Pedusi

dhani
5 min readJun 27, 2020

apa yang kau cari?
kabar kekasihkah menyertai
atau sekedar ingin kembali?
tahukah kamu, di sini
seumur hujan ia menanti
Radhar Panca Dahana — Pulang

Ada sebuah mitos dari suku Mentawai yang barangkali kini mulai dilupakan. Tentang perempuan yang ditipu keadaan lantas menunggu. Tentang berdamai dengan diri sendiri dan menikmati kemenangan sebagai sebuah proses. Inilah kisah Sinanalep Siguk Galajet, atau terjemahan harfiahnya Perempuan yang menelan barang-barangnya. Kisah ini sangat membekas bagiku karena ia bercerita tentang kekuatan memaafkan. Bahwa harapan yang dibokong bisa diatasi dengan cinta yang tulus.

Alkisah, seperti yang dituturkan para tetua pada Pastor Bruno Spina, orang Mentawai yang mendiami Kepulauan Pagai percaya bahwa roh-roh alamiah tinggal di langit yang disebut Taikamanua. Beberapa tinggal roh ini juga tinggal di hutan atau Takaleleu, yang lain tinggal di laut atau Taikabaga’t Koat dan sisanya tinggal di bawah bumi atau Taikabaga’t Polak. Kisah Sinanalep Siguk Galajet, yang hendak kuceritakan ini terjadi di bumi kuno Suku Mentawai, yaitu di sekitar Takaleleu.

Pada suatu masa yang tak begitu jauh dari zaman ketika para Kerei (shaman Mentawai) berkuasa, hiduplah pemuda yang hendak melaksanakan Mukebbukat (menikah). Seorang Kerei menyuruhnya datang di tepi salah satu Takaleleu yang didiami oleh seorang perempuan dengan dua anak. Sang Kerei menyuruhnya menikahi sang adik karena baik budi dan sikapnya. Tapi tentu kisah yang mulus tak akan menarik bukan?

Si lelaki ini membawakan mahar kalung mutiara, alat masak, alat berburu dan benda-benda indah yang lainnya. Karena iri, kakak perempuan dari dua saudara itu lantas mencuri minyak wangi yang biasa dipakai adiknya, sehingga berganti raga mirip dengan si adik. Tertipu penampilan si kakak perempuan, lelaki tadi akhirnya menikahinya tanpa sadar. Singkat cerita si adik merasa dikhianati, ia lantas memakan semua barang lamaran yang ditingggalkan sang lelaki tadi hingga menjadi buruk rupa. Kamu tentu tahu perasaan ini, perasaan orang yang dianiaya harapan dan pengkhianatan.

Di sini kuhentikan dulu cerita ini. Kukira kau mesti paham benar, bahwa bersikap abai pada perubahan adalah usaha bunuh diri. Pilihan terbaik adalah menjalaninya dengan kepala tegak, atau kau boleh menekuk tubuh dan mengkasihani diri. Hidup toh perihal pilihan-pilihan konyol dalam mempersiapkan kehilangan. Karena manusia tak pernah dilahirkan dengan buku panduan menghadapi getir perasaan. Kita mengembangkan kekebalan diri terhadapnya. Beberapa berhasil bangkit, yang lainnya tersungkur lantas menyerah.

Aku bisa paham, bahwa luka yang kau rasakan itu bisa jahat dan akan konyol jika dibanding jutaan manusia lain di luar sana. Setiap penderitaan punya ceritanya sendiri. Kehilangan bagimu adalah penderitaan, mungkin tak penting bagi yang lain, tapi bukankah kita harus senantiasa belahar peduli?Kukira kehilangan yang paling purna adalah kematian. Jangan pedulikan pendapat orang, penderitaanmu adalah kesunyianmu. Selain ituhanya sedu sedan centil yang semestinya di masukan dalam keranjang sampah lantas dibakar.

Perasaan manusia itu khianat, mereka tak pernah benar-benar memberikan sumbangan nyata pada kedewasaan diri.

Satu waktu kamu merasa terbebaskan. Merasa hidup. Merasa manusia yang paling bahagia di jagat ini. Dikelilingi sahabat, handai taulan, saudara yang merangkulmu dalam cinta. Lantas sepotong sajak, atau syair lagu, atau aroma parfum, atau dialog film, atau kencing kuda, atau apapun membawamu pada sebuah kenangan pilu. Lantas kau terisak menangis meratapi diri. Merasa tak berguna, hina dina dan tak beruntung. Kamu lupa, kamu dicintai dengan seksama.

