Bagaimana Menghadapi Kesepian Jika Kamu Miskin dan Tak Punya Tabungan?

dhani
4 min readJan 27, 2021

Kita dibikin percaya bahwa uang tak bisa membeli kebahagiaan, tapi benarkah demikian? Saya kira kata-kata ini semacam upaya meredam orang miskin atau kelas pekerja untuk diam saja menerima nasib yang ia miliki.

Yaudah jadi kuli aja bersyukur, hidup dinikmati. Atau Yaudah gaji dipotong bersyukur, ga semua orang punya gaji. Atau kalimat-kalimat bernada positif yang berusaha membesarkan hati kita. Tapi bukan soal punya uang, kerap kali dalam relasi kerja, adalah bagaimana satu orang melakukan eksploitasi pada yang lain, sembari menganggap keluhan pekerja sebagai ketidakpuasan dan enggan bersyukur.

Hari ini seorang teman mengirim pesan:

“Aku kira dengan karir yang stabil, tabungan ada lebih gampang dapat pasangan, ternyata enggak.”

Tentu saya bisa merasakan kegetiran itu. Punya uang banyak, gaji melimpah, status yang tinggi, ngga bikin kita lepas dari rasa kesepian dan tekanan yang lahir dari kesunyian. Kita tentu tak bisa datang ke orang asing, lalu bilang; “Hai saya punya uang banyak, ayo kita pacaran,” bisa-bisa diteriaki copet dan diamuk orang sepasar.

Dua hari lalu Bloomberg menurunkan laporan tentang uang memang punya pengaruh pada kebahagiaan. Pada 2009 mahasiswa doktoral dari jurusan Psikologi di Harvard bernama Matthew Killingsworth mengembangkan aplikasi bernama Track Your Happiness. Aplikasi ini secara berkala menghubungi penggunanya untuk bertanya tentang aktivitas dan perasaan yang dialami.

Aplikasi ini diluncurkan pada 2010 dan mulanya bertujuan untuk mencari tahu apa yang membuat seseorang tidak bahagia. Dari aplikasi itu Killingsworth menemukan hubungan antara kebahagiaan dan penghasilan. Kesimpulannya dipublikasikan di the Proceedings of the National Academy of Sciences, ia menemukan mereka yang punya penghasilan kurang dari $75,000 sampai $90,000 kurang berbahagia tapi setelah gaji naik atau berpenghasilan lebih dari $95.000 kebahagiaan mulai sering dirasakan.

Killingsworth melibatkan 1.725.994 sampel pengalaman dari 33.391 pekerja di Amerika Serikat. Sederhananya aplikasi Track Your Happiness mencari tahu anda sedang apa dan apa yang dirasakan, mulai dari awal karir sebagai pekerja magang hingga kelak jadi manager di sebuah perusahaan. Ia merekam pengalaman, perasaan, dan aktivitas kita.

Lho apa hubungannya dengan kesunyian dan kebersamaan?

Saya coba cari tahu data data tambahan yang disediakan oleh Killingsworth. Jika kamu melihat presentasinya, punya uang bukan secara langsung membuatmu bahagia. Ia membuatmu tidak lagi khawatir pada hal-hal yang mencemaskan. Seperti rumah, makan, kesehatan, hutang dan sebagainya. Aplikasi itu justru ingin kamu selalu sadar, selalu aware dengan sekitar dan paham apa yang kamu lakukan.

Misalnya pada hari selasa ini pada pagi hari saya gembira karena menemukan lontong opor yang enak, tapi saat siang jadi sedih karena belum paham juga google ads, lantas sore ini saat hendak pulang kerja kehujanan. Variabel-variabel ini tidak berkaitan langsung dengan jumlah uang yang saya miliki, tapi keadaan di mana tak perlu mikir cari uang dan bisa menikmati hal yang lain.

Lalu kenapa ada orang yang sudah punya karir bagus, punya uang banyak, dan kehidupan baik bisa merasa kesepian? Saat bekerja, saya bisa mengalihkan pikiran pada target dan capaian untuk memenuhi tuntutan manajemen. Tapi saat pulang ke rumah, saat di kamar sendirian, menjelang malam kesepian itu nyata.

