Aku akan memulai kalimat ini dengan sujud, menenggelamkan muka ke arah bumi, hingga hidungku mampat di antara debu dan kerikil. Bukan apa-apa, tapi kemilau wajahmu, dua pipi bundar di antara tatapan tajam matamu, membuatku zahir belaka. Merasa bahwa tak layak untuk sekadar menengok, kecuali setelah kamu memberi izin.
Aku jatuh cinta. Dibuat kasmaran, seperti hamba yang menunggu diberikan kesempatan memuja. Lebih gawat dari rasa penasaran Musa di Gunung Sinai, kukira, segala di kolong Babylon belum layak diberi ijin melihat pesonamu. Di antara bicep, gigir yang dipahat serupa punggung Naga Merah dalam lukisan William Blake.
“Dan lihatlah naga merah besar, dengan tujuh kepala dan sepuluh tanduk, serta tujuh mahkota di atas kepalanya. Dan ekornya menarik sepertiga bagian dari bintang-bintang di langit, lalu melemparkannya ke bumi,”
Kemudian aku berdoa, kelak, barangkali jika ada amalan dalam hidupku yang kayak ditimbang dengan budi luhur, aku berharap ia dapat ditukar dengan kesempatan untuk menyandarkan kepala di antara pahamu. Paha maha agung, yang membuat battalion serdadu Genghis Khan dan Julius Caesar tersipu malu.
Lantas serupa inlander yang kedapatan mencuri beras oleh centeng-centeng VOC, aku digebukin rindu yang kepalang brengsek. Sialan betul, dibuat jatuh cinta dengan pegal-pegal dan keras kepala. Barangkali aku juga perlu memulai konvoi, membawa celurit lantas ugal-ugalan memuja namamu di antara bising knalpot RX-King dan kejaran tim panter sembari direkam Buser.
Tapi apakah itu yang kamu mau, nona? Menjadi pusat semesta infotainment jam tiga, di antara gunjing artis yang kedapatan menerima suap timah dan perselingkuhan lelaki dengan mobil tua? Aku hanya ingin bookmark saja, seluruh pesona di antara perigi alismu yang membuat perang saudara di Ukraina dan Rusia terasa sia-sia. Tapi bukankah hidup memang seperti itu?
Aus den Augen, aus dem Sinn!
Oh, sebelum aku lupa, barangkali jika mata-mata jahil manusia ini tak disibukkan menatap kerdil dunia, maka mereka akan terpukau dan menjahit ingatan di balik kepala mereka ketika menatap indah rambutmu. Serupa surai kuda Sabaha yang menjadi pemenang dalam adu balap ketangkasan, lembut seperti sutra, indah seperti gerhana.
Dengan gegabah, menjiplak puisi Nirwan Dewanto agar terlihat gagah, mengarsir kata-kata sulit yang susah dicerna tanpa kamus. Aku menulis puisi ini. Tentu niat baik tak seharusnya ditunaikan melalui laku curian, tapi persetan semua, jika harus menjadi residivis untuk memujamu, maka biarlah aku merampok seluruh diksi dalam puisi Subagio.
Tapi sungguh aku enggan berbagi dengan mereka, aku ingin menyimpan sendiri kekagumanku untuk kelak saban bulan suci kelahiranmu, sebelum fajar tiba, aku masuk ke dalam sisa tidur, menyaru sebagai bandit berpupur putih lesih dan bersurban marun dan berhujah dihadapan para zuhud, betapa aku bahagia dicekik lenganmu.
Wahai kamu yang selalu memamerkan punggung, bicep, dan tebal pesona pahamu. Kakimu yang agung serupa pahat pualam yang lebih sempurna daripada relief peradaban. Aku berdoa, sebagai pendosa yang kerap bermimpi masuk surga, agar kelak berharap bisa lemas dibuat kehabisan nafas, dicekik dua piton di antara pinggulmu, menghunjam arteri karotidku ke dalam mimpi yang indah.
Sudah kubaca riwayat hidupmu yang lebih aduhai dari pertempuran merebutkan Troya, mereka yang beradu otot, memacu protein, menambah beban, aku ingat sulur-sulur keringat yang meluncur di antara tengkuk, pundak, dan punggungmu. Membangun peradaban serupa Eufrat dan Tigris, buai kebudayaan yang mencipta bahasa-bahasa untuk memujamu.
Senyumanmu yang demikian kudus, menjulur tangan-tangan kebas yang terluka lantas mengering, dari mengangkat ratusan kilo besi-besi machoisme. Meledek mereka dengan gaun hitam seperti telah pulang dari berduka, kematian-kematian rasa malu dan ketidakberdayaan. Gaun yang kupikir serasi dengan tubuhmu yang mengekar, membakar mata-mata dengki pria cabul yang menggeletar serupa cacing di bawah amarah matahari.
Dan inilah aku, membungkuk, masih tak berani membuka mata, memohon agar pesan ini sampai padamu, tanpa harus kukirim. Karena sadar betapa getir hidupku yang fana ini, tak lagi ingin merepotkan kamu, Athena yang tengah bertikai memancung kepala Mastodon. Semoga tulisan ini membuatmu sadar, bahwa kamu adalah segala, matahari yang teduh, hujan yang segar, dan apapun di antaranya.