Harapan.

dhani
2 min readMay 11, 2020
Camp Fire (1880) by Winslow Homer. Original from The MET museum. Digitally enhanced by rawpixel.

Barangkali ketika kita sudah benar-benar dilahap waktu dan jarak. Kita akan belajar arti kebersamaan. Tapi kukira ada yang lebih seru dari sekidar rindu yang tak terbalas. Yaitu perihal usahaku untuk mengerti kamu, perihal kesabaranmu yang seperti muara. Juga ketabahanmu yang tak pernah jera. Kukira aku perlu belajar untuk bisa mencintai utuh sepertimu.

Barangkali pula ada yang lebih bijak daripada sekedar menulis dan bicara. Ia adalah tindakan. Semisal cita-cita untuk membahagiakanmu atau tentang menemanimu menjalankan misa di hari minggu yang kudus, atau menyeka pelan keringatmu ketika kita berdua menikmati bakso yang bedebah pedasnya. Aku, lebih dari siapapun di dunia, ingin bisa menunjukan tindakan padamu daripada hanya sekedar kata-kata manis.

Tapi seperti yang selalu kubilang. Hidup tak akan pernah sebrengsek ini, apabila setiap keinginan kita terkabulkan. Manusia seringkali dipaksa memejalkan diri, menyabung nasib hingga tahap yang paling ekstrim untuk bisa sedikit lebih dekat dari keinginannya. Manusia lantas bersiasat soal keinginannya, memendam gelora sedemikian rupa hingga tanpa sadar keinginan itu lantas padam.

Kukira hidup hanya sekedar barisan-barisan kekecewaan dan kita dipaksa menerimanya.

Beberapa dari kita begitu keras memendam keinginan sehingga mereka jadi robot. Menjalani hidup secara otomatik. Manusia yang menjadi sekrup untuk menggerakan sebuah mesin raksasa bernama masyarakat adil dan makmur. Lantas menjadi mayat hidup. Sebuah entitas yang tak lebih dari pelumas dari organisme brengsek raksasa bernama industri.

Aku tau kita tak begitu. Aku tau kita tak akan pernah mau menjadi itu semua. Lebih dari apapun yang ada. Kita tak ingin menjadi tumbal, sebuah sekrup, setetes pelumas. Kita adalah manusia yang memilih merdeka di tengah jutaan mayat hidup di ibukota. Kita berdua menanam bibit mimpi. Merawatnya pelan-pelan. Memberinya pupuk harapan. Kita berjuang menumbuhkan keinginan di tengah belantara bernama ketidakpedulian.

Kamu tentu tahu bermimpi membutuhkan nyali. Bermimpi adalah pekerjaan gawat yang hanya dilakoni oleh para pemberani. Mereka yang tahu benar dalam meraih mimpi kita hanya memiliki dua pilihan. Bertaruh habis-habisan atau kalah telanjang. Aku yakin semua itu hanya perkara jalan hidup. Hidup kita seringkali hanya bisa merintih perlu sesekali dilecut dengan ketakutan dan kengerian masa depan.

Kita melarikan diri dari hidup, agar tak perlu ada lagi sedu sedan penantian. Menunggu semuanya mereda. Doa seperti juga puisi barangkali hanya sekedar tulisan yang bising. Kerap kali puisi tak bisa dimengerti melalui hitung-hitungan rumus. Puisi selalu mewujud sebagai upaya mencari jati diri. Upaya untuk meredam segala yang wujud untuk memahami yang fana.

Ia bicara perihal harapan yang terlalu curam untuk dijalani. Perihal masa depan yang terlalu naif untuk dijalani. Perihal mimpi yang seringkali tak mampu kita pahami.

Mungkin ini semua tak penting bagimu.

Aku tahu kau sedang sibuk. Sedang dipenjara pekerjaan yang menuntutmu untuk terus bergegas dan berpikir keras. Tak ada waktu bagimu untuk sekali lagi menjerat makna dari tulisan sentimentil ini. Tapi bagiku sayang, ketika kau jatuh cinta dan mencintai. Hidup adalah keberanian untuk berkata jujur meski kamu harus kecewa setelahnya.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

Responses (2)