Kelak jika aku sudah cukup baik, sudah cukup dewasa menerima perpisahan, sudah cukup bijak menerima keadaan, aku akan datang lagi sebagai kawan, sebagai orang yang bisa kamu andalkan. Hari ini aku sedang ingin menikmati sendiri, sedang ingin meratapi nasib sendiri, sedang ingin mengasihani diri sendiri.
Hari ini aku bangun pagi dengan mimpi buruk lagi. Aku bangun dengan mimpi yang sama sejak seminggu terakhir. Dunia telah sembuh, pandemi berakhir, aku bekerja lagi, hidup baik-baik saja, tapi aku masih merasa kosong, seperti tak punya alasan untuk bahagia. Aku duduk di depan laptop menulis dengan halaman kosong yang tak pernah penuh, aku menulis dan menulis dan menulis tapi halaman itu kembali kosong.
Mungkin ini ramalan, mungkin ini nasibku, di masa depan aku akan jadi pekerja yang tak pernah mampu menyelesaikan tugas yang diberikan. Hari ke hari bekerja dan bekerja dan bekerja. Hingga pada akhirnya mati kelelahan dan sendirian. Manusia dibikin percaya bahwa bekerja keras adalah satu-satunya cara untuk bisa selamat, untuk bisa bertahan hidup kamu mesti menabung, kamu mesti bersiap dengan segala kemungkinan yang akan datang.
Kemudian kamu menyadari bahwa bekerja keras tidak menyelesaikan masalah. Kamu mesti punya koneksi, kamu mesti punya modal, kamu mesti punya uang lebih banyak untuk bisa bertahan hidup. Punya uang tak cukup, punya uang lebih, punya kekuasaan, jabatan, dan hal-hal duniawi lainnya membuat kita sadar bahwa mimpi untuk baik-baik saja itu naif. Kita tak pernah baik-baik saja dan tak akan pernah bisa.
Saat kecil aku bermimpi jadi pilot pesawat tempur setelah melihat monumen pahlawan di kota. Para pejuang yang rela mengorbankan diri untuk orang lain. Para patriot, prajurit, dan pahlawan yang tak punya nama melawan penjajah, melawan penguasa, untuk membuat hidup lebih baik. Aku bermimpi menerbangkan pesawat tempur dan mengorbankan diri, kamikaze, di tengah musuh untuk orang-orang yang aku cintai.
Mimpi ini naif tentu, setelah dewasa aku melihat tentara-tentara yang dulu jadi cita-citaku tak lebih dari tenaga keamanan penjaga daerah vital negara. Menjaga pabrik, menjaga perkebunan, dan menjaga tambang. Aku bersyukur mimpiku gagal. Ini seperti nasib baik yang lahir dari kesialan. Kamu tahu? Beberapa doa tak dikabulkan tuhan karena ia ingin menjagamu dari nasib sial, beberapa doa dikabulkan karena kebaikan yang pernah kamu lakukan di masa lalu.
Tapi benarkah setiap perbuatan baik akan mendapatkan balaan? Atau setiap perbuatan keji akan mendapa hukuman? Aku tak tahu perbuatan baik apa yang membuatku terus menerus mendapatkan nasib seperti ini. Apa salah jutaan orang yang mati setiap harinya? Apa salah ribuan orang yang tertular virus setiap harinya? Setiap hari orang-orang mendapat nasib buruk dan nasib baik, apa yang menjadi ukuran seseorang bisa kemujuran jadi bahagia dan apa yang jadi ukuran seseorang jadi sial lantas mendeirta?
Aku hanya ingin cukup. Tidak terus menerus bahagia atau sial sepanjang hayat. Kamu tahu? Seperti kepingan puzzle yang pas, tidak lebih dan tidak kurang. Aku tak tahu mengapa aku terus menerus kecewa, ditinggalkan, disingkirkan, disudahi dan pada akhirnya dilupakan. Pandemi membuatku merasa tak pantas, membuatku merasa bahwa aku ini cuma benalu. Ia membuatku merasa tak cukup dan pada akhirnya memang layak dibikin menderita.
Aku tak tahu harus bagaimana setelah ini. Aku ingin bahagia dan mungkin itu terlalu berat. Maka aku mengganti mimpiku jadi lebih sederhana. Jadi manusia yang pantas. Seseorang yang sepadan, seseorang yang layak, untuk bahagia.