Saat kuliah dulu, saya pikir tak ada yang lebih bijak dari Hujan Bulan Juni.
Puisi Sapardi Djoko Damono itu dinyanyikan dengan indah oleh duo Ari Reda. Saat mengerjakan skripsi, tengah malam, di ruang sekretariat pers mahasiswa, hingga pagi menjelang. Musik yang lembut, lirik yang indah, membuat saya fokus dan seringkali berujung jadi sentimentil. Tidak mengerjakan skripsi malah menulis puisi (yang sangat buruk) karena ingin jadi Sapardi.
Kompas menulis dengan baik sosok dan peran Sapardi dalam sastra Indonesia. Ia pernah menjadi Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia Jakarta (1973–1980), redaksi majalah sastra Horison (1973), Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin (sejak 1975), anggota Dewan Kesenian, anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka Jakarta (sejak 1987)
Pada 1986, Sapardi mengemukakan perlunya mendirikan organisasi profesi kesastraan di Indonesia. Ia mendirikan organisasi bernama Himpunan Sarjana-Kesusasteraan Indonesia (Hiski) pada 1988 dan sempat terpilih menjadi Ketua Umum Hiski Pusat selama tiga periode. Organisasi ini mungkin jadi penting karena menganggap bahwa sastra sebagai kazanah penting yang perlu ditelaah lebih dalam.
Pak Sapardi juga menerjemahkan beberapa karya sastra asing ke dalam Bahasa Indonesia. Seperti Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea karya Hemingway) karya Hemingway, Puisi Cina Klasik, Puisi Klasik, Shakuntala, Amarah I dan II (The Grapes of Wrath) karya John Steinbeck.
Atas dedikasinya dalam dunia sastra Sapardi menerima berbagai penghargaan dan hadiah sastra dari dalam dan luar negeri. Pada 1963 Sapardi mendapat Hadiah Majalah Basis atas puisi Ballada Matinya Seorang Pemberontak. Pada 1978 ia menerima Cultural Award dari pemerintah Australia. Pada 1983, ia memperoleh hadiah Anugerah Puisi-Puisi Putera II atas bukunya Sihir Hujan dari Malaysia. Pada 1984 Dewan Kesenian Jakarta memberi penghargaan atas buku Perahu Kertas. Mataram Award diterima Sapardi pada 1985. Hadiah SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Thailand diterima pada 1986.
Setelah mencari dan coba membaca lebih banyak puisi Sapardi, saya sadar ia menulis lebih banyak daripada sekedar hujan, ia pernah berkisah soal November yang penuh perjuangan, ia pernah pula menyapa Selamat Pagi Indonesia, tentang keinginan mencintai yang sederhana, tapi kita tak akan lupa jika Sapardi juga punya mata pisau dan duka yang abadi. Ada banyak yang diceritakan Sapardi dengan liris dan tak melulu hanya gosip.
Tapi mengapa hanya Hujan Bulan Juni yang selalu kita ingat kehadirannya? “tajam hujanmu,” kata Sapardi dalam Kumpulan Sajak Perahu Kertas, “…sudah terlanjur mencintaimu:” sehingga “payung terbuka yang bergoyang-goyang di tangan kananku,:” lantas membuat “ dua-tiga patah kata yang mengganjal di tenggorokan,” karena “deras dinginmu, sembilu hujanmu.” Ia menjadikan hujan sebagai seorang karib yang tak habis diceritakan. Barangkali hujan memang selalu bertutur soal kisah yang jamak, namun hanya sedikit yang mau mendengar dan peduli.
Buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni diterbitkan pertama kali oleh Grasindo pada 1994. Namun Sajak-sajak tentang dan bertemakan hujan juga terdapat dalam buku puisi lain yang pernah terbit sebelumnya, seperti: duka-Mu abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), dan Perahu Kertas (1983). Selain karya tersebut Sapardi juga menuliskan beberapa karya apresiasi sastra. Priyayi abangan: dunia novel jawa tahun 1950-an (2000) yang disusun berdasarkan tesisnya, juga Sihir Rendra: Permainan Makna (1999) yang berisi 16 esai sebagai apresiasi kepada WS Rendra.
Sapardi tak melulu menulis tentang hujan. Meski dalam puisi hujan yang ia bikin selalu ada sihir yang membuat kita patuh dan takluk. Dalam banyak cerita kita percaya suasana yang dibawa mendung itu melahirkan kehidupan. Namun “Hujan” katanya dalam sajak Sihir Hujan tak hanya “mengenal baik pohon, jalan, dan selokan” Tapi hujan juga punya keahlian lain, punya wajah laih, punya ciri yang membuat kita manusia “kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu dan jendela.”
Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan,
telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan
- — menyihirmu agar sama sekali
tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu
yang harus kaurahasiakan
Puisinya juga diterjemahkan menjadi musik. Ananda Sukarlan misalnya pada awal 2008 menggelar konser bertajuk “Ars Amatoria” yang berisi interpretasinya atas puisi-puisinya. Juga seperti yang dilakukan dalam album “Hujan Bulan Juni” (1990) dari duet Reda dan Ari Malibu, atau Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Francisco oleh Melancholic Bitch “Re-Anamnesis” (2017).
Ada pula satu lagu dari album “Soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti”, berjudul ‘Aku Ingin’, diambil dari sajak Sapardi dengan judul sama, digarap bersama Dwiki Dharmawan dan AGS Arya Dwipayana, dibawakan oleh Ratna Octaviani.
Tak hanya pada kazanah seni musik, puisi hujan Sapardi telah berkembang hingga pada seni musik dan seni lukis. Seperti yang dibuat oleh Mansjur Daman. komikus silat pencipta serial Mandala.
Pada 11 April 2013, dalam pembukaan Retro Man 50 Tahun Berkarya di Bentara Budaya Jakarta, Mansjur menginterpertasi puisi Sapardi Djoko Damono Hujan di Bulan Juni menjadi sebuah komik. Baginya puisi merupakan penggambaran yang paripurna tentang sebuah kepergian dan perpisahan. Dalam komiknya itu Mansjur menggambarkan hujan sebagai sebuah perpisahan yang subtil dan agung.
A Teeuw, kritikus dan pemerhati sastra Indonesia asal Belanda, menyebut Sapardi telah menciptakan genre baru dalam kesusasteraan Indonesia. Menurut Goenawan Mohammad, puisi Sapardi adalah selayaknya dicemburui dan langsung buat kita bertanya, mengapa saya tidak menulis seperti itu!
Sementara itu Mangasa Sotarduga Hutagalung salah satu kritikus sastra mazhab Rawamangun pernah membuat heboh setelah ceramah di Fakultas Sastra UI pada 24 November 1973. Baginya penyair Indonesia terkemuka saat itu adalah Subagio Sastrowardoyo, baru menyusul kemudian Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan WS Rendra.
Sebenarnya ada beberapa puisi hujan yang barangkali kurang terkenal dibandingkan Hujan Bulan Juni. Saya coba susun beberapa di antaranya. Sebagian berasal dari kumpulan puisi Mata Pisau (1982) dan kumpulan sajak Perahu Kertas (1983). Keduanya diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Hujan Dalam Komposisi I
“Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan?”
Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan,
membanyangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang.
“Tak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa di pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur.”
barangkali sudah terlalu sering dia mendegarnya dan tak lagi mengenalnya.
1969
Hujan Dalam Komposisi II
Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu; tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah dan jatuh ke bumi.
Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap tentang lautan.
Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan. Selamat tidur.
1969
Hujan Dalam Komposisi III
dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya
terpisah dari hujan
1969
Percakapan Malam Hujan:
Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan
payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya
kepada lampu jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar
kujaga malam.”
“Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba
suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi;
kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat
manusia. Ia suka terang.”
dan kesedihan yang sering terasa saat sendiri… atau apakah kesedihan memang untuk dinikmati sendiri?
entah..
Pada Suatu Pagi Hari:
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis
sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi
itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa
berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang yang
bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk
memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin
menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan
rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.
1973
Kuterka Gerimis:
Kuterka gerimis mulai gugur
Kaukah yang melintas di antara korek api dan ujung rokokku
sambil melepaskan isarat yang sudah sejak lama kulupakan kuncinya itu
Seperti nanah yang meleleh dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit ke atas itu
Seperti badai rintik-rintik yang di luar itu
1982.
— — — — — — — — — — —
Hari ini saya mendengar kabar jika Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono meninggal di Tangerang Selatan. Penyair kelahiran Surakarta 80 tahun lalu ini saya kira mampu mengetuk hati berbagai generasi penggemar. Hari ini mungkin ada baiknya kita mendengari lirik Jason Ranti dalam Lagunya Begini, Nadanya Begitu.
“Yang fana adalah waktu. Kita abadi”