Problem Radikalisme

dhani
4 min readOct 8, 2020

Radikalisme itu bukan cuma soal kemiskinan atau ketimpangan sosial. Ia lebih rumit daripada sekedar masalah distribusi ekonomi. Kelompok teroris semacam ISIS banyak merekrut kelompok kelas menengah terdidik, mapan secara finansial, dan memiliki pekerjaan yang baik. Tentu jumlahnya tidak sebanyak orang miskin yang kemudian tertarik untukk bergabung dengan mereka.

Beberapa pendukung ISIS di Indonesia atau mereka yang kebetulan memutuskan berangkat jihad ke Suriah beberapa di antaranya memiliki pendidikan tinggi, pekerjaan mentereng, dan hidup yang mapan. Analisa bahwa ketimpangan kelas membuat mereka jadi radikal itu tidak berlaku untuk kelompok semacam ini. Lantas jika kemiskinan struktural bukan satu-satunya alasan lantas apa?

Seperti saya bilang, radikalisme itu kompleks. Mapan dan berpendidikan tinggi tidak membuat seseorang kebal dari rayuan radikalisme. Terorisme, seperti juga isme-isme yang lain, adalah ide yang menawarkan solusi atas permasalahan. Setiap individu memiliki cara pandangnya sendiri terhadap solusi yang paling sesuai. Bunuh diri kelas itu tidak hanya terjadi pada isme tertentu, tapi nyaris di setiap isme punya orang macam ini.

Perubahan pergeseran profil rekrutmen anggota ISIS juga didukung oleh data Kementerian Luar Negeri tahun 2016 yang menyebut, WNI yang dideportasi pemerintah Turki mempunyai latar belakang beragam, seperti pilot, ahli keuangan, ahli desain, ahli komputer, dokter, hingga perawat. Bukan buruh tani, rakyat miskin kota, apalagi preman parkiran.

Data hasil survei bersama Infid dan Gusdurian memperlihatkan pemuda bisa terdorong menjadi teroris karena frustrasi dengan kehidupan sosial (sebanyak 12,5 persen). Ada pula yang menyetujui pernyataan memakai kekerasan ialah salah satu cara tepat melawan kaum kafir (22,2 persen).

Generasi yang terpapar penyebaran wacana intoleransi yang terus-menerus, dikhawatirkan bakal menyebabkan kesehatan jiwa seperti split personality, menurut riset itu.Dalam laporan itu disebutkan beberapa kata kunci pemetaan untuk survei seperti “kafir”, “sesat”, “syariat Islam”, “tolak demokrasi”, “jihad”, “antek asing”, “komunis”, “liberal”, “pengkhianat agama”, dan “musuh Islam”.

Dengan bantuan mesin, ditemukan kurang lebih 90 ribu akun yang memuat pesan radikal dan ekstremisme dalam waktu sebulan. Dari temuan itu, peneliti memisahkan akun berdasarkan jenis media sosial. Maka agak naif jika menganggap kemiskinan dan minimnya akses terhadap pendidikan melulu penyebab radikalisme.

Masih ingat Imam Samudra? pelaku bom Bali ini latar belakangnya ahli komputer. Atau, duo dalang bom Bali asal Malaysia: Nurdin M. Top dan Azahari Husin. Yang pertama adalah lulusan akuntansi, sedangkan yang kedua memiliki gelar Ph.D dari University of Reading, Inggris Raya. Dr. Azahari bahkan pernah mengajar pada Universiti Teknologi Malaysia.

Data penelitian David Gambetta dan Steffen Hertog, dalam buku mereka Engineers of Jihad (2016), mengkonfirmasi analisis itu. Kedua peneliti dari Universitas Oxford ini mengumpulkan 497 nama yang terlibat gerakan teror Islamis yang aktif mulai 1970an. Mereka memeriksa latar belakang semuanya, dan didapat 335 nama yang ada data latar belakang akademiknya. Dari semuanya, ada 231 yang pernah mencicipi pendidikan tinggi, baik lulus maupun tidak, bahkan 40 di antaranya sekolah di kampus-kampus negara Barat (Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa Barat).

Jika dilihat persentasenya, teroris yang mencicip bangku kuliah itu mencapai 69 persen, jauh lebih tinggi dari anggota kelompok yang tak sampai lulus sekolah menengah, 8,4 persen. Kontrasnya, angka itu sudah tak sejalan dengan “teori” populer yang menghubungkan kebodohan dan terorisme.

Sebelumnya Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pernah meneliti tentang potensi radikalisme di Indonesia. Dalam penelitian yang dipimpin Bambang Pranowo, guru besar Sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, terungkap bahwa hampir 50 persen pelajar setuju tindakan kekerasan berdasarkan radikalisme.

Data itu juga menyebutkan 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tak relevan lagi. Yang lebih mencengangkan, ada 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju penerapan syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan demi solidaritas agam

Jika menilik data Pew Research Centre tahun 2015 diketahui setidaknya ada empat persen penduduk Indonesia yang mendukung ISIS. Jika data itu sahih, maka berarti ada setidaknya 10 juta orang Indonesia yang bersimpati terhadap kelompok pelaku kekerasan tersebut.

Selain di universitas, radikalisasi juga terjadi di pesantren-pesantren. Dalam pantauan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), setidaknya ada 19 pondok pesantren yang terindikasi menyebarkan kegiatan radikalisme. Pondok-pondok pesantren itu tersebar mulai dari Lampung, Serang, Jakarta, Ciamis, Cilacap, Magetan, Lamongan, Cilacap, Solo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Makassar, hingga Poso.

Negara juga punya andil dalam melakukan radikalisasi. Catatan The Wahid Institute, sepanjang 2015 setidaknya ada 190 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) terjadi di Indonesia. Angka itu meningkat 23 persen dibanding tahun lalu sebesar 158 peristiwa. Namun, aktor pelanggaran tersebut sebagian besar adalah negara, yaitu 52 persen atau sebanyak 130 tindakan. Sementara 48 persen sisanya atau 89 tindakan dilakukan oleh non-negara.

Media sosial juga punya pengaruh. Berdasarkan laporan dari Brookings Institute pada Desember 2014 ada 46.000 akun Twitter yang berafiliasi dan mendukung ISIS. Tentu saja tidak semua akun itu hidup dan aktif .Namun, jika 10 persen saja aktif, bayangkan berapa banyak propaganda kebencian yang dilancarkan? Jika dari 10 persen itu mampu merekrut satu orang per hari, maka berapa orang yang bisa direkrut ISIS selama sebulan?

Mantan anggota keamanan nasional Amerika Serikat, Hillary Mann Leverett, pada Februari 2015 menyebut ISIS menggunakan setiap platform media sosial yang ada untuk melancarkan propaganda dan merekrut anggota baru. ISIS setiap harinya mengirimkan 90.000 pesan digital di akun media sosial mereka. Termasuk Twitter, video di Youtube, postingan di Facebook, blog dan sejenisnya.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet