Mengapa Jakarta?

dhani
6 min readMar 24, 2024
French Theater Square, Paris (1898) painting in high resolution by Camille Pissarro. Original from the Minneapolis Institute of Art. Digitally enhanced by rawpixel.

Ismail Marzuki komponis yang masyur itu pernah menyusun nada untuk syair yang berbunyi “Mari bung, mari-mari, Jakarta menanti-nanti….” Lagunya riang dengan segala suka cita. Maklum Jakarta sebagai ibukota negara muda saat itu membutuhkan banyak tenaga untuk membangun. Apalagi romantisme kegairahan megapolitan itu membuat banyak pemuda dan pemudi dari pelosok kepincut. Seperti ngengat, banyak putra daerah itu mendatangi Jakarta yang menyala terang.

Saya tak pernah bisa menyukai Jakarta. Setidaknya sampai saat ini.

Saya benci harus terus-menerus didera oleh keramaian, dipaksa menghadapi kemacetan dan berbagai kebebalan yang menyertai etos kerja “ini Jakarta bung”. Semua itu membikin saya berpikir bahwa kota ini tak pernah bisa manusiawi. Ia seperti mesin-mesin yang menghempas bahan mentah dan mengolah semuanya menjadi benda yang sama-sekali baru. Tak satu dua orang kawan yang pulang dari kota itu lantas gagap bahasa dan melupakan aku kamu menjadi gue elu.

Loh kan tak ada salahnya berganti bahasa? Tentu. Tetapi membawa adab dan perilaku yang sama sekali baru bukan perkara mudah. Apalagi bagi orang dengan anyaman lingkungan ala jawa seperti saya. Tata krama, semenyebalkan dan senormatif apapun, adalah akar yang serta merta tak akan bisa hilang. Barangkali juga merupakan identitas sosial. Sementara di Jakarta banyak orang yang berusaha melepas identitas sosialnya tadi. Bukan sekali juga pertanyaan “Kapan elu pulang ke Jawa?” menjadi sebuah pernyataan retoris yang komikal.

Barangkali memang benar Jakarta bukan jawa ia adalah yang ‘lain’.

Dalam salah satu fragmen, Umar Khayam pernah menulis dengan satir fenomena ini. “Dalam panggung baru yang bernama Jakarta itu… peranan yang digariskan oleh komunitas mereka, mereka abaikan. Akibatnya, penghayatan pernanan mereka jadi kedodoran dan over acting” Pedas? Tentu saja. Monsieur Khayam selalu gemar bercanda dengan lecutan perih bagi mereka yang berpikir.

Lebih lanjut Monsieur Khayam menyatakan banyak dari orang-orang kita selepas pulang dari Jakarta menjadi kebelinger. Kena “hardik kemilau lampu kota yang terang benderang” sehingga “Menjadi lupa jagatnya sendiri”. Sampai hari ini 30 tahun lebih setelah esai itu dibikin kondisi masyarakat kita masih tetap saja seperti itu. Kebelinger dengan kota Batavia yang dulu hanya berisi sawah dan kampung-kampung melarat.

Mengapa Jakarta? “Harus Jakarta” kata bung Karno suatu saat di lapangan Ikada. “Soviet punya Moskwa, Jerman punya Berlin dan kita harus punya Jakarta” ujarnya. Dalam jagat jawa sebuah pusat kota harus mererepsentasikan elemen kedigdayaan. Alun-alun dengan pusat pemerintahan, pusat keagamaan, dan juga pusat hiburan. Di Jakarta semuanya ada kecuali hati nurani. Ah terlalu berlebihan. Barangkali benar, tapi bukan di desa Sekarputih kampung saya, seorang pemuda membakar diri dan pemimpinnya cuek saja….

Jika tak ada kebutuhan yang benar-benar perlu saya enggan untuk hadir di Jakarta. Saya merasa tercekik oleh wajah-wajah lelah, hampir seperti pucat mayat, yang baru saja pulang bekerja. Mereka adalah gambaran sekrup dari sebuah mesin raksasa bernama Jakarta. Mesin rakus yang menelan begitu banyak dan memberi terlalu sedikit. Manusia-manusia tadi bergerak secara mekanik. Berpindah dari satu kubikel ke kubikel lainnya. Rumah, kendaraan umum, kantor dan kelak barangkali liang kubur.

Dari 8.75 juta warga kota Jakarta tercatat 110 kasus kematian terjadi setiap hari di Jakarta.

Dalam film dokumenter yang memukau dari sineas Ucu Agustin, berjudul the Death in Jakarta kita akan berjumpa pada fenomena Tunawan, manusia-manusia asing yang mati tanpa identitas dan larut hilang. Mereka adalah manusia-manusia yang dulunya pernah hidup dan memiliki keluarga (barangkali hidup bahagia?) menjadi seonggok mayat yang tak jelas. Lantas atas nama kemanusiaan yang setengah hati mereka dikuburkan secara masal tanpa epitaph dan identias.

Barangkali benar kematian di Jakarta hanya sebuah statistik dingin yang terlalu sering terjadi. Dalam film ini. Kematian, sebagai suatu ritus penting dalam siklus manusia, menjadi sebuah keseharian yang menjemukan. Ia jadir tak lebih dari sebuah jadwal dan pekerjaan yang menuntut para pelakunya untuk tanggap bekerja. Hampir tanpa emosi. Seolah-olah peristiwa hilangnya nyawa adalah laku hidup sehari-hari tak lebih dari makan, tidur, dan berak.

Dalam sebuah adegan tergambar bagaimana dua jenazah bayi diletakan di atas ubin yang berlapis plastik. Tak ada tangisan, tak ada doa-doa, tak ada ritus yang kudus. Semua dilakukan dengan datar dan dingin. Jangan harapkan sebuah emosi akan tampak pada setiap petugas yang melakukan pekerjaan pengurusan jenazah. Bukan karena mereka manusia keji tapi barangkali, seperti sajak Chairil sudah terlalu banyak “Duka maha tuan bertakhta.” Sehingga tak ada lagi emosi yang tersisa.

Dalam satu esai panjang yang ditulis oleh Jaques Derrida tentang bagaimana sebuah kematian menjadi ritus pengorbanan. Melalui esai berjudul Beyond: Giving for the Taking, Teaching and Learning to Give, Death, filsuf Perancis ini mendedah upaya romantisme “Rela mati untukmu” sebagai sebuah fenomena murahan yang tak penting. Kematian, menurutnya, adalah sebuah prosesi tunggal yang tak akan pernah bisa ditiru oleh masing-masing individu. Ia adalah laku sakral yang subtil. Tapi apa yang menjadi pemikiran serius filsuf Prancis ini bisa menjadi sebuah olok-olok yang tak lucu di Jakarta.

Melalui film ini Ucu Agustin juga membongkar bagaimana praktik licik mafia jenazah.

Dalam peraturan resmi Kantor Pelayanan Pemakaman Jakarta, setiap penggali kubur diberikan upah penggalian sebesar 150ribu rupiah. Namun pada praktiknya para pekerja itu mendapatkan tak lebih dari 75ribu rupiah. Sementara sebuah blok makam bisa diperjual belikan dengan melobi secara langsung penggali kubur. Padahal secara legal peraturan yang ada memberikan kemudahan (semestinya) dengan aturan dan takaran tertentu bahwa sebuah mayat bisa dikuburkan pada petak-petak dengan kategorisasi tertentu.

Kita akan melihat fragmen dimana penggali kubur dengan mudahnya merusak atau menghancurkan makam yang tak membayar uang sewa. Lantas menindih kuburan tadi dengan jenazah baru. Kondisi makam menahun yang tak terawat melahirkan masalah baru. Retribusi liar semacam perawatan makam yang praktiknya diselewengkan. Padahal seharusnya hal ini dilakukan secara kolektif oleh pemerintah dan keluarga mendiang.

Saya dibuat terkejut oleh kejelian sang sutradara dalam menggali data dan informasi yang begitu lugas. Detail-detail kecil namun menohok seperti perbandingan antara kematian seorang anggota keluarga dan tunawan, menjadi sebuah epresentasi bias penghormatan manusia pada jenazah. Yang satu diantar menuju pembaringan terakhir dengan tangis pilu dan doa. Yang lainnya mesti berlalu sebagai sebuah benda kiriman dengan sunyi.

Tapi apakah benar? Tak ada lagi kemanusiaan tersisa di Jakarta?

Tidak juga. Ada sebuah fragmen adegan yang membuat saya tergigir nyilu. Ketika sang petugas kamar mayat RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, memberikan penghormatan akhir pada jenazah tanpa nama dengan melakukan sholat ghaib. Juga ketika satu jenazah bayi dikuburkan seorang penggali kubur memberikan adzan kepada si jabang bayi. Orang asing seringkali bisa lebih manusiawi daripada orang yang kita kenal bertahun-tahun.

Menonton Death in Jakarta mau tak mau saya mesti mengingat sebuah sajak masyur dari mendiang WS Rendra yang ia tulis Februari 2009. Sajak yang secara sederhana menampilkan kondisi kekinian dari Jakarta. Ia begitu sederhana namun begitu pula rumit. Tapi itulah Jakarta, di kota ini kemanusiaan barangkali hanya bisa ditemukan disudut-sudut paling tak terduga. Ia hadir seperti doa yang telat dikabulkan.

Doa Di Jakarta

Tuhan yang Maha Esa,
alangkah tegangnya
melihat hidup yang tergadai,
fikiran yang dipabrikkan,
dan masyarakat yang diternakkan.

Malam rebah dalam udara yang kotor.
Di manakah harapan akan dikaitkan
bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?

Dendam diasah di kolong yang basah
siap untuk terseret dalam gelombang edan.

Perkelahian dalam hidup sehari-hari
telah menjadi kewajaran.

Pepatah dan petitih
tak akan menyelesaikan masalah

bagi hidup yang bosan,
terpenjara, tanpa jendela.

Tuhan yang Maha Faham,
alangkah tak masuk akal
jarak selangkah
yang bererti empat
puluh tahun gaji seorang buruh,
yang memisahkan
sebuah halaman bertaman tanaman hias

dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.
Hati manusia telah menjadi acuh,
panser yang angkuh,
traktor yang dendam.

Tuhan yang Maha Rahman,
ketika air mata menjadi gombal,
dan kata-kata menjadi lumpur becek,
aku menoleh ke utara dan ke selatan -
di manakah Kamu?

Di manakah tabungan keramik untuk wang logam?
Di manakah catatan belanja harian?
Di manakah peradaban?

Ya, Tuhan yang Maha Hakim,
harapan kosong, optimisme hampa.
Hanya akal sihat dan daya hidup
menjadi peganganku yang nyata.

*Ditulis pada 13 Desember 2012.

--

--

dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?