah cara hidup. Apakah kau selalu akan begitu?
“Jangan pergi, setidaknya jangan hari ini,”
“Ah manja, biasanya juga kamu ingin aku cepat pergi,”
“Tidak sekarang, kamu disini saja temani aku, kita jalan telusuri kota aku mohon,”
“I wish I can,”
“Kita seolah akan berpisah dan tak akan pernah bertemu lagi,”
“Aku tak pernah percaya perpisahaan, karena mereka yang pergi tak pernah benar-benar hilang. Selalu ada ruang dimana kita mengingat, di situlah sebenarnya kita berada,”
“Apakah kau selalu berkata seperti itu? Aku muak mendengar katamu yang seolah pintar itu,”
“Mungkin, terkadang aku pikir itulah alasan mengapa kita tak mungkin selalu satu. Kita butuh jeda dan jarak,”
“Tapi haruskah sejauh dan sesering ini?”
“Setiap kereta butuh stasiun untuk berhenti bukan?”
“Stasiun itu banyak..”
“Tidak untukku, hanya ada satu stasiun, keretaku mungkin hanya mampir, tapi segala pemberhentian hanya padamu saja,”
Seru panggilan kereta berbunyi dan itulah saat terakhir aku melihat kamu dan senyummu yang sontoloyo itu. “Aku mau pulang, mungkin agak lama, rumahnya jauh,” saat kamu katakan itu ada semburat keraguan yang meluber. Kamu tak yakin akan bisa kembali. Sepertinya kau hendak pergi ke tempat jauh yang tak menemukan tiket kembali. “Hati-hati dan jangan lupa makan,” itu saja yang bisa kukatakan.
***
Lalu kutemukan pesan itu disebuah sudut kamarmu. Sepertinya sebuah surat yang urung kamu kirimkan. Hari ini adalah dua bulan sejak kamu pergi untuk yang kesekian kalinya. Surat usang itu berlumur kopi dan semua sudutnya telah menguning. Untuk sesaat aku merasakan cemburu, seperti kebencian yang tiba-tiba. Siapakah orang yang kamu kirimkan surat itu? Bahkan aku tak pernah kamu beri kabar, untuk sekedar ucapan natal atau ulang tahun kamu lupa.
Tetapi rasa penasaranku lebih seru daripada kecemburuanku. Aku tak peduli lagi jika nanti kamu kembali dan marah. Yang jelas aku tak ingin dibebani rasa ingin tahu dan sakwasangka. Kubuka pelan kertas itu sebagaimana benda ringkih yang hancur hanya karena angin. Lalu sambil menahan nafas kubaca pelan kata pertama surat itu.
Untuk Iu
Sepertinya pulang yang kutahan ini tak akan pernah menjadi sebuah pemberhentian. Aku memutuskan untuk berlari dari bising masjid dan keheningan doa. Seperti kamu yang terpasung pilihan-pilihan. Apel dan jeruk. Langit dan bumi. Hujan dan mendung. Semua tentang pilihan.
Aku juga terpaksa memilih. Tapi bukan kamu.
Aku tak tahu bagaimana harus bereaksi. Sepertinya segala waktu dan udara berhenti. Seluruh tubuhku sesak dengan kegetiran. Apa yang kamu lakukan? Kamu membuat keputusan seolah-olah hal itu adalah hal yang biasa. Yang tak perlu adanya alasan dan penjelasan. Kamu pengecut! Kamu kurang ajar! Kamu tak tahu rasanya berharap dan kemudian dibikin kecewa pada kenyataan bahwa kamu tak akan mendapat apa-apa.
Sepertinya duniaku berakhir detik itu juga. Suratmu itu selayaknya vonis mati yang terlambat datang. Aku yang terombang-ambing amarah, sedih dan kesunyian ini lantas berteriak, menangis dan kemudian terduduk. Ibu dan ayahmu pun tiba. Mereka tak tahu apa yang terjadi, yang mereka lihat hanya seorang perempuan yang terduduk dan menangis sendirian dengan sebuah surat lusuh di tangan.
Pasangan sepuh itu kemudian memapahku untuk duduk kursi. Memberiku segelas air. Kamu tahu, saat kita sedih, kita tak pernah akan memperdulikan detail-detail kecil itu. Tentang kenapa langit sore itu tampak sangat cerah meski baru saja hujan. Tentang debu yang menumpuk dalam kamarmu yang berantakan itu. Beberapa buku puisi dan filsafatmu yang mulai menjamur di dekat kamar mandi. Semua menjadi tak pening saat dunia yang kita yakini ada ternyata harus hancur karena perasaan.
Sore itu aku pulang dari rumahmu sebagai orang yang kalah. Ayah dan ibumu memandangku pergi. Melihat punggungku hilang perlahan di kejauhan. Mereka tau bahwa luka yang kamu torehkan ini tak akan pernah sembuh sempurna. “Maafkan putra kami Iu,” kata Ibumu. Aku sedikit marah, apa haknya meminta maaf atas namamu?
Aku tak bisa memaafkanmu. Aku berharap dunia berakhir saat itu juga. Aku tak bisa berfungsi normal setelahnya. Seperti serdadu yang kalah seusai perang. Aku pulang dengan menunduk dan merayakan kekalahan.
***
Pagi ini Salatiga masih dingin menusuk seperti biasanya. Angin dan hujan bersekutu dengan mendung, menghadirkan getir saat pagi. Matahari tak akan tampak setidaknya untuk enam bulan ke depan. Sudah empat tahun sejak kamu memutuskan untuk pergi dan meninggalkan aku. Tapi bodohnya aku masih saja merasa kamu tak pernah benar-benar serius. Aku masih percaya kamu sekedar pamit pulang.
“Kepulangan itu selalu sementara. Tak pernah abadi. Besok, lusa, atau bulan depan aku akan kembali. Aku selalu kembali untukmu.”
Aku masih percaya itu dan terus menunggu kamu untuk kembali menemaniku memilih apel atau jeruk.