Pada satu titik dalam hidup, sesudah putus, Aku merasa bahwa hidup tidak adil dan perpisahanku dengan mantanku dulu adalah kesalahan besar. Dulu malah pernah mikir gini pas putus: “Kamu ngga akan dapet orang kaya aku lagi,” dengan perasaan sombong dan marah. Aku merasa jadi orang yang baik, orang yang cakap, dan sosok yang tak tergantikan.
Lantas setahun kemudian mikir lagi. Bagaimana jika itu poinnya? Bagaimana jika alasan putusnya kami adalah agar mantanku bisa bertemu yang lebih baik, Ia bisa meninggalkan hubungan yang toksik ini dan menjadi sosok yang merdeka. Aku terlalu fokus pada diri sendiri dan tak peduli bagaimana hidupnya selama ini.
Rasa sedih akibat perpisahan kadang bisa membuat kita abai pada sekitar. Kita merasa yang paling menderita, yang paling sakit, sehingga gagal menyadari bahwa pasangan kita juga sama menderitanya, sama sakitnya. Perlu keberanian menyadari bahwa diri ini dhaif, lemah, dan kadang khilaf dalam menjalani sesuatu.
Perpisahan tak harus dibuat sedih. Perpisahan bisa jadi sesuatu yang membebaskan. Bayangkan jika kita hidup dalam hubungan yang mengekang, beracun, menyakiti, menindas, monopoli, dan segala yang buruk. Perpisahan bisa jadi hal yang menyenangkan, anugerah yang kita tunggu kehadirannya. Maka saat perpisahan terjadi, ambil jeda, berpikir, dan berusaha untuk memahami posisi orang lain.
Sebelumnya Aku pernah menulis alasan mengapa tak pernah stalking atau mau tahu urusan hidup mantan. Karena hubungan kami sudah selesai dan kami tak punya kewajiban satu sama lain untuk peduli. Di luar alasan kemanusiaan, kami pernah jadi teman, dan saat ini hanya dua orang asing dengan sejarah panjang.
Obsesi tak sehat ikut campur hidup orang lain, juga hidup mantan kita, sebenarnya bisa jadi trauma respons. Karena kita ngga bisa memperbaiki hidup sendiri. Kita memproyeksikan hidup sempurna ke orang lain, menganggap bahwa jika kita mengkritik yang lain, kita bisa menutupi hidup kita yang gagal.
Untuk itu Aku memilih untuk memulai hidup yang lain. Di luar hidup dan lingkar hidup pertemanan kami. Aku ingin melupakan apa yang sakit, mengingat yang membahagiakan, dan pada satu titik berkomitmen untuk jadi orang yang lebih baik. Karena hanya itu yang aku bisa untuk membuat hubungan kami bermakna.
Perpisahan memang sakit, tapi tetap dalam hubungan yang buruk hanya akan menggerogoti hidup kita. Tak mampu keluar dari cangkang penderitaan dan saban hari menipu diri sendiri. “Kami bahagia dan baik-baik saja.” Hidup yang demikian hanya menunggu kalah dan saling menghancurkan.
Memelihara harapan itu seperti upaya berjalan di seutas tali. Kamu berusaha keras memelihara keseimbangan. Ke kiri dan ke kanan. Menjaga agar berat badan tidak membuatmu bergoyang terlalu keras. Kamu akan jatuh, bangkit lagi, terus begitu sampai selesai di tujuan.
Tapi kadang ada beberapa harapan yang tidak perlu kamu upayakan. Hal-hal yang kamu tahu akan gagal. Kamu tetap mencobanya, tetap memeliharanya, karena kamu tahu jika menyerah segera, akan membuatmu lebih menderita. Kegagalan demi kegagalan saat mencoba setidaknya membuatmu kebas.
Perpisahanku dengan mantan pada akhirnya membantuku menyadari, apa yang tulus akan bertahan, apa yang khianat akan hilang. Waktu nyaris mampu menyembuhkan segala luka. Tapi jika ada yang tak bisa diselesaikan, Aku bisa berhenti dan memutuskan untuk menyerah bukanlah aib.
Malam ini setelah lebih tenang, setelah setahun berpisah, dan melalui banyak proses. Aku menyadari perpisahan itu proses alamiah, bisa mendewasakan. Daripada mengutuk dan berharap mantan pasangan menderita, aku berdoa supaya dia bahagia dengan apapun yang dipilih. Kukira itu lebih membebaskan. Kamu tak bisa memaksakan proyeksimu pada orang lain dan membuat dia tunduk pada imajimu tentangnya.