Perjalanan Pulang

dhani
7 min readJan 19, 2020

“Yang tak bisa terobati
Biarlah
Mengering sendiri”

Ibu bangun setelah menangis semalaman, sementara Bapak belum pulang dari rumah sakit. Pagi ini aku merasa berbeda. Setelah berbulan-bulan tinggal di rumah sakit, semalam akhirnya aku pulang. Kamu di sana saat aku diantar pulang, menunggu di depan rumah memeluk Ibu. Erat.

Pagi tadi aku mandi, rambutku disisir rapi dan memakai baju baru. Setelan kemeja putih dan jas hitam. Ini kali kedua aku memakai jas selepas kuliah. Aku benci kemeja, kulitku berontak dengan rasa gatal luar biasa. Dulu usai wisuda aku hendak membuka baju dan mengganti kemeja dengan kaus, Kamu melotot dan membentakku di depan orang-orang.

“Untuk hari ini, selama beberapa jam saja, senangkan ibu. Apa susahnya sih?” kata Kamu berteriak.

Hari ini, meski aku memakai kemeja, rasa gatal itu tak ada. Malah aku merasa gagah. Seperti sarjana muda hendak menaklukkan tantangan dengan memulai start up brilian, bermimpi bisa menyelamatkan dunia. Aku ingat Kamu bilang start up adalah kata lain dari eksploitasi kelas pekerja, tipu-tipu komprador untuk mendapat tenaga kerja murah. Aku selalu benci segala kata-kata getir yang Kamu punya. Banyak nonton Rick and Morty atau menggemari Bukowski tak membuat hidup jadi lebih baik.

Ibu bangun lantas menciup keningku, tersenyum, matanya bengkak, ia merapikan rambutku. Aku ingin protes, aku sudah besar, aku bahkan sudah lama sarjana, tapi ia masih menganggapku baru kemarin belajar merangkak dan perlu dimanja. Aku ingat saat diam-diam pergi ke gunung dan nyaris hilang karena lupa jalan pulang, Ibu marah luar biasa, Kamu datang membela, dan bilang jika Kamu yang mengajakku pergi.

Ibu dan aku tahu, Kamu tak akan senekat itu. Sejak kecil aku lahir dengan jantung yang lemah, mana mungkin Kamu mengajakku ke gunung, jika bukan karena Kamu nekat menyusul karena aku kabur setelah ujian skripsi, mungkin aku akan hilang di gunung. Ibu hanya diam, kalian berdua lantas bicara panjang dan Ibu tak lagi marah setelahnya.

“Menghias tubuh dan
Yang mengevaluasi
Ragamu
Hanya kau sendiri
Mereka tak mampu”

Ibu pergi ke kamarku setelah merapikan baju dan rambutku. Perempuan itu membangunkan Kamu, kalian bercakap sebentar. Setelah mencuci muka, Kamu menemani Ibu ke dapur. Tadi malam Kamu menginap, tidur di kamarku, sementara aku di ruang tengah, sepi sih, tapi tak apa kalian semua ada.

Semalaman TV menyala, aku dengar seminggu ini Jakarta hujan deras. Gorong-gorong penuh sampah mengeluarkan isinya, kota ini menumpahkan amarahnya.

Tapi seperti yang sudah-sudah, isi kota ini lebih liat dari karet dan lebih pejal dari batu. Barangkali lebih bebal lempung yang menolak jadi periuk usai dipanggang. Setelah air surut, warga membersihkan rumah mereka dari sampah plastik, di jalanan balok kayu serta lumpur menumpuk. Warga kembali melanjutkan hidupnya. Seperti tidak ada apa-apa.

Kamu selalu bilang orang Jakarta dikutuk seperti Sisipus. Mereka berkali-kali disakiti, dikecewakan, dan dipaksa menyerah hanya untuk kemudian diberikan harapan. Membawa batu besar bernama kerja keras di pundak, merangkak pelan menuju atas bukit bernama karir, hanya untuk diinjak oleh kekecewaan.

“Melewati yang telah kau lewati
Tiap berganti hari
Rintangan yang kau hadapi
Masalah yang mengeruh
Oh, perasaan yang rapuh
Ini belum separuhnya
Biasa saja
Kamu tak apa”

Aku mendengar suara berisik di dapur dan melihat lalu lalang orang dari tempatku rebahan, mereka hanya lewat, tidak duduk. Sejak muda Ibu gemar memasak, setelah menikah dengan bapak, ia memutuskan membuka katering. Hari ini puluhan orang datang, membantu Ibu memasak, ruang tengah masih kosong tapi tak lama, ibu-ibu tetangga lewat membantu ibu. Sementara suami mereka berdiri di halaman.

