Pertolongan Pertama Pada Kehilangan

dhani
5 min readApr 29, 2024

Pada 1621, Robert Burton menulis buku berjudul The Anatomy of Melancholy. Buku ini membahas tentang melankoli, keadaan sementara yang muncul dan pergi pada setiap emosi negatif manusia. Emosi seperti kesedihan, duka, penyakit, masalah, ketakutan, kesedihan, gairah, atau kegelisahan pikiran, segala jenis kekhawatiran, ketidakpuasan, atau pemikiran yang menyebabkan penderitaan, kehampaan, keberatan dan kegelisahan batin, dengan cara apa pun yang bertentangan dengan kesenangan, kegembiraan, kebahagiaan, kesenangan, menyebabkan ketidakpuasan dalam diri kita, atau kebencian.

Berabad kemudian Melankoli yang dibahas Burton berkembang, menjadi satu disiplin gaib serius, yang mencoba membedah perasaan dan jiwa manusia, persimpangan antara psikologi dan kedokteran, yang kemudian dengan sangat terstruktur dan serius dibahas oleh dokter ilmu saraf dan psikolog: Apa yang membuat manusia bersedih? Bagaimana perasaan bekerja? Dan mengapa manusia berduka?

Kesedihan adalah bagian dari pengalaman menjadi manusia. Selama berabad-abad, ada banyak perdebatan tentang apa itu kesedihan, duka, dan kehilangan, lantas bagaimana cara menghadapinya. Kesedihan, pada arti yang paling sepele, adalah respon alami pikiran dan tubuh manusia terhadap keadaan yang sulit. Sulit ini punya banyak wajah, putus, kematian, kegagalan, ditinggalkan, dan lainnya.

Kamu bersedih ketika temanmu pindah, ketika mie ayam favoritmu tutup, grup idolamu bubar, penulis kesukaanmu ternyata zionis, atau diputusin oleh lelaki brengsek tukang selingkuh yang membuatmu merasa tak berharga. Ini yang aku temukan usai membaca buku Aprilia Kumala Dewi, berjudul Sepasang Antagonis Yang Pernah Saling Mencintai (SAYPSM), dengan subjudul Perjalanan Membenci dan Menerima Patah Hati.

Semalam, usai menerima buku ini dari penerbit, aku duduk di warung teh ditemani segelas secang, kapulaga, dan teh hitam. Buku Lia, begitu ia kusapa, membuatku terus membaca tanpa peduli sekitar. Tidak bising kendaraan di Jalan Damai, atau singkong goreng panas di atas meja. Pelan tapi pasti halaman demi halaman buku SAYPSM kulahap, lebih cepat daripada kemampuanku mengunyah singkong. Rasanya seperti dibuat berdiri terkejut, atau kata orang Banyuwangi, jenggirat tangi.

Buku Lia ditulis seperti pendongeng yang sudah selesai dengan hidup. Ia menceritakan perpisahan, sakit hati, duka dan kehilangan dengan begitu saja. Seperti menyeduh teh rempah getir tanpa gula. Kalimat-kalimat yang dipilih juga lincah dipadu seperti belalang di sawah. Mengajakmu berimajinasi dan membayangkan adegan dengan detail yang cukup.

“Pagi itu, tanpa berpikir untuk membuka jendela, aku melanjutkan tangis yang berhenti pukul empat pagi sebelum akhirnya tertidur. Ponsel yang tergeletak disampingku seolah menjadi kotak racun berbahaya. Tanpa ada satu pun pesan masuk dari seseorang yang spesial, buat apa ponsel ini diciptakan?”

Sebagai penggemar komedi kemarau lintas musim yang panas seperti Surabaya jelang Dzuhur, Lia dalam keadaan yang paling sedih ternyata tetap mampu memberikan komedi getir. Aku ingat pernah membaca sebuah dialog yang aduhai brengseknya. “Apakah setiap tragedi manusia di kolong langit bisa ditertawakan? Jawabannya tentu saja tidak, tapi beri sedikit waktu, maka ia akan lucu dengan sendirinya.”

Buku Sepasang Antagonis Yang Pernah Saling Mencintai (mau kusingkat tapi persetan), sebenarnya adalah catatan harian seorang penyintas perpisahan. Orang yang terluka, mengingat kembali kejadian-kejadian menyedihkan yang dialami, untuk kemudian dipetik hikmah di belakangnya. Hikmah itu bisa jadi rasa malu, atau lelucon jelek yang membuat kita terbahak. Tragedy plus time equals comedy.

Aku merasa demikian dekat dengan kisah Lia, karena pernah mengalaminya. Kini, bertahun kemudian, aku bisa menertawakan kebodohanku, dan aku yakin Lia juga. Putus cinta membuat kita jadi badut yang lucu, sayangnya hanya orang lain yang bisa melihat lelucon buruk yang kita bikin, baru setelah sadar (seringkali bertahun-tahun kemudian), kita bisa melihat betapa lucu perilaku kita saat linglung dihajar kasmaran.