Aku kasih kamu sesusun sajak panjang dari Radhar Panca Dahana. Baca lalu renungkan.

andaikata kuregang badan sekujur waktu, tetap saja tak kutemukan kau di situ. sejak lama sudah, kecewa ini kupelihara, seperti lumut menyelimuti batu.

aku tak pernah sia-sia, walau sekali lagi, sekali lagi, melulu kekalahan kurayakan.secangkir kopi panas yang kuhirup pagi dini sekali, menyodorkan kangen yang selalu datang di permukaan peruntunganku; kapan aku bisa memenangkan kejuaraan yang tak pernah dipertandingkan?

kangen yang selalu mengingatkan bahwa kau masih ada. tapi koran pagi, berita radio dan televisi tak henti mengingatkan siapa saja bahwa waktu sudah tiada. karena itu, silakan kita ramai ramai membunuh kecewa. kita tidak bisa lagi mengenali diri sendiri lewat cermin mephistopheles.

bahkan kata hati pun sudah tidak jujur pada dirinya sendiri. lidah selalu mengatakan “yang sebenarnya” dari yang sebenarnya bukan.

emhh…betapa panas hari, dan tak ada angin di sini. padahal masih dini pagi, dan tukang sayur mulai menjajakan koran.

pada saat seperti itu, pada suasana seperti itu, hanya satu yang ingin aku nyatakan; aku dapatkan satu dari kamu dengan melenyapkan satu dariku. kau tak tahu.

Pembunuhan Kopi di Pagi Hari — Radhar Panca Dahana

Aku menulis ini tak hendak mengguruimu. Kukira kamu sudah cukup dewasa untuk bisa belajar sendiri. Atau lebih baik, cukup bijak untuk bisa berpikir sendiri. Kehilangan akan sesuatu memang tak pernah mudah, tapi kesalahan atas kelenyapan tak bisa melulu kau tunjuk pada orang lain. Kamu mesti duduk sendiri bertafakur, berpikir dalam diam dan tenang, apa kesalahanmu sehingga kamu kemudian mesti kehilangan.

Kamu tak bisa berpikir bahwa kamu selalu jadi korban. Kamu mesti berpikir panjang, jangan-jangan kamu adalah biang kerok. Semacam kutu kupret yang merusak keadaan. Orang-orang hanya berusaha sabar di dekatmu, berusaha bertahan di sekitarmu. Padahal sebenarnya mereka lelah. Padahal mereka sudah jengah. Mereka sudah tak tahan untuk mendengar segala rengekanmu. Menunggu waktu yang tepat untuk kabur dan meninggalkanmu sendiri.

Kamu mesti belajar mengamini kesendirian sebagai seorang karib yang setia. Manusia selalu lahir dari kesunyian, kesendirian kemudian mati dalam kesendirian. Lantas kelak di akherat, jika kamu percaya, manusia akan menemui sendiri pertanggung jawabannya. Mungkin kamu bisa bertemu dengan Santo Petrus di gerbang surga. Atau barangkali mesti menikmati api penyucian dosa? Seperti kata Chairil Anwar, nasib adalah kesunyian masing-masing.

Hiduplah sebagai Pedusi yang liat. Kau tau Pedusi? Pedusi tak tunduk pada lelaki, mereka menundukan lelaki, dominan, serta tahu benar apa yang mereka mau. Penguasa atas nasibnya sendiri.

Seorang Pedusi tak akan kalah oleh keadaan. Ia akan sigap bergerak, kalau perlu melawan, atau seperti pasir, menjadi liat. Pedusi akan selalu bersikap lemah lebut tapi bukan berarti ia takluk. Seorang pedusi akan bersabar, bukan berarti ia akan diam diinjak. Ia adalah nama lain dari tekad yang keras. Pedusi adalah perempuan dewasa yang mengerti bagaimana bersikap pada perubahan juga pada kehilangan. Kukira kamu harus mengerti ini. Aku mau kamu mengerti tentang dunia lain di luar duniamu yang muram penuh amarah itu.

Kamu mau tahu akhir dari kisah Sinanalep Siguk Galajet? Akhirnya sang Adik bertemu dengan si lelaki tadi setelah bertahun lamanya. Si lelaki dan kakaknya tadi telah memiliki anak. Ia tak lagi menaruh dendam, malah sang adik menerima tawaran si lelaki tadi untuk merawat anak-anak mereka. Si adik lalu memuntahkan semua barang-barang yang ditelannya dulu. Ia kembali cantik dan membuka tabir penipuan sang kakak. Si adik lantas menjalani hidupnya dengan kedamaian, bahwa kesempurnaan akan tercapai dengan memaafkan orang yang menyakitinya. Lalu sisanya menjadi tak penting.

Kukira kamu harus mengerti bahwa seiring bertambahnya usia manusia mesti mengerti arti penting kedewasaan. Kita tak lagi bisa terus marah karena hidup tak berjalan sesuai yang diinginkan. Atau mengumpat karena Jakarta masih saja diliputi kemacetan yang menyebalkan. Atau mencibir karena tiket konser Radiohead kepalang brengsek mahalnya. Atau kita menangis karena gagal menjalani sebuah hubungan. Hidup, kukira, terlalu berharga untuk diisi dengan kesia-siaan semacam itu.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet