Saat pulang ke Kampung selama dua minggu, aku diliputi kecemasan yang tak perlu. Barangkali karena ini pulang pertama setelah pandemi, juga karena aku tahu ibu merindukanku. Ibu makin tua, hidup sendiri di rumah, dan dengan keras kepala menolak pindah bersama anak-anaknya.
Bagi banyak orang rumah adalah perkara properti, bangunan dengan pintu, jendela, dan jika kau cukup mujur sepetak pekarangan yang luasnya tak begitu. Tapi bagi ibu, rumah adalah tempat ia tumbuh, membangun ingatan, membuat jejaring sosial, dan juga tanah di mana ia meletakkan akar.
Ibu dengan gembira menyambutku pulang, aku ingat bertahun lampau ketika pertama kuliah, ia sering bertanya kapan pulang? Jika libur lebih baik kembali saja, menghemat uang saku dan juga makan yang lebih bergizi, daripada nasi goreng atau indomie. Hari itu, seperti bertahun lalu, ia masih cekatan memasak sayur, menguleg sambel, dan juga menggoreng ikan.
Nyaris setiap malam kami bercerita, tentang masa lalu, rencana masa depan, juga tentang peristiwa kecil yang aku sendiri lupa. “Dulu kamu pernah menggoda adikmu, nanti kuliahnya di UGM saja, Universitas Gerbong Maut,” kata ibu sembari tertawa. Aku sendiri lupa apakah pernah mengatakan hal itu.
2004 ketika jelang kenaikan kelas dan kelulusan SMA, aku mengutarakan keinginan untuk masuk UGM. Ibu bilang, ia tak ada biaya, tapi ikut saja. Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang selalu punya cara memenuhi keinginan hambanya. Jika baik bagiku, UGM atau di manapun akan diberikan dengan jalan yang lapang.
Aku gagal masuk UGM karena biaya tapi masuk Universitas Jember dengan pinjaman tetangga. Aku ingat saat harus membayar uang pangkal dan biaya semester pertama, ibu tak punya uang, bapak juga, dan keluarga yang lain tak memiliki tabungan sama sekali. Ibu berdiri di pinggir jalan, berzikir, berdoa pada Tuhan yang ia bilang maha Pemberi dan Maha Pemurah.
Tetangga kami, seorang tionghoa dan katolik yang saleh, datang menghampiri aku dan ibu. Ia bertanya ada apa, dan ibu menjelaskan keadaan kami. Tanpa ada keraguan sedikitpun, tetangga kami itu menyerahkan segepok uang. Pas untuk uang pangkal dan biaya satu semester.
Bertahun kemudian, aku tahu uang itu adalah hasil pembayaran hutang seseorang. “Ini rejeki anakmu, semoga bisa jadi orang,” katanya dengan tertawa lepas. Setelah wisuda dan jadi sarjana, tetangga itu yang pertama kutemui setelah keluarga. Barangkali saat itu hanya ini yang bisa dilakukan.
Hidup adalah serangkaian keputusan yang membawamu pada kemungkinan-kemungkinan baru. Ada hal yang akan kamu sesali, akan ada hal yang kamu syukuri. Tapi jalan yang tak pernah kamu ambil, ujungnya tak akan pernah kamu ketahui. Aku menyadari itu dan merasa apa yang terjadi saat ini adalah hasil dari segala pilihan yang ada.
Sepanjang liburan aku mendengarkan lagu Lomba Sihir — Ribuan Memori. Pelan-pelan arsip ingatan dan catatan peristiwa dari masa lalu datang silih berganti. Kebahagiaan, rasa getir, malu, juga kebanggaan hadir seperti iklan radio yang saling menyela lagu kesukaanmu.
Lirik lagu ini membuatku bertahan dan terus bertahan. Musik, semestinya membuatmu gembira, dan jika perlu bersedih. Ia adalah perpanjangan emosi dari apa yang kita rasakan. Jika duka itu gelap dan hitam, maka selayaknya ia lambat. Jika riang itu terang dan silau, maka ia selayaknya gegas.
Kukira itu yang aku rasakan dari lagu Ribuan Memori. Ingatan-ingatan dari masa lalu, apa yang sudah terjadi, dan segala yang berada di antaranya adalah momen yang membentuk kita hari ini. Tentu tak semuanya bisa dibanggakan, tapi tak semua perlu disesali.
Jika ada ingatan yang terus menghangatkan dirimu
Jagalah apinya, hadapi hari, teruslah kau begitu
Aku tak selalu bangga akan masa laluku, ada banyak hal yang aku sesali, ada banyak kesalahan yang kuharap tak pernah dilakukan, tetapi juga ada pertemuan dan perpisahan yang membuatku tumbuh, seperti tunas, seperti tanaman, ia hidup dengan menuju cahaya. Kadang tangkainya perlu dibabat, daunnya meranggas, dan sisanya bisa berkembang jadi buah yang membuatmu jadi manusia.
Terima kasih, Lomba Sihir.