Aku tumbuh dengan membenci bau ibu. Baunya seperti residu kerupuk yang digoreng. Itu wajar, sebagai pedagang kerupuk, ibu mesti bekerja di depan wajan penggorengan dan menggoreng kerupuk hingga ratusan kilo. Bertahun-tahun setelahnya, saat aku berpisah dengan ibu, wangi ibu yang seperti residu kerupuk itu justru aku rindukan.
Kerupuk ini yang membiayai keluarga kami. Saat bapak kecelakaan, gegar otak, tak bisa bekerja, ibu yang menggantikan peran bapak. Ia menggoreng kerupuk dari siang hingga sore, setelah itu mengemas kerupuk, dan jika sempat akan memasak buat kami anak-anaknya. Itu di luar waktu ibu membuat kerupuk yang biasanya dilakukan subuh.
Proses pembuatan kerupuk ini melelahkan. Ibu mesti bangun dini hari untuk membuat adonan, tepung yang dicampur rebusan kepala udang dan tulang ikan tidak bisa langsung diolah, karena biasanya akan sangat panas, di tangan ibu ada banyak luka bekas terbakar arang, air panas, dan minyak goreng.
Ibu bilang ia alergi makanan laut, udang atau ikan akan membuat tubuhnya gatal-gatal. Tapi ini tak membuatnya berhenti bekerja. Bahkan saat ia harus kena air panas karena mengantuk saat suatu pagi mesti membuat adonan ikan. Aku kira sekujur tubuh ibu serupa tembok benteng di medan perang. Penuh sayatan yang sembuh tapi tak pernah hilang.
Dulu saat kecil aku benci wangi ibu. Kenapa ia tak bisa seperti ibu teman-temanku. Bekerja sebagai guru, atau ibu rumah tangga, kenapa ia harus bekerja sebagai pedagang kerupuk? Wangi residu kerupuk kadang tak pernah hilang bahkan setelah ia mandi. Bahkan setelah ganti baju, memakai pengharum badan, wangi residu kerupuk goreng itu kerap lolos dan membuatku tak suka dipeluk ibu.
Hari ini aku menggoreng kerupuk. Di Jakarta, agak susah mencari kerupuk yang sesuai dengan seleraku. Di rumah, ibu biasa membuat kerupuk dengan tepung kanji, tulang ikan, kepala udang, garam laut, sehingga menghasilkan kerupuk yang demikian gurih.
Lucu sebenarnya, banyak teman yang bertanya kenapa aku tak bisa makan tanpa kerupuk? Bisa sebenarnya, tapi tentu kurang sedap. Bunyi kriuk dan sensasi renyah dari kerupuk itu sangat menyenangkan. Bikin ketagihan.
Menggoreng kerupuk sendiri membuatku sadar bahwa wangi residu kerupuk tak bisa dihindari. Uap panas hasil gorengan akan menempel pada tubuhmu, kamu bisa mandi, ganti baju, tapi wangi itu akan benar-benar hilang setelah beberapa lama. Jika bertahun-tahun kamu melakukan profesi yang sama, wangi itu akan jadi satu dengan tubuhmu dan mungkin tak akan pernah hilang.
Saat kecil dulu, jika ada yang bertanya apa pekerjaan orang tua, aku menjawab bapakku pemborong. Kontraktor pemerintah yang membangun sekolah, jalan, dan jembatan. Aku tak mau orang tau ibuku pedagang kerupuk, atau menjual kerupuk, atau mereka tahu ibuku bekerja. Malu rasanya.
Aku malu punya ibu dengan bau residu kerupuk goreng. Yang tidak bisa keliatan cantik atau tidak sempat berdandan untuk acara arisan. Di komplek kami tinggal, tiap bulan selalu ada arisan, ibu jarang datang karena mesti bekerja, ia kerap meminta aku datang menggantikan. Ibu-ibu itu wangi, bajunya bagus, perhiasannya banyak, aku tak pernah peduli soal tampilan, tapi aku ingat itu pertama kali aku kenal parfum.
Ibu bilang parfum itu barang mahal. Ibu hanya memakai bedak BB harum sari agar tak berkeringat dan tak bau. Ini kenapa aku tak pernah ambil pusing soal bau badan sendiri, sampai kemudian kuliah, suka sama orang dan dibilang bau matahari. Kamu tahu bau matahari? Itu bau orang-orang yang terlalu sering berdiri di bawah matahari, pekerja, atau mereka yang mesti jalan karena tak punya kendaraan.
Jadi harum itu kemewahan. Keringat secara umum akan membuat tubuhmu menjadi berbeda, semacam sebuah efek apa boleh bikin. Semakin sedikit kamu bergerak, semakin nyaman sebuah ruangan, semakin terampil kamu menjaga diri, wangi tubuhmu akan semakin terjaga. Jangan bandingkan wangi direktur dengan seorang buruh bangunan di jakarta jam 12 siang.
Ibuku sebenarnya bisa jadi bos. Ia istri seorang pemborong. Bapak bisa cukup kasih uang, tapi ibu perempuan keras kepala yang tak mau menerima uang. Ia lebih suka mencari makan sendiri, menabung, lantas membiayai sendiri anak-anaknya. Jika ibu mau, ia bisa membayar orang untuk menggoreng, membuat adonan, hingga membungkus kerupuk. Tapi ia tak suka diam.
Saat kecil, sepulang sekolah aku harus membantu ibu membungkus kerupuk. Jika sampai 100 kemasan, aku boleh main, biasanya baru selesai sore, itupun kadang harus lanjut mengaji. Aku benci ibu yang memaksaku bekerja, belakangan aku sadar, ia bukan tak mampu mempekerjakan karyawan, tapi ia mengajarkan aku tentang hidup sebagai kelas pekerja, yang mesti bekerja dengan upah harian, agar bisa makan.
Aku tak benci bekerja sebenarnya. Aku benci kondisi tubuh setelah bekerja. Membungkus kerupuk membuatku bau, membuat tanganku penuh minyak, membuatku jadi harus mandi jika ingin keluar bermain. Teman-temanku tak mau dekat-dekat orang bau. Tapi bertahun kemudian aku sadar, bau tubuh dan wangi buatan itu dua hal berbeda, sesuatu yang sumbernya menunjukkan darimana identitas kita.
Itu wangi pekerja, seseorang yang mesti bekerja dari pagi untuk bisa makan. Sesuatu yang semestinya aku banggakan.