Mak Sarip, tetangga yang mengasuhku sejak kecil, duduk di dekatku memandangi iba. Ia menangis, mungkin rumahnya kebanjiran, Mak Sarip selalu jadi langganan korban banjir. Tahun lalu Ibu memintanya tinggal di rumah kami, toh ia sendiri, anak-anaknya sudah bekerja. Mak Sarip menolak, rumah di bantaran kali itu warisan suaminya. Satu-satunya yang membuatnya bertahan di Jakarta.

Aku tak habis pikir dengan melankoli atau nostalgia. Kamu bilang aku terlalu dingin, terlalu kejam. Aku ingin memberi Kamu cermin super besar, Kamu terlahir sarkastik dan bermulut keji. Tapi melihat Mak Sarip, aku tak paham kenapa manusia demikian terobsesi dengan ingatan. Sejak kecil aku sadar bahwa kenangan itu menyakitkan. Kamu selalu benci makan acar, karena mengingatkanmu saat putus dengan pacarmu dulu.

Laki-laki dungu itu menamparmu di warung nasi goreng dan melempar wajahmu dengan setoples acar karena mengira Kamu selingkuh denganku. Betapa ajaib laki-laki yang insekur. Mereka bisa menemukan alasan-alasan gaib untuk membenarkan tindakan bodoh mereka atas nama cemburu. Kejadian tiga tahun lalu itu masih membuat Kamu membenci acar, lantas untuk apa kita memelihara ingatan jika hanya membawa penderitaan?

“Yang selalu ingin ambil peran
Hanya berlomba menjadi lebih
Sedih dari dirimu
Muak dikesampingkan
Disamakan
Hatimu terluka, sempurna”

Kamu berjalan dari dapur lantas memanggil Mak Sarip, memeluknya erat, membisikkan sesuatu. Mak Sarip menangis lebih keras, aku tak mendengar omonganmu. Kalian berdua bicara seperti sepasang kekasih yang dipaksa putus karena beda agama. Muram, kemudian tertawa, kemudian muram, kemudian menangis, setelah beberapa saat kalian berdua diam. Kamu masuk kamar usai tersenyum padaku. Mak Sarip berjalan ke dapur membantu Ibu, ruang tengah jadi sunyi. Lagi.

Halaman rumah makin ramai, kemudian ruang tengah perlahan penuh orang, dan aku tak nyaman. Mereka yang datang dan memandangku cuma tersenyum. Kebanyakan hanya berbisik, tak ada yang mengajakku bicara, dan seperti yang sudah-sudah aku diam. Sejak kecil, karena sering sakit aku selalu sendiri di rumah. Kakakku pergi merantau usai sekolah, di luar negeri, dan aku jadi satu-satunya keluarga dekat Bapak dan Ibu.

Kamu selalu bilang Aku punya bakat jadi resi atau empu yang bisa mewariskan ilmu kanuragan karena terlampau sering menyendiri menjauhi dunia. Aku menyendiri karena nasib, apa boleh bikin. Sejak kecil aku cuma bisa mengurung diri di rumah. Ruang lingkup gerakku hanya kamar, ruang tamu, dan tempat kerja Bapak yang penuh buku. Jika saja aku tak nekat memaksakan diri untuk kuliah selepas SMA, mungkin aku tak akan bertemu dengan Kamu.

Kamu satu-satunya orang yang menyapaku di kampus saat orang lain bahkan tak menganggapku ada. “Ya gimana, kulitmu demikian putih dan halus kaya selebgram abis pamer skincare. Membuatku iri,” kata Kamu. Saat yang lain mesti berdiri di lapangan, aku cuma bisa diam di ruang kesehatan. Para senior itu bahkan tidak repot bertindak keras padaku, mereka hanya bisa melotot keji karena Kamu bicara denganku.

“Perjalanan yang jauh
Kau bangun untuk bertaruh
Hari belum selesai
Biasa saja
Kamu tak apa”

Lagipula kenapa mereka suka pada Kamu? Kasar, getir, dan selalu punya cara untuk membantah. “Homo Sapiens yang hanya ingin pasangannya tunduk merupakan produk gagal peradaban. Kita bisa bertahan mendominasi dunia setelah menaklukan Neanderthal ya karena kerja sama,” kata Kamu.

Siapa pula manusia yang membuka percakapan dengan kata Homo Sapiens. Barangkali cuma Kamu yang bisa, dan itu diucapkan dalam setarikan nafas sembari memakan paha ayam gorengku di kantin usai mata kuliah Antropologi. Aku masih ingat, karena itu pertama kalinya Ibu mengijinkan aku makan di luar. Setelah bertahun-tahun hanya boleh makan masakannya yang selalu sehat, sedikit garam, tanpa gula apalagi MSG.

Saat kubilang aku tak pernah makan di luar. Kamu memandangku dengan tatapan jijik seperti melihat ormas di jalan yang menutup jalan untuk kegiatan agama. Siang itu Kamu membelikanku berbagai makanan ringan, ciki, mie lidi, dan cilok. Esoknya aku mencret. Ibu melarangku makan di luar dan memaksaku membawa bekal. Tapi oh demi Kerajaan Tuhan di Surga, terpujilah mereka yang menciptakan MSG.

Selepas siang Bapak datang. Laki-laki tegap yang tak pernah mau menunjukkan perasaan itu duduk di sebelahku. Seperti Ibu, ia mengusap rambutku, mencium keningku. Sejak kecil ia selalu khawatir penyakitku akan menghalangiku untuk bahagia. Tapi sejak bertemu Kamu, aku bilang aku sudah merasa cukup dan setiap hari adalah kegembiraan.

Bapak duduk bersama para tamu, biasanya setelah pulang dari rumah sakit, kami selalu mengundang tetangga untuk sukuran. Dulu saat SMP aku pernah masuk rumah sakit selama sebulan, Dokter bilang aku tak ada harapan. Tapi setelah dua hari aku divonis, tubuhku berangsur membaik. Setelah itu Bapak selalu mengundang tetangga ke rumah jika aku pulang dari rumah sakit. Ia bilang mau berbagi berkah Tuhan pada tetangga.

Tiap pagi selama 28 tahun terakhir Bapak bilang adalah berkah. Karena aku yang terlahir prematur dan diduga tak akan hidup panjang bisa membuatnya bahagia. Bapak bilang ia telah menang, mengalahkan vonis dokter, tatapan duka dari para saudara, dan mimpi buruk dari masa lalu.

“Bilas muka, gosok gigi, evaluasi
Tidur sejenak menemui esok pagi
Walau pedih ku bersamamu kali ini
Ku masih ingin melihatmu esok hari”

Kemarin saat di rumah sakit, Kamu bilang, bahwa mungkin ini pertemuan kami terakhir sebelum Kamu pergi sekolah lagi. Aku tahu ini setelah ini segalanya akan berganti. Perjalanan dan jarak mengajarkan rindu. Aku tahu kelak Kamu akan bahagia, tapi mustahil bersamaku. Aku berharap Kamu akan jatuh cinta di sana, menemukan orang lain untuk memberin Kamu masa depan.

Aku tak pernah jujur pada Kamu. Kamu tahu perasaanku, aku tahu perasaan Kamu. Kita pura-pura diam dan tak mengakui yang kita jalani. Kamu berkali-kali berganti pasangan, Aku tak pernah bisa bicara soal masa depan. Aku tahu jika kita bersama, jujur mengutarakan perasaanku, kita hanya akan saling menyakiti. Aku ingin menjanjikan kebahagiaan di masa depan, sementara waktu adalah hal yang tak pernah benar-benar aku miliki.

Tentu aku tak berhak menentukan dengan siapa Kamu harus bersama. Tapi jika dan hanya jika boleh berharap. Aku berharap Kamu bertemu dengan seseorang yang bersedia mendengarkan ocehan Kamu tentang David Bowie. Seseorang yang sama-sama menggemari Newcastle United. Seseorang yang bersedia menemani Kamu menghabiskan waktu berjam-jam membaca buku. Seseorang yang tak akan marah jika Kamu bersendawa setelah minum bir.

Bapak, Ibu, Kamu dan para tamu menemaniku keluar rumah. Kamu selalu bilang anak tak pernah punya hutang pada orangtuanya. Anak tak pernah minta dilahirkan dan anak tak punya kewajiban membahagiakan atau menjaga orangtua jika mereka jompo. Tapi kamu bilang Bapak dan Ibu adalah pengecualian, barangkali jika Kamu punya pilihan, Kamu ingin dilahirkan oleh Ibu.

Sore itu matahari demikian terik. Setelah hujan berhari-hari, matahari sepertinya ingin mengejek kota ini dengan panas. Setengah jam yang lalu, Bapak dan beberapa tetangga menurunkan badanku. Setelah memeluk Bapak, Ibu dan Kamu, mereka pulang. Memunggungi matahari yang perlahan turun.

Barisan orang berbaju hitam perlahan keluar dari pagar. Aku selalu benci pemakaman. Kematian tak pernah menyenangkan. Ia memisahkan dan tak pernah mengembalikan. Aku sendiri tak menyangka jika pemakamanku sendiri akan seramai ini.

Kamu, Ibu, dan Bapak berdiri di depanku. Semua tamu telah pulang.

*bisa dibaca sembari mendengarkan Putih — Efek Rumah Kaca.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet