The Conversation menulis artikel bagus tentang bagaimana semangat positif beracun sangat berbahaya di masa Corona. Ia mengaburkan realitas, meminggirkan fakta, dan yang paling mengerikan membuat kita abai pada detil-detil yang semestinya jadi prioritas.
Misalnya kita dibuat harus terus menerus semangat, tidak bersedih, dan memandang wabah ini dari perspektif yang berbeda. Beberapa orang beranggapan bahwa dengan berpikir positif, kita akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh yang pada akhirnya membuat tubuh kita lebih siap menghadapi Corona.
Di masa pandemi pola pikir ini berbahaya. Anjuran berpikir positif dengan harapan agar meningkatkan sistem kekebalan tubuh justru berisiko menimbulkan bias optimisme yang berperan besar memunculkan ketidakpatuhan ini.
Bias optimisme mewujud dalam tiga bentuk, yaitu:
(1) Ilusi kontrol, yaitu keyakinan berlebihan dapat mengendalikan situasi eksternal;
(2) Ilusi superioritas, yaitu keyakinan bahwa seseorang memiliki kelebihan daripada orang kebanyakan,
(3) Ilusi kemungkinan, yaitu ketika seseorang merasa kecil kemungkinannya dirinya akan mengalami hal negatif–dalam konteks ini yaitu, tertular atau menularkan penyakit.
Ada banyak masalah lain yang muncul dari bias optimisme semcam ini. Kita menganggap mereka yang bersedih, takut, resah dan tak berdaya sebagai orang yang lemah. Pandemi punya dampak berbeda pada tiap individu. Jika kamu berpenghasilan atau punya tabungan, kamu kemungkinan akan bisa bertahan. Jika kamu punya hubungan yang baik-baik saja, kehidupanmu di masa karantina akan baik-baik saja.
Temuan lain yang mengerikan adalah, kita abai pada fenomena sosial yang bisa jadi makin berbahaya jika karantina diberlakukan. Misalnya, temuan bahwa saat karantina angka kekerasan domestik meningkat. Karena mereka yang memiliki pasangan abusive harus hidup berdekatan dengan pelakunya. Mereka jelas hidup dengan beban ganda mengkhawatirkan COVID-19 dan pelaku kekerasan, bisa hidup tenang tanpa bayang-bayang teror pandemi udah bagus.
Kasus lain adalah pekerjaan. Di Indonesia 1,7 juta orang dipecat, ini yang terdaftar, belum pekerja seperti buruh harian, kuli, dan pedagang pinggir jalan yang mesti tutup karena tak bisa berjualan saat Pembatasan Sosial Berskala Besar. Jangankan untuk mengkhawatirkan kapan pandemi ini akan berakhir, membayangkan besok bisa makan apa saja sudah bagus.
Ini mengapa, saat pandemi dan karantina, lakukan apa yang kamu bisa sekuatnya, semampunya tanpa perlu membandingkan diri dengan yang lain. Beberapa orang menganggap karantina sebagai berkah. Karena bisa waktu yang tepat untuk kita mengembangkan diri. Mulai dari membaca buku, belajar mengaji, menghapal ayat suci, dan meningkatkan kualitas ibadah.
Aktivitas ini jadi penghakiman. Karena menganggap setiap manusia sama dan mereka yang tidak produktif atau melakukan kegiatan positif saat pandemi adalah manusia debil yang tak berguna. Jika kamu sempat mengaji atau menghapal Qur’an di sela-sela karantina, Alhamdulillah bagus. Jika kamu sempat mendengarkan kajian selama bekerja dari rumah, bagus dan syukur bagimu.
Semestinya kita harus berhenti menghakimi. Tuhan saya kira bukan sosok yang picik. Ia tahu kemampuan umatnya, Tuhan tahu bahwa ada banyak cara dalam beribadah. Misalnya seorang suami yang menjaga anaknya di rumah sembari menonton K-Pop, karena istrinya bekerja sebagai Dokter apakah keluarga itu sedang melakukan hal sia-sia selama Karantina?
Saya pikir tidak, menjaga anak itu ibadah, merawat orang sakit itu ibadah. “Lho daripada nonton K-Pop kan mending denger kajian,” kata mereka. Itu saran dan saran bukan kewajiban. Dilakukan bagus, ngga yaudah. Ngga perlu melakukan shaming atau perbandingan untuk membuat dirimu merasa lebih baik.
Krystine Batcho, Ph.D., profesor di Le Moyne College in Syracuse, New York menyebutkan bahwa ada penelitian yang menyebutkan bahwa mempermalukan seseorang bisa menghancurkan pribadi seseorang. Terutama jika dilakukan oleh orang yang kita sayang atau mereka yang peduli pada kita.
“Making someone we admire and love proud of us is important to our evaluation of self-worth. Feeling supported and valued contributes to our sense of trust and security, whereas feeling rejected increases anxiety and social isolation. “
Untuk itu, jika kamu merasa bahwa pada isolasi ini kamu tak mampu berbuat banyak, ngga apa. Uda bisa hidup dan melakukan hal-hal sederhana adalah capaian. Jika kamu merasa dengan belajar agama membuatmu bermakna, lakukan. Jika kamu merasa menonton K-Drama membuatmu lebih tenang dan tidak cemas, ayo nonton.
“Kalau sedih dan banyak masalah, kenapa tidak ibadah lalu berdoa? Malah main game atau dengerin musik!”
Ya mungkin karena tidak semua orang punya mekanisme sama dalam merespon masalah. Ada yang berdoa dan ikut pengajian untuk menenangkan diri, ada yang main game berjam-jam untuk bisa sekedar bertahan dari rasa sakit karena kekecewaan.
Tidak semua orang punya waktu yang sama, keadaan yang sama, dan yang jelas tidak semua orang punya privilej yang sama. Bagi kelas pekerja, selama karantina mereka mesti berputar otak untuk bisa bertahan hidup karena PHK tidak ada pesangon. Bagi korban kekerasan domestik, mempertahankan nyawa tiap jam adalah prioritas daripada membuka media sosial.
Corona ini berdampak ganda pada mereka yang memiliki gangguan kesehatan mental. Serangan kecemasan, depresi, dan keinginan menyakiti diri sendiri makin meningkat. Kondisi yang buruk dan ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir membuat banyak orang, termasuk saya, kian hari kian tertekan. Membaca trend yang ada, dunia barangkali akan semakin runyam, dan mereka yang punya gangguan kesehatan mental adalah yang paling tedampak.
Pada 2007 krisis ekonomi yang ada di Eropa dan Amerika membuat 10.000 orang melakukan bunuh diri. Pada 2018 lalu 6.507 orang bunuh diri di Inggris. Data Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) dalam ourworldindata.org menunjukkan tingkat kematian karena bunuh diri per 100 ribu penduduk di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir cenderung menurun.
Namun, data 2015 hingga 2017 menunjukkan tingkat bunuh diri di Indonesia stabil di angka 3,07 orang per 100 ribu penduduk. IHME mengelompokkan angka bunuh diri berdasarkan usia. Tingkat bunuh diri tertinggi di Indonesia terjadi pada penduduk berusia 70 tahun ke atas. Corona bisa membunuh bukan karena kita kalah dengan virus, tapi karena kita kalah dengan pikiran-pikiran sendiri.
Scientific American menurunkan artikel tentang remaja 19 tahun yang bunuh diri karena isolasi. Ia tidak tertular corona tapi rasa takut terkurung, terasing, kesepian, dan tak punya support system membuat dia melakukan bunuh diri. Di Inggris pada 2003 saat SARS menyebar, laporan tentang lansia melakukan bunuh diri meningkat.
Pandemi kali ini adalah satu dari sekian banyak kabar buruk, anak muda di dunia mesti menghadapi resesi, perubahan iklim, pemanasan global, pengangguran, kekerasan dari negara, dan kematian dini akibat polusi. Semua pikiran dan beban perasaan membuat kondisi mental kita berantakan.
Setiap hari, bagi saya, Corona bukan lagi perkara menunggu pandemi selesai. Tapi usaha untuk melawan kecemasan sendiri dan bertahan hidup melawan isi kepala yang makin brengsek.