Ibu mengirimiku paket makanan berisi abon, kentang goreng kacang pedas, dendeng, dan sambal bajak. Karena tak mungkin kuhabiskan sendiri, paket itu dibagikan dengan beberapa orang di kosan.
Ibu selalu mengirimi makanan jika aku menghabiskan ramadhan di Jakarta. Ia bilang, supaya aku bisa merasakan masakan rumah, agar tak terlalu rindu. Ibu memang ajaib. Aku tak pernah minta, tapi saat ngidam, tiba-tiba paket itu sudah ada di kosan.
Saat buka, aku langsung menyantap abon ayam itu. Gurih, kering, dan ajaibnya jika dicampur dengan nasi panas, ia akan lumer seperti bumbu kacang. Apalagi jika dicampur dengan sambel bajak yang diberi ikan teri yang digoreng kering. Di sela rasa lumer manis dari abon, pedas kriuk sambal akan membuatmu terus memamah nasi.
Dendeng sapi yang digoreng dengan remahan kelapa parut terasa manis. Tidak semua orang cocok. Campuran kemiri, lengkuas, dan sedikit jahe membuat makanan ini lebih cocok jadi panganan sahur, karena menimbulkan selera yang segera saat kamu menggigitnya.
Saat membuka paket itu, ada seorang penjaga kosan tiga bulan lalu istirnya meninggal. Ia harus bolak-balik Jakarta Bogor untuk menjaga anaknya. Karena tak sempat memasak, ia kadang hanya memberi makan anaknya mie instan atau bakso.
Asep namanya. Ia bilang sangat berterima kasih karena dibagi makanan itu. Jadi anaknya tidak perlu makan bakso atau mie instan lagi. Sejak pandemi, ia dirumahkan tanpa gaji. Beberapa hari lalu ia pinjam uang untuk beli susu anaknya, saya tak bisa bantu banyak, hanya bisa memberi paket makanan dari ibu dan uang seadanya.
Aku tak pernah tahu bagaimana Tuhan (atau jagat raya) bekerja. Pas saat kiriman paket ibu datang, Asep ada di kosan. Pas saat aku hendak beli makan, seorang teman mengirimkan bingkisan. Uang yang seharusnya untuk makan seminggu, kuberikan pada Asep. Sehari setelahnya seorang kawan memberikan pekerjaan dengan honor lumayan.
Karena merasa rejeki itu berasal dari makanan ibu, aku memutuskan untuk mengirim uang ke rumah. Entah buat jajan atau angpau lebaran keponakan. Ibu bilang tak perlu, ia khawatir aku di Jakarta tak bisa bertahan. Tiga bulan lalu aku dipecat, ibu cemas aku tak punya uang dan akan menggelandang di Jakarta. Ajaib memang. Tapi kubilang aku ada uang, cukup buat bertahan sampai bulan depan.
Ibu berterima kasih. Sembari berharap, ia bertanya, apakah aku akan pulang tahun ini. Jelas tak mungkin. Pandemi membuatku takut akan kondisiku sendiri, aku tak mau menulari ibu dan keponakanku yang masih anak-anak. Ibu bilang ia paham. Setengah berharap memintaku untuk video call setelah sholat Ied.
Ibu juga bertanya, aku akan makan apa lebaran nanti. Aku jawab mungkin sarden dan bakwan jagung. Ia malah sedih. “Aduh anaku. Anak lanangku sendiri di Jakarta,” katanya. Kukira ia becanda, ternyata sedih beneran. Maka kubilang aku akan masak opor, membuat makanan sama temen kosan, dan kami akan berbagi.
Ibu juga bilang, jika memang kesepian, aku diminta datang ke rumah saudara yang ada di Ciledug. Makan opor di sana, bertemu saudara, juga sholat Ied rame-rame. Ibu mungkin tak paham apa itu PSBB. Ia hanya khawatir dan tak mau aku kesepian.
Aku juga rindu. Ingin pulang. Bertemu keponakan, makan enak dari masakan ibu, main ke sawah di belakang rumah, bakar petasan, berburu belut di sungai, makan sate kambing favorit, menelusuri jalun rel kereta api yang tak lagi dipakai, makan di warung depan sekolah dulu. Segala hal yang membuatku menikmati masa lalu.
Pulang adalah kebutuhan. Peristiwa di mana setelah merantau, kamu kembali ke akarmu. Mengisi ulang energi, bercengkerama dengan orang rumah. Di mana kamu diterima secara utuh tanpa harus jadi orang lain. Tentu aku tak ingin mengecilkan pengalaman teman-teman yang punya keluarga Toxic atau korban KDRT.
Ini mengapa banyak orang yang nekat pulang kampung dengan cara apapun. Mereka tak peduli pandemi atau ancaman wabah, karena pulang lebih penting daripada ketakutan itu sendiri. Prioritas mereka berbeda. Aku sangat berharap mereka yang memaksakan pulang, menjaga kesehatan diri, berkomitmen pada karantina mandiri, dan bersiap dengan segala konsekuensinya.
Kukira rindu pacar, istri, anak, keluarga, itu perkara sepele. Tapi toh jika kamu mengunci diri selama berbulan-bulan tanpa interaksi fisik, rumah dan segala isinya jadi tampak demikian indah, demikian menggiurkan, dan demikian menyesakkan. Kamu hanya memikirkan rumah. Kamu tak perlu keluar uang untuk makan, kamu dikelilingi orang yang kamu sayang, dan ada manusia yang diajak berinteraksi.
Aku tak bisa sekedar menyalahkan mereka yang pulang. Bagi mereka yang terbiasa merantau atau seumur hidup tinggal bersama keluarga. Pulang kampung atau mudik adalah peristiwa sakral. Bahkan lebih penting dari sekedar punya uang atau mengirimkan uang. Karena keberadaan, kehadiran, dan kebersamaan itu tidak bisa dihitung.
Rindu adalah mata uang paling mahal. Karena rindu dengan masa lalu, kamu membeli mobil, sepatu, lukisan, benda-benda yang membuatmu merasakan kebahagiaan nostalgia. Seperti kaya Subagio Sastrowardojo;
“Sunyi, menyayat seperti belati
Meminta darah yang mengalir dari mimpi.”
Aku berharap kamu yang tak pulang dan terjebak di Ibukota baik-baik saja. Kamu tidak kesepian dan kamu tidak sendiri. Ada ribuan atau jutaan orang lain yang tak bisa pulang. Kita bisa tetap menyapa orang rumah dengan teknologi. Membuat mereka sadar, meski terpisah jarak, mereka tidak dilupakan dan kita tetap ingat.
Kita juga bisa menciptakan keluarga baru. Besok, setelah lebaran, kamu mungkin bisa mengetuk kamar sebelah kosanmu. Berkenalan, mengajaknya bicara (dengan jarak aman tentu), merayakan lebaran bersama. Siapa tahu kalian bisa menciptakan ingatan baru. Kenangan baru.
Aku akan membuka paket makanan dari Ibu lebaran nanti. Aku harap teman-teman kosan suka dengan abon, kering kentang, sambal bajak, dan dendeng buatan Ibuku. Kami bisa bercerita tentang rumah, tentang resep makanan selama lebaran, juga ingatan tentang lebaran di kampung. Menikmatinya sebagai peristiwa yang spesifik dan personal.
Selamat lebaran. Selamat merayakan kerinduan.