Ragu

dhani
3 min readOct 25, 2020
Young Woman with a Lute (ca.1662–1663) by Johannes Vermeer. Original from The MET Museum. Digitally enhanced by rawpixel.

Menjelang subuh aku masih terjaga. Jam dinding masih terlalu bising, di luar suara kodok, dan air difuser di kamar beradu. Lepas tengah malam yang semestinya sunyi malah terasa demikian nyaring. Aku sendirian di kamar, menatap langit-langit kamar. Sejak magrib aku tak bisa tidur. Aku baru saja dipecat, sekali lagi, ini kali ke dua aku dirumahkan tahun ini. 2020 membuatku sadar segala hal yang sebelumnya aku perlakukan sebagai sesuatu yang terberi, sebenarnya anugrah.

Beberapa hari ini aku merasa perlu mengambil keputusan. Tetap di Jakarta atau pergi pulang ke rumah. Aku tak punya banyak tabungan, ketidakpastian kondisi saat pandemi memaksaku harus bersiasat. Bertahan di Jakarta tanpa pekerjaan adalah bunuh diri. Kota ini punya biaya hidup tinggi dan stress yang berlapis, tapi kota yang sama juga memiliki banyak potensi, lowongan pekerjaan, hingga kemungkinan-kemungkinan yang lain. Apakah ada cara untuk bisa bertahan tanpa pekerjaan?

Aku coba bangun lantas duduk. Minum air dari botol di atas meja. Dua kali teguk air telah tandas. Aku lupa membeli air. Tenggorokanku masih haus. Apakah aku harus pergi ke dapur untuk mengambil air? Atau aku tidur saja? Mataku berat, tubuhku lelah, kamarku panas, aku tak menyalakan AC, token listrik tinggal beberapa saja. Apakah aku harus membeli token listrik atau pulsa? Bagaimana aku harus menjalani hidup besok? Aku hidup dari pilihan-pilihan yang tak banyak, sialnya pilihan itu harus segera diambil dengan berbagai konsekuensi yang menyertai.

Jika aku bertahan di Jakarta, aku perlu membayar uang pondokan. Makan sehari-hari, listrik, pulsa, transportasi dan segala yang menyertai di antaranya. Aku perlu berpikir dan bersiasat untuk menekan pengeluaran. Perlu pintar mengatur nafas dan keinginan. Sembari berusaha keras mencari pekerjaan baru, mencari kemungkinan baru, apakah pandemi akan memberiku pekerjaan baru? Atau aku akan tetap menganggur dan menjadi beban orang-orang yang aku sayang.

Kepalaku penuh dengan suara. Mereka berkata aku tak berguna. Menganggur adalah kondisi yang terjadi karena aku tak punya manfaat bagi peradaban. Aku membenci diriku sendiri. Seolah dipecat, menganggur, membuatku jadi invalid, membuatku jadi orang yang gagal. Pelan-pelan aku merasa bahwa hidupku adalah kesalahan. Salah memilih karir, salah memilih jurusan, salah mengambil keputusan. Aku gagal dan tak layak diberi kesempatan lagi.

Aku berusaha untuk tak mendengar suara-suara itu. Suara itu hanya kecemasan yang mengambil alih kesadaranku. Aku berusaha untuk mengabaikan suara-suara itu. Mereka bising, memaksaku untuk menyakiti diri sendiri, membuatku merasa bahwa aku tak layak bahagia, kemudian ia membuatku mengutuk nasib sendiri dan keputusan orang tua untuk melahirkanku. Tapi apakah suara-suara sumbing itu layak dipercaya?

Aku berharga, aku tak layak diperlakukan demikian, bahkan oleh diriku sendiri. Aku tak diukur dari pekerjaan yang aku miliki. Aku tak diukur dari penghasilan yang diperoleh. Aku tak mau tunduk dengan kebencian ini, aku tak ingin mendengar suara buruk yang membuatku merasa tak berharga, aku tak ingin jadi lemah, aku ingin merasa hidupku lebih dari sekedar yang aku lakukan, uang yang aku hasilkan. Kelak jika aku menemukan jalan keluar, aku akan megingat saat ini sebagai satu dari sekian banyak momen buruk dalam hidupku.

Subuh kian dekat. Detak dinding, suara pompa air, dan panas ruangan membuatku menyalakan pendingin. Aku tak tahu apakah besok akan ada pekerjaan. Aku tak tahu apakah besok akan ada jalan keluar. Saat ini aku hanya ingin bertahan. Aku hanya ingin tetap hidup. Aku tak ingin menyerah dengan keadaan dan membuatku menyakiti diri sendiri. Aku memutuskan untuk mencuci muka, membahasai kaki, lantas memperbaiki sprei kasur, membenahi bantal, dan mencoba untuk tidur lagi.

Suara bising di kamar berganti dengan doa-doa lirih dari toa masjid. Sebentar lagi subuh dan orang-orang sudah menuju masjid untuk ibadah. Aku merasa tuhan punya banyak cara untuk menyelamatkan umatnya, tapi apakah ibadah bisa menyelesaikan persoalanku? Aku butuh pekerjaan. Aku butuh kepastian. Aku butuh bisa mengambil keputusan segera. Pelan-pelan aku membaca doa, membaca firman-firman tuhan, dengan lirih, berharap nanti saat aku bangun, ada jalan keluar atas semua persoalanku.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet