Ketika bapak pergi, aku baru sampai rumah, dan burung-burung peliharaan kakek berhenti berkicau karena petir yang menyambar setelah seharian hujan turun deras di kota kami. Jalanan dari alun-alun menuju rumah kami dipenuhi pengendara motor dan mobil yang berebut ruang agar gegas pulang.
Komplek rumah kami tak jauh dari jalan utama. Jika kamu datang dari arah selatan, selepas parit kecil yang meluber menumpahkan sampah dan sisa comberan, kamu akan melihat komplek perumahan Puri Indah. Tidak ada puri di komplek ini dan perkara indah itu jelas bisa diperdebatkan.
Sebagaimana banyak perumahan tertutup di ibukota, tempat kami tinggal dipenuhi oleh portal dan pos penjaga. Kamu harus melewati dua portal dan satu pos penjaga untuk bisa masuk. Semua ini demi keamanan. Bapak bilang, bertahun lalu sebelum dia menikah, rumah kami ada di Glodok. Tapi tempat itu dibakar orang dan isi rukonya dirampok orang.
Ini mengapa setelah menjual perhiasan nenek, ruko yang separuh gosong, dan dua motor honda yang surat-suratnya hilang. Kakek membeli rumah di tempat ini agar bisa hidup lebih tenang, tapi juga agar bisa membuat kebun bunga. “Ruko Kakek di sana panas. Kalau musim hujan banjir, kalau kemarau debu-debu masuk ke toko. Tidak sehat,” katanya.
Rumah di Puri Indah tak begitu besar jika dibandingkan para tetangga. Rumah Koh Toni di ujung jalan, dipagar dengan besi bercat mas. Ada patung singa dengan sayap dan malaikat yang menempel di masing-masing sisinya. Bapak pernah bilang, banyak orang kaya punya duit, tapi gagap soal selera.
Kalau mau mencari rumahku sebenarnya mudah. Dari sekian banyak bangunan di Puri Indah, cuma rumah kakek yang memiliki halaman dengan kebun bunga kecil yang rimbun. Sering tukang ojek online dan jasa pengiriman barang menggunakan rumah kami untuk patokan arah. “Sebelah mana rumah anggrek?” kata mereka.
Berkali-kali orang mampir datang dan mengatakan ingin membeli bunga anggrek kakak. Tapi ia selalu menolak dan malah menawarkan bibit anggrek yang ia miliki untuk ditanam sendiri. “Orang mengira bunga selamanya akan mekar, mereka cuma melihat indah yang saat ini. Jika kamu bisa menghargai sesuatu yang tumbuh dari bibit, mekarnya bunga cuma bonus,” katanya.
Kami berdua memang dekat, bahkan ibu menganggap aku lebih dekat dengan kakek daripada dengan ayah. Jelas belaka. Sebagai insinyur Bapak selalu pergi keluar kota dan jarang di rumah, sementara kakek selalu di rumah jika tak menjaga toko di pasar. Kedekatan ini kadang bikin ibu dan bapak jengkel, tapi mereka tak bisa apa-apa.
Aku ingat dulu, saat kecil dan gemar mencuri gula batu dari dapur untuk kumakan sembunyi-sembunyi, kakek melindungiku dari amukan ibu. Sejak kecil aku punya masalah dengan sesuatu yang manis. Jika makan berlebihan, tenggorokanku selalu gatal dan batuk berkepanjangan. Tapi kakek selalu membela. Ia selalu punya alasan untuk membiarkan aku, cucu perempuan satu-satunya dalam keluarga, menikmati apapun yang aku mau.
Orangtua kerap kali punya bakat khawatir sementara anak-anak mereka dilahirkan untuk melawan dengan semangat yang pejal. Tumbuh dewasa dengan dua orang tua, ayah-ibu dan kakek-nenek, membuatku sadar bahwa dicintai dengan tulus itu kemewahan. Meski kadang aku berharap kami punya rumah sendiri agar jika bapak dan ibu bertikai, kakek tak perlu tahu.
Hari ini misalnya, bapak pergi setelah bertengkar dengan ibu perkara keputusanku untuk pergi merantau ke Dili. Bapak menganggap orang rumah terlalu memanjakanku, sehingga tak bisa dikendalikan dan mau menang sendiri. Tapi ibu bilang, bapak tak punya hak buat mengatur hidupku, dua puluh tahun hidup sebagai ayah, ia nyaris tak pernah hadir saat momen-momen pentingku.