Kamu bisa memesan makanan, bisa membeli barang, atau menyewa teman untuk mengisi kekosongan itu, namun jauh dalam diri kita sadar bahwa itu cuma artifisal, buatan, dan transaksional. Saya sadar kok, dulu saat punya karir bagus dan penghasilan super besar, saya berusaha membeli teman, membeli pasangan, dan membeli kehangatan, tapi pada akhirnya itu ngga punya nilai tambah, cuma bikin jiwa jadi kopong.

Uang jelas bisa membantu mengatasi kesedihan dengan belanja. Tapi Compulsive Spending Shopping juga satu bentuk gangguan kejiwaan. Kamu membeli barang untuk mengisi kekosongan jiwa. Memuaskan rasa ego, meyakinkan diri bahwa, kamu akan baik-baik saja jika sudah punya barang ini itu. Lantas setelah sampai di rumah, di atas ranjang, ketika lampu mati apakah barang-barang itu akan menghentikan rasa pedihmu?

Tentu kita bisa berkelakar, nangis dan sedih di dalam ferari lebih baik daripada di angkot. Tapi ini menunjukkan bias kelas dan abai realitas sekitar. Orang kaya punya kemungkinan lebih tinggi mengakses bantuan psikologis yang memadai, entah obat atau konseling. Sementara orang miskin kerap hanya diberi nasihat “Perbanyak Istigfar” atau “Sabar”.

Saya beruntung punya teman yang baik, tidak semua orang bisa memiliki ini, sebagian dari kita kadang harus berhati-hati tiap kali ada yang mendekat, entah karena terlalu seirng dikhianati atau punya maksud yang lain. Kesepian membuat kita jadi nekat dan kadang mencari kebersamaan dari orang yang salah.

Gejala kesepian ini akan terus bertambah seiring berjalan usia. Makin tua, kamu akan makin kesepian, dan makin mematikan. Maka cara terbaik untuk mengatasinya adalah membentu support system yang sehat. Teman, keluarga, kerabat, tetangga, rekan, atau dalam kasus saya, bersahabat dengan bakul angkringan.

Kemiskinan dan kesepian adalah resep manjur celaka. Mereka mendorong pada keputusasaan yang akan bikin kita jadi perih dan memandang muram hidup. Aku berusaha mencari kawan yang bisa bersama-sama menghadapi kemiskinan tadi. Tentu dengan hal-hal yang murah. Seperti mancing, jalan kaki, makan bakso, duduk minum teh berjam-jam sembari berbagi cerita dari masa lalu.

Pada akhirnya teman saya tadi, memutuskan untuk mencintai diri sendiri dulu. Tentu bagi sebagian orang ini konsep yang absurd, kok mencintai diri sendiri? Tapi setelah konseling dan bertemu banyak psikolog selama 3 tahun terakhir, mencintai diri sendiri atau memaafkan diri itu malah pekerjaan yang sangat berat.

Memaafkan orang lain itu gampang, tapi kamu akan selamanya menyalahkan diri sendiri atas kesalahan yang kamu bikin. Kamu akan merasa rendah diri, mengutuk diri, menyakiti diri sendiri dan ga ada jumlah uang bisa menyembuhkan ini.

Kesepian itu hal yang personal dan ini pelan-pelan jadi penyakit berbahaya. Gejala kesepian makin menggila saat pandemi. Hilangnya kontak fisik, pertemuan, obrolan, dan berbagi beban membuat kita jadi merasa invalid. Beberapa dari kita butuh orang lain, pasangan, pacar, istri, keluarga, untuk bisa menggenapkan.

Tapi apapun itu, jika kamu sedang kesepian saat ini, jika kamu merasa sedih, merasa tak layak, merasa tak cukup, merasa tak berguna, aku ingin kamu tahu. Kamu penting, berharga, cukup, dan berarti bagiku.

Aku sayang kamu.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet