Mengapa Korban KDRT Menolak Pisah?

dhani
5 min readOct 17, 2022
Caravaggio — Judith Beheading Holofernes

— — Trigger Warning Domestic Violence — —

Pada waktu mengandung kakak ke dua, ibu yang saat itu tidak bekerja, fokus mengurus anak dan suami, diajak bapak untuk menonton. Gembira karena sudah lama tak keluar rumah, sejak pukul lima sore ibu sudah bersiap, dandan rapi, menggunakan pakaian paling bagus dan wangi belaka.

Tepat pukul enam, usai sholat maghrib, bapak dan ibu yang sedang hamil bergegas keluar rumah. Di pintu pagar, teman bapak datang, “Ayo ikut, ada temen datang,” bapak kemudian bilang pada ibu kalau ia akan keluar sebentar, lantas akan lanjut keluar bersama ibu.

Di teras ibu menunggu, hingga pukul 7, 8, 9. 10 dan sampai tiga pagi. Perempuan yang sedang mengandung itu menunggu suaminya di teras rumah, kedinginan. Ia masuk jelang azan subuh. Perempuan itu tak makan malam karena menunggu janji suaminya.

Saat ibu sholat subuh, pintu rumah digedor dengan kencang, dan ada teriakan dari luar. Bapak datang dalam keadaan mabuk berat. Ibu membuka pintu dan dibalas dengan bentakan. Kenapa pintu rumah dikunci. Ibu menjawab karena bapak tak pulang, dan ia takut sendirian.

Bukannya minta maaf dan mengakui kesalahan, bapakku yang mabuk berat itu menempeleng muka ibu. Ibu terjatuh dan dadanya ditendang. Iya, perempuan yang tengah hamil itu dipukuli suami yang mengingkari janji, dan ditendang tubuhnya.

“Kamu perempuan ga usah ngeyel, aku ini suamimu, kamu ga perlu ngajari apa-apa,” kata bapak, berteriak, mabuk dan membiarkan ibu yang kesakitan menangis. Bapak kemudian tidur pulas, bangun tengah hari, tidak meminta maaf dan merasa semua baik-baik saja.

Aku tahu, setiap orang yang berakal akan menganjurkan ibu untuk berpisah. Mana ada orang yang berpikiran waras rela dirinya dijadikan sansak, membiarkan dirinya dipukuli, bahkan oleh orang yang mengaku sayang. Tapi kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang kompleks. Ia tak bisa dipahami, kecuali kamu ada di dalamnya, menjalani hal tersebut, dan mengalami kekerasan itu sendiri.

Beberapa hari ini sosial media diramaikan dengan Lesti yang jadi korban KDRT suaminya sendiri Rizky Biliar. Setelah melaporkan pada polisi, Lesti memutuskan untuk memaafkan suaminya. Padahal kekerasan yang ia alami bukan sekali terjadi, rekaman saat Risky melempar bola biliar pada istrinya juga tersebar.

Orang-orang kecewa pada Lesti, mereka menyebutnya bodoh. Tapi KDRT tidak semudah bicara pisah dan berhenti menemui pelaku abusive. Dalam konteks ibu saya, ia adalah perempuan yang bergantung pada suaminya, lahir dalam tradisi keluarga patriarkis yang menanamkan nilai bahwa suami selalu benar, bersabar adalah tindakan mulia, dan protes atau melawan suami adalah neraka.

Ibu tak bisa benar-benar berpisah dengan bapak, tak peduli seberapa sering ia dipukul, ditendang, dan dihajar. Bapak punya akses uang, kendali penuh terhadap lingkar perkawanan ibu, dan tahu benar bahwa saudara ibu ada di luar pulau yang susah dijangkau. Ia mengeksploitasi anak-anaknya dan kerap mengancam jika berpisah, seluruh anak-anaknya akan dibawa. Bapak paham betul, ibu rela dipukul, dimadu, dan dihajar demi tetap bersama anak-anaknya.

Belum lagi kondisi di mana masyarakat yang tak punya empati, kadang menempatkan istri sebagai pihak yang salah. Suami selingkuh karena istri kurang dandan, suami memukul karena istri tidak menurut, suami marah karena istrinya kurang sabar. Ibuku adalah contoh, dimana saat bapak marah dan memukulnya di ruang publik, ia justru disalahkan karena membuat malu keluarga yang melihatnya.

“Gara-gara kamu, keluarga kami malu diomongin tetangga. Makanya kamu jadi istri harus lebih baik lagi pada suami,” kata keluarga bapak.

Hal serupa bisa kamu temukan dalam KDRT Risky Billar, keluarganya menyebut kekerasan sebagai bumbu rumah tangga. “Kita bukan membenarkan, sebenarnya KDRT itu kan aturan baru ya. Kalau saya bilang KDRT itu bukan kekerasan, itu keharmonisan dalam rumah tangga,” katanya. Kamu berharap apa dari keluarga yang model begini?

Bertahun-tahun perempuan korban KDRT disalahkan atas perilaku bejat suaminya dan menjadikan saran itu bagian dari identitas. Ia akan menyalahkan diri jika suaminya memukul, ia akan menyalahkan diri jika suaminya selingkuh, dan ia akan membiarkan dirinya dihukum sebagai bentuk cinta.

Bagi kebanyakan orang yang pernah atau sedang dalam abusive relationship, mereka hidup dalam kondisi di mana tak ada akses pengetahuan terhadap apa itu hubungan sehat. Ibuku tak tahu bahwa sebagai istri, sebagai manusia ia berhak diperlakukan dengan lemah lembut. Suami tak punya hak memukul dan melakukan kekerasan, bahkan atas nama disiplin atau agama.

Banyak korban KDRT dibuat bergantung pada pasangan abusivenya. Baik secara materi, maupun secara sosial. Seringkali saat terjadi kekerasan dalam rumah tangga, korban KDRT nyaris tak punya support system yang membantunya menghadapi masalah ini. Ibuku dibuat tak berdaya, tak mampu berdikari, sehingga terpaksa hidup dalam relasi tak sehat.

Korban KDRT juga kerap diliputi asumsi bahwa kekerasan yang mereka alami adalah bentuk cinta. Suami saya memukul karena cemburu, artinya ia sayang pada saya. Suami saya melarang saya berkarir karena ingin saya fokus pada anak. Suami saya tak mau keluarga datang karena kami ingin mandiri. Ide-ide keji ini dibalut dengan ayat-ayat suci, norma masyarakat, dan nama baik keluarga.

Ibu baru bisa bebas dari bapak setelah adik saya menikah. Perempuan yang selama 40 tahun terakhir dimadu, dipukuli, ditipu, dan disakiti itu memutuskan keluar dari rumah. Kakak, saya, dan adik yang menjadi saksi kekerasan bapak, pasang badan. Lelaki tua itu masih bisa membawa ayat tentang anak durhaka, istri durhaka, untuk membenarkan perilakunya. Ia juga bicara nama baik keluarga, kehormatan, hal-hal yang ia beraki sendiri selama memperlakukan keluarganya dengan buruk.

Aku paham mengapa Lesti mencabut laporan, aku juga paham mengapa banyak sekali perempuan-perempuan baik bertahan dalam rumah tangga yang celaka. Lesti sedikit beruntung, ia perempuan dengan karir baik, memiliki akses terhadap uangnya sendiri, mampu memperoleh bantuan pengacara paling mahal sekalipun, dan memiliki barisan penggemar yang siap mati. Tapi banyak perempuan lain yang tak seberuntung itu.

Kekerasan dalam rumah tangga kerap kali terkubur dan jarang dibicarakan karena menganggap itu urusan personal keluarga masing-masing. Banyak orang mengira kekerasan dalam keluarga adalah hal biasa, sesekali memukul, main mata dengan orang lain, atau bahkan menyakiti pasangan adalah hal yang wajar. Ini yang kemudian membuat korban enggan bicara, dan kalau bicara, kadang tidak dianggap.

Aku berharap Lesti menemukan support sistem yang benar. Mampu menyadari nilai dirinya sendiri dan memutuskan keluar dari hubungan yang abusive. Tak ada hubungan yang layak dipertahankan dengan kekerasan, tidak ada kehormatan yang layak dijaga dengan pukulan.

Kalau kamu dalam kondisi hubungan semacam ini, carilah bantuan, lindungi dirimu dan keluargamu.

--

--

dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?