Kakek menenangkan ibu dan meminta Bapak pergi sementara. Ia bilang, saat marah kamu perlu mengambil jeda dengan diri sendiri. Hanya orang tolol yang mengambil keputusan saat marah, dan hanya orang dungu yang bicara ketika sedang muntab. Malam ini sembari makan, kami sekeluarga akan membahas perihal keputusanku.
Aku dan bapak memang tidak dekat. Aku tahu ia menyayangiku, semenjak keluarga kami bangkrut, terusir dari ruko, dan pergi ke tempat lain setelah menjual sebagian besar harta, Bapak menganggap uang adalah segalanya. Pamanku, menganggap ini adalah obsesi tidak sehat yang dilahirkan dari kemiskinan berkepanjangan. “Manusia bisa demikian mendendam pada kemiskinan karena pernah kehilangan,” katanya.
Kemiskinan itu hal yang asing bagiku. Sejak lahir aku selalu cukup, tidak kaya, tapi keluarga kami tidak pernah sampai benar-benar kelaparan karena tidak makan. Selalu ada nasi di meja, selalu ada pakaian baru tiap sincia, dan selalu ada uang angpau saat natal. Nasib keluarga kami, kata paman, berubah mujur sejak aku lahir.
Bapak bilang kakek menamaiku Anggi karena almarhum bibi, adik bungsu bapak yang meninggal tahun 98, sangat menyukai anggrek. Bunga rapuh yang selalu punya pesona saban kali mereka mekar. Ini mengapa rumah kakek dipenuhi bunga itu, ia selalu minta tetangga atau kerabat untuk membawakan bibit varian anggrek baru untuk ditanam.
Pria tua yang tak tamat sekolah rakyat itu, bisa menjadi penanam bunga yang baik berbekal buku yang dipinjam dari gereja serta berhari-hari nongkrong bersama penjual bunga di dekat sekolahku.
“Anggi, ini anggrek bulan. Yang kakek punya dulu dapat dari pamanmu yang pernah ke kebun raya bogor,” katanya.
Di meja makan, ketika kami makan malam, kakek pernah bilang bahwa anggrek bulan punya nama lain puspa pesona. “Bunga ini,” jelas kakek membenarkan kacamatanya sembari melihat layar ponsel, ”Pertama kali ditemukan oleh seorang ahli botani Belanda, Dr. C.L. Blume.”
Sejak aku perkenalkan dengan internet, ia kerap kali menyimpan dan membagikan informasi tentang bunga anggrek kepadaku. Kadang melalui whatsapp, kadang melalui penjelasan langsung seperti malam ini. Kami sekeluarga duduk di meja makan berhadapan dan seperti sedang menyimpan bara, kecuali aku dan kakek, Ibu, Bapak, dan Nenek makan dalam diam.
“Aku akan pergi ke Dili, bapak. Dan aku akan baik-baik saja,” aku membuka percakapan kami.
Aku melihat raut wajah Bapak dan ia seperti biasa, dingin, seperti tak pernah ada apa-apa. Sementara ibu, menunduk dan cuma bisa menangis. Malam itu makanan di meja seperti batu, tak bisa ditelan, dan berakhir jadi pajangan. Kami menyelesaikan sisa percakapan dengan basa basi tentang tiket, jadwal keberangkatan, dan jumlah pakaian yang akan dibawa.
Setelahnya, Bapak masuk kamar, sementara ibu menemani nenek membereskan sisa makanan. Aku tahu Bapak kecewa, ia ingin aku tinggal, menemani ibu, nenek, dan kakek. Ia merasa bersalah karena selalu pergi dan kini saat Aku akan meninggalkan rumah, ia akan kehilangan orang yang bisa dipercaya menjaga keluarga.
Aku tak bisa menyalahkan Bapak, tapi aku juga tak ingin seumur hidup jadi pengganti Bapak di rumah. Keputusanku pergi adalah upaya melepas belenggu dan menarik kembali tanggungjawab pada Bapak. Kelak setelah setahun aku di Dili, Bapak memutuskan pensiun. Seperti Kakek yang merawat bunga-bunga, Bapak akhirnya menemukan kedamaian di kebun kami.