I loved you in the morning, our kisses deep and warm
Your hair upon the pillow like a sleepy golden storm
Yes, many loved before us, I know that we are not new
Leonard Cohen
Kukira hal paling berani yang kulakukan dalam hidup, adalah mengakui bahwa aku pernah melakukan kesalahan. Hal lain yang semestinya bisa aku beri kredit, adalah keberanian untuk menolak. Menolak memberi bantuan juga menolak menerima bantuan.
Hari ini seorang teman dan suaminya, menawariku untuk merayakan lebaran di rumah mereka. Dengan berat hati, khawatir akan melukai perasaan mereka, aku menolak tawaran ini. Aku sedang dalam kondisi kalut. Aku mudah sekali marah. Emosiku naik turun dan tindakanku cenderung agresif dan negatif.
Awalnya aku sangat takut untuk menolak tawaran baik ini. Siapa sih yang tak ingin merayakan lebaran dengan orang terkasih? Apalagi dua orang teman ini adalah sedikit dari orang paling tulus, paling jujur, dan paling rendah hati yang pernah aku kenal di Jakarta. Tapi aku tak ingin mereka menerimaku dalam kondisi lusuh, negatif, dan menyusahkan.
Alhamdulillah, puji syukur, temanku ini menerima alasanku untuk menolak tawaran mereka.
Satu hal yang aku pelajari dalam beberapa minggu terakhir. Menolak bantuan adalah bentuk menyayangi diri sendiri. Tidak semua bantuan perlu kamu terima. Bukan karena bantuan ini adalah hal yang buruk atau niat mereka tidak tulus, tetapi karena kamu juga perlu memikirkan dirimu sendiri. Apakah kamu akan menyusahkan mereka? Apakah bantuan ini perlu kamu terima sekarang? Dan seterusnya.
Sejak belajar tentang konsep boundaries, aku menyadari bahwa bantuan yang dipaksakan atau komentar yang tidak diminta adalah bentuk agresi. Bantuan yang tulus akan lahir dari kepedulian. Seseorang yang butuh bantuan akan memintanya dan seorang yang peduli, akan bertanya kepada pihak yang akan dibantu, apakah ia butuh bantuan. Di sini dua pihak yang berbeda menghormati ruang privat masing-masing dan kita belajar menghargai batasan personal antar individu.
Aku sedang berusaha keras untuk memahami emosiku belakangan. Mendengarkan dengan tulus tiap riak-riak kekhawatiran, kecemasan, rasa takut, penyesalan, harapan, dan segala yang ada di antaranya. Mengapa aku sangat khawatir dengan persepsi orang tentangku? Apa yang aku cemaskan tentang masa depan? Mengapa aku takut keburukanku akan membuat orang lain pergi? Mengapa penyesalan membuatku takut berkembang?
Hal-hal semacam ini aku coba jawab sendiri. Saat aku tidak bisa menjawabnya, aku menghubungi teman-temanku, sahabat untuk membantuku menemukan perspektif yang lain. Bantuan yang didasari kesepakatan, kesadaran, dan penghormatan terhadap yang lain akan membantu kita berkembang. Sementara bantuan yang dipaksakan hanya akan melahirkan penyesalan, kekecewaan, dan kebencian karena tak sesuai ekspektasi.
Aku merasa energiku semakin hari semakin berkurang. Setiap hari aku berjalan, olahraga, menulis, dan berusaha menolong orang lain sebisaku. Tapi ternyata luka batinku sendiri tak pernah diobati. Luka ini dibiarkan menganga dan aku menganggapnya tak ada. Perlahan luka ini mengikutiku, membuatku rapuh, dan belakangan membuatku jatuh dalam kemarahan.
Beberapa bulan lalu aku mengalami trauma ketika orang yang aku cintai meremehkan kondisiku. Aku tak benar-benar pulih dan fokus pada penyembuhanku sendiri. Padahal aku tahu, sebelum aku membantu orang lain, sebelum aku memaafkan orang lain, sebelum aku memperjuangkan orang lain, aku mesti fokus pada diriku sendiri. Mengobati dan menyembuhkan luka batin itu.
Karena itu aku berusaha mengurangi interaksiku dengan orang lain. Baik teman, sahabat, keluarga, atau orang yang aku cintai. Aku berusaha menemukan jalan untuk mengobati luka batin tadi. Aku ingin memperbaiki koneksi antara pikiran, perasaan sesak di dada, dan usaha untuk mencintai diri sendiri. Segala kecemasan ini membuatku mudah marah, menolak bantuan, dan membenci diri sendiri.
Sebelumnya aku merasa bahwa menolak membantu orang lain adalah bentuk kesombongan. Tapi ternyata memprioritaskan diri adalah tindakan mulia. Kita memuliakan pengorbanan bagi yang lain, kepedulian pada yang lain, dan membantu orang lain. Sementara membantu diri sendiri terdengar sangat egois dan jahat. Padahal tidak.
Kadang ketika kita menciptakan batasan, dalam diri sendiri, ada perasaan bersalah. Misalnya ketika kita menolak meminjamkan uang, menolak datang ke pesta yang ada rokok dan alkohol, atau menolak ikut bergosip. Sikap ini tak salah. Memprioritaskan diri sendiri, karena tak ingin menyusahkan orang lain, atau ingin menyembuhkan sendiri juga bentuk sikap mulia.
Salah satu alasan mengapa kita menolak menciptakan boundaries atau batasan karena sejak kecil dalam keluarga, ruang privasi kita diretas oleh orang tua. Kerap kali orang tua, dengan otoritas yang mereka punya, bisa masuk ke kamar kita, menggeledah ruang kamar, laci, lemari, tas, dan tak menghormati ruang pribadi kita.
Hal ini kemudian menciptakan ide bawah sadar bahwa batasan adalah hal yang salah. Kita bebas memaksa, memasuki, atau menggeledah orang lain karena itu bentuk kepedulian. Padahal ini adalah sesuatu yang salah. Kita perlu ruang sendiri, untuk berkembang dan menikmati diri. Ini yang membuat kita merasa bebas memaksakan pendapat kita ke orang lain, meski orang itu tak butuh.
Kita menciptakan imaji bahwa kita sedang membantu orang lain. Memberikan pendapat yang kita pikir benar. Memberikan sesuatu yang kita pikir orang lain butuh. Lantas saat orang lain menolak bantuan atau memberikan batasan/boundaries, kita menganggapnya sebagai penolakan atau tindakan negatif.
Aku berusaha untuk mengajarkan diriku, bahwa menciptakan batasan, seperti menolak bantuan, adalah bentuk penghormatan pada yang lain juga pada diri sendiri. Aku tak ingin orang yang membantuku kecewa atas kondisiku saat mereka tak mampu menolong. Usaha ini perlu kesepakatan bersama. Ini hal yang susah tapi perlu dilakukan.
Kepada teman-temanku yang dengan baik menawarkan bantuan. Aku berharap kalian tidak marah dan tersinggung. Semoga semesta membalas kebaikan dan sikap tulus kalian. Semoga kalian dalam naungan nasib mujur dan diberikan kebahagiaan atas niat baik kalian.
Kepada temanku yang sedang mengalami kecemasan, rasa takut, dan ingin sendiri selama lebaran ini. Aku harap kalian kuat. Aku harap orang lain akan menghormati keputusan kalian. Kalian berharga. Aku sayang kalian.
But now it’s come to distances and both of us must try
Your eyes are soft with sorrow
Hey, that’s no way to say goodbye