Menganggur

dhani
4 min readNov 29, 2020
To annihilate the self-hood of deceit & false forgiveness from Milton: a Poem, To Justify the Ways of God to Men by William Blake (1752–1827). Original from The New York Public Library. Digitally enhanced by rawpixel.

Tahun ini saya dirumahkan sebanyak dua kali. Keduanya karena alasan pandemi. Saat ini saya berusia 33 tahun, tak lagi muda tentu saja, dan menganggur. Label terakhir demikian mengerikan, di masyarakat yang mengukur segala sesuatu dari produktivitas, pekerjaan, dan kemampuan memberi nafkah, menjadi pengangguran jelas bikin siapapun cemas dan resah.

Saya tak diam saja. Berulang kali, memanfaatkan linkedin dan beberapa situs penyedia informasi lowongan pekerjaan, saya melamar. Hingga hari ini lebih dari 20 surat lamaran saya kirim tak ada satupun yang berhasil. Cemas? Jelas. Khawatir? Pasti. Patah semangat? Belum dan semoga tidak akan.

Kebanyakan lowongan pekerjaan yang saya inginkan mensyaratkan usia di bawah 30 tahun atau fresh graduate. Tak ada yang salah dari syarat ini. Setiap perusahaan punya kebutuhan dan syarat tersendiri dalam menerima pekerja. Pandemi membuat banyak orang kehilangan pekerjaan dan sedikit sekali lowongan yang mampu menyerap para korban PHK ini.

Usia memang jadi pertimbangan penting. Banyak perusahaan tidak mau merekrut orang dengan pengalaman terlalu tinggi. Mungkin mereka berpikir orang dengan pengalaman tinggi akan minta bayaran mahal. Saat ini, punya pekerjaan itu sudah cukup. Kamu tak perlu takut besok akan melamar kerja di tempat lain dan takut tabunganmu habis. Lalu bagaimana dengan orang seumuran saya yang berada di antara? Tua ngga terlalu, muda juga bukan.

Memulai lagi pada usia 33 tahun dengan pengalaman lebih dari satu dekade dan banyak karya tak membuatmu mudah mendapat pekerjaan. Orang menganggapmu over qualified. Saat ini kami yang berada di antara ini harus bersaing dengan angkatan muda kerja yang baru lulus untuk bisa masuk dalam lowongan yang tidak seberapa.

Di Linkedin saya melihat orang-orang yang telah berbulan-bulan tidak mendapat pekerjaan setelah dipecat. Mereka menulis promosi dengan harapan, sembari terus mengembangkan diri, berharap keterampilan yang dimiliki bisa menarik penyedia kerja dan merekrut mereka. Harapan-harapan ini yang barangkali membuat saya jadi malu. Mereka terus berusaha dan saya hanya meratap.

Linkedin memberikan imaji bahwa setiap orang bisa mendapat pekerjaan, asal mau bekerja keras, asal mau terus menerus mencari, dan tidak lelah mempromosikan diri. Seperti pedagang obat yang menawarkan salep kudis, banyak orang di Linkedin berjiwa gembira. Selalu memandang dunia dari sudut yang terang dan berharap orang-orang di sