Pagi ini aku bangun dengan mimpi buruk. Seseorang yang aku kenal menggantung diri di sebuah pohon di tepi sungai. Setelah benar-benar sadar, tubuhku seperti dihajar dengan balok kayu. Kaku dan tak bisa bergerak. Kematian barangkali terlalu rumit untuk bisa dijelaskan dengan perasaan. Ia nyaris tak masuk akal. Seseorang yang bernafas pagi ini, bisa jadi mayat dan membusuk setelahnya.
Kematian mungkin lebih mudah diterima sebagai kehilangan. Nyawa adalah konsep yang abstrak. Kamu tidak bisa memaksa orang yang mati untuk hidup lagi. Lain perkara dengan kehilangan cinta. Saat kamu jatuh cinta lantas berpisah, orang yang kamu cintai masih hidup, kamu bisa berharap ia kembali, tapi harapan dan proses menuju kebersamaan tadi yang demikian menyiksa.
Aku kira kita bersepakat bahwa tak pernah ada hirarki dalam rasa kehilangan. Semuanya sama. Sama-sama menyakitkan dan memberikan luka yang perih. Kehilangan itu bukan persoalan besar sebenarnya. Rasa kepemilikan, rasa berhak, dan rasa ego tak ingin kehilangan yang membuatnya jadi rumit. Kukira kita akan menerima kehilangan jika itu terjadi sebagai hal yang sepantasnya. Seperti kentut, seperti kencing, atau seperti bangun dari tidur yang panjang.
Kehilangan jadi menyakitkan jika kita terpaksa melakukannya. Seperti perpisahan yang tak perlu terjadi jika kita mau bicara, jika kita mau mengambil jeda dan bersabar. Kehilangan semacam ini yang membuat perih. Kehilangan yang seperti ini melahirkan kebencian. Lebih dari itu. Ia melahirkan dendam.
Pagi ini aku bangun dnegan mimpi buruk. Aku berharap kamu baik-baik saja. Perasaanku demikian buruk, sementara mengingatmu membuatku lebih tenang. Karena kupikir, dari sekian banyak orang yang aku kenal, aku tahu kamu tak pernah merasakan dendam atau kebencian. Kamu orang baik. Orang yang selama ini seperti angin. Ringan menerima segala dan tak pernah diam di satu peristiwa.
Berbeda denganmu, aku jelas pengecut. Seperti batu aku cenderung diam dan melihat. Kemudian mengingat dan menyimpan segala getir dan penderitaan rapat-rapat. Entah itu kenangan baik atau ingatan yang menyakitkan. Menjadi batu adalah belajar perihal keras hati. Lantas ketika semua tak tertahankan, aku meledak dan menyakiti orang-orang yang ada di sekitarku.
Aku berharap apapun yang terjadi setelah ini, kamu tak akan jadi sepertiku. Manusia yang disandera kebencian dan dendam. Selamanya aku tak akan jalan di tempat, memelihara rasa takut tanpa bisa pernah berjalan dengan keberanian.
Seperti karang, rasa takutku demikian keras kepala. Aku tak bisa jadi kuat sendirian dan aku lelah meminta bantuan. Orang-orang akan kelelahan, orang-orang akan berhenti ada untukmu. Aku pelan-pelan belajar, aku harus mengatasi kesalahan dan bebanku sendirian. Aku tak bisa mengharapkan orang lain menyelesaikan masalahku. Kelak, aku sadar, jika tak berubah seperti karang digerus ombak, aku akan dilupakan.
Kamu tahu? Tak ada hirarki dalam kebencian. Semuanya sama. Aku tak pernah melihat atau mendengar kamu membenci sesuatu. Mungkin kamu masih membenciku, memelihara dendam, karena apa yang kulakukan. Tapi kamu selalu fair. Kamu memberikan jeda padaku untuk kemudian memperbaiki diri. Kali ini mungkin kamu sudah terlalu lelah memberi kesempatan dan kali ini kamu tak ingin lagi peduli.
Aku tak tahu harus bagaimana lagi memohon pengampunan. Belakangan aku menikmati sendiri dan berandai-andai kelak; kamu akan berhenti membenciku dan memaafkan apa yang terjadi. Memaafkan adalah pembebasan dan memberikan hidupmu kesempatan untuk menjadi lebih baik lagi. Tapi mungkin tidak hari ini, tidak untukku, dan tidak untuk apa yang aku lakukan.
Kebencian itu penjara. Ada api di dalamnya yang membakar nuraniku pelan-pelan. Akhirnya aku akan berakhir tak lebih dari pecundang.