Jika hari ini Islam sinonim dengan orang semacam kekerasan kenapa marah? Bukankah kita, saya dan anda, yang membiarkan mereka melakukan itu? Kita membiarkan beberapa orang yang tak punya nalar dan kerendahatian untuk mencaci maki atas nama dakwah, kita membiarkan orang tanpa sanad ilmu dan kemanysiaan menghina dan merendahkan seseorang atas nama syiar. Ketika ada yang menegur, mereka mengaku sebagai orang jujur yang tak munafik, bukankah selama ini banyak dari kita diam dan menganggap mereka tak penting?
Ketika guru-guru mulia yang rendah hati macam Prof Quraish Shihab menyebarkan cinta, beberapa dari kita menuduh ia syiah dan syiah bukan islam, ketika Gus Mus menyebarkan kasih sayang, beberapa menuduh ia liberal dan liberal bukan islam, ketika Prof Dr Harun Nasution menyebarkan pengetahuan kritis dan rasionalitas, kalian sebut ia sekuler dan sekuler itu bukan islam. Lalu siapa yang layak dianggap ulama? Yang gemar memaki dan mengumpat?
Jadi islam itu seperti apa? Apakah islam itu yang turun ke jalan meneriakkan takbir seraya membawa parang? Apakah islam itu yang mendaku diri paling suci dan paling murni sehingga memaksa orang di luar kelompoknya sebagai sesat? Apakah karena meyakini tafsir secara berbeda membuat orang islam berhak menyegel masjid mazhab yang lain? Apakah islam itu partai yang mendaku diri memperjuangkan syariat tapi beberapa kadernya tertangkap korupsi?Apakah islam itu yang menyebarkan kabar konspirasi tanpa klarifikasi?
Jadi apakah islam itu tidak rasional seperti yang coba ditawarkan Prof. Dr. Harun Nasution? Apakah islam itu tidak penuh kasih sayang seperti yang ditawarkan Gus Mus? Apakah Islam itu tidak teduh dan penuh cinta seperti yang ditawarkan Prof Quraish Shihab? Atau apakah kita tak bisa menikmati agama dengan lelucon dan kegembiraan seperti yang ditawarkan oleh Gus Dur?
Mengapa kita tak bisa membedakan mana ujaran kebencian dan sikap tegas? Mengapa kita tak bisa membedakan seruan kejahatan dengan sikap anti kompromi? Beberapa orang menganggap beragama dan punya keyakinan memberikan ia hak untuk menghina dan merendahkan orang lain yang tak sejalan? Beberapa orang menganggap bahwa apa yang ia anggap kebenaran adalah hal yang mutlak dan tak boleh ada perspektif pembanding.
Yang menyedihkan dari politik dan media sosial adalah internet tak membuat kita jadi lebih baik. Internet dan media sosial mengeluarkan sisi paling buruk dalam diri kita untuk tampil di ruang publik. Memaki, mengecam, menghina, menyindir, dan pada beberapa kesempatan menyakiti yang lain. Mengapa beberapa orang menggunakan “atas nama” untuk membenarkan perlakuan buruk yang mereka jalankan?
Saya tidak bangga atas apa yang saya lakukan di masa lalu. Kebencian dan sikap keras kepala membuat saya kehilangan banyak teman. Saya pikir beberapa orang yang saya tuakan, atau saya anggap dewasa bisa mengayomi. Nyatanya beberapa dari mereka malah menjadi pihak yang paling lihai memaki dan menghina.
Tak ada kehormatan di media sosial. Semua orang merasa punya pendapat dan setiap orang merasa pendapatnya paling benar. Saya tak mau kehilangan teman lagi, barangkali, yang mengerikan adalah kita dipaksa melihat yang terburuk dari kawan kita dan kemudian memutuskan. Apakah kita akan tetap berteman dengannya terlepas apa yang ia lakukan dan ucapkan?
Pertanyaan ini mengganggu saya. Bisakah saya tetap berteman dengan orang misalnya, yang dengan mudah menghina orang yang saya hormati? Bisakah saya tetap berteman dengan orang yang bersebrangan politik dengan saya? Lebih daripada itu, bisakah saya menerima yang terburuk dari dia?
Saya tak mau kehilangan teman lagi, tapi bukan berarti saya mau berteman dengan segala jenis orang. Bandit, pengecut, maling, atau begal masih memiliki kehormatan. Sedang manusia yang merendahkan kemanusiaan dan meludahi hak asasi orang lain, bisakah saya berteman dengan orang semacam ini?
Orang boleh tidak konsisten, seperti juga orang boleh tidak konsisten. Manusia tumbuh. Apa yang ia dukung di masa lalu, barangkali akan sama sekali berbeda hari ini. Nilai berubah dan pandangan berkembang. Bertahun lalu orang masih menganggap perbudakan sebagai hal yang lumrah, hari ini manusia dengan akal sehat paling minimal bisa melihat bahwa hal itu salah.
Maka pertanyaannya adalah, seberapa jauh kita toleran terhadap perbedaan? Apakah anda akan toleran dengan orang yang menganggap dirinya lebih superior hanya karena pilihan agama dan identitas rasial bawaan lahirnya? Atau anda akan toleran dengan seseorang yang punya orientasi seks dan agama yang berbeda dengan kita?
Maka saya sekali lagi percaya kepandaian berpikir, tingkat pendidikan, dan banyaknya pengetahuan yang kita miliki adalah privilege. Untuk bisa jadi pintar, berpikiran luas, dan mengerti hal yang salah berasal dari pendidikan yang baik. Di Indonesia pendidikan yang baik dan pendidikan tinggi adalah kemewahan. Tidak semua orang memiliki itu dan tidak semua orang bisa mengakses itu.
Apa yang kita pikirkan dan kita rasakan adalah bentuk konstruksi sosial. Kamu ga bisa bilang bahwa mereka yang marah karena ulamanya dihina atau agamanya dilecehkan sebagai orang bodoh. Setiap orang, meminjam istilah katolik, memanggul salibnya masing-masing. Tidak semua orang sepakat pandangan politikmu. Vice versa.
Protes terhadap penistaan agama semestinya ditelaah dengan menempatkan kita pada posisi orang lain. Apa yang kita anggap sakral? Bagi saya hak asasi manusia adalah hal yang sakral, sementara bagi orang lain mungkin kitab suci. Konstitusi memberikan ruang bagi kita untuk mengutarakan pendapat dan bersikap. Lantas apa yang memberi hak kita untuk menghina keyakinan orang lain?
Maka pilihannya adalah apakah kita akan kalah terhadap rasa takut? Apakah kita akan membiarkan rasa takut mengambil alih akal sehat kita? Rasa takut akan melahirkan prasangka, prasangka melahirkan kebencian, dan kebencian melahirkan permusuhan. Kita cenderung membenci apa yang tidak kita ketahui.