Para ahli nujum dan praktisi kesehatan di zaman Yunani kuno percaya bahwa tubuh kita dikendalikan oleh empat jenis cairan yang dikenal dengan nama humor (iya humor yang itu), keseimbangan antara empat jenis cairan tadi yang akan membangun kesadaran dan stabilitas mental kita. Melankoli berasal dari kata melaina kole, cairan hitam yang menjadi sumber kesedihan. Dengan kata lain, saat sedih, terluka, berduka (terutama setelah diputusin), tubuh kita dibanjiri oleh cairan hitam tadi, maka jadi melankolis.

Lia dengan tulisan yang jelas dan terukur (maklum beliau pernah jadi polisi bahasa), mengajak pembaca untuk berkaca. Melihat betapa konyol diri kita dihadapan perasaan, terutama, ketika berkaitan dengan orang yang kita cintai. Perpisahan yang semestinya dirayakan, karena misal: kekasihmu tukang selingkuh, berperilaku serupa bandit, tempurung kepalanya kopong, malah berujung kesedihan berhari-hari.

Di segala penjuru mata angin, jika cukup jeli dan rajin melihat sekeliling, kamu akan menemukan banyak orang sejenis. Sudahlah disakiti, dikecewakan, dijadikan batu pijakan, cadangan, dan pilihan nomor dua, tapi masih penasaran dan berharap kekasihnya mengajak balikan. Kamu pikir itu mustahil? Tidak, Lia, seperti juga aku, pernah jatuh perangkap berharap kekasihnya (yang mungkin serupa patung gupolo dengan gingsul runtuh sebelah) untuk minta maaf dan rujuk kembali.

“Alih-alih melempar air teh ke mukanya, aku malah duduk di sana lebih lama dan menangis. Aku terus berharap dia mengulurkan tangannya untuk meminta maaf, berjanji tidak mengulangi kesalahannya dan mengajakku memulai semuanya dari awal,”

Itu kan penyakit buruk, (kadang lebih pedih daripada wasir dan sariawan), berharap disembuhkan oleh orang yang menyakiti kita. Buku ini membantuku untuk percaya bahwa jika saja ada semacam pertolongan pertama usai putus pacaran, mungkin aku tak akan jatuh depresi, mau bunuh diri, dan dibakar harapan hingga gila.

Lia menulis panduan menyelamatkan diri, dari patah hati dan sikap bodoh, pelajaran yang seharusnya diajarkan di setiap sekolah setelah mata pelajaran pendidikan moral pancasila.

Melankoli setelah patah hati itu menyakitkan. Robert Burton, yang lahir pada 1577, menghabiskan hidupnya mempelajari penyebab dan pengalaman kesedihan. Dalam “The Anatomy of Melancholy,” Burton menulis, “He that increaseth wisdom increaseth sorrow.” Para penyair setelah Burton, dengan gegabah, sayangnya memuja melankoli dengan semprul. Untuk bisa menghargai tempias hujan, kita perlu terpanggang matahari kemarau. Agar bisa menikmati bunga mawar, kita harus belajar menghadapi tanah gersang.

Tetapi segala nasihat tadi, kebijaksanaan, dan kecerdasan emosional seringkali tak berguna ketika kita jatuh cinta dan patah hati. Kesedihan, berbeda dengan kemarahan atau kekerasan, ketika kita patah hati. Air mata kesedihan adalah ungkapan penderitaan atas apa yang tak bisa diselamatkan. Seringkali bercampur rasa malu karena mempertahankan hubungan tak berguna dengan orang yang lebih tak berguna.

Mungkin kesedihan dan melankoli paska putus membantu menghasilkan energi yang kita perlukan untuk bertahan hidup, tetapi banyak yang bertanya-tanya apakah penderitaan yang dirasakan ini akan abadi? Lia menjawab: Tidak, ia akan selesai dan lewat. Iya, lewat. Seperti tahi yang mengapung, perasaan cinta dan sakit hati usai diputusin, akan lewat. Entah dengan rasa jijik yang bikin mual, atau kelegaan yang luar biasa.

Joan Didion pernah menulis begini. “Grief, when it comes, is nothing like we expect it to be,” katanya. “Grief has no distance. Grief comes in waves, paroxysms, sudden apprehensions that weaken the knees and blind the eyes and obliterate the dailiness of life.” Lia, seperti juga aku, tahu rasanya menghadapi duka setelah putus. Ia akan hadir, berkali-kali, dalam kadar berbeda, dan seringkali dengan keras kepala.

Itu mengapa, jika kamu patah hati, usai berpisah dengan kekasih. Buku Sepasang Antagonis yang Pernah Saling Mencintai ini, akan membantumu menyintas. Meski demikian, ia bukan obat puyer nyeri yang seketika menghilangkan dukamu. Setidaknya, sebagai pertolongan pertama, buku ini akan membantumu untuk tahu apa yang harus dilakukan.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

Responses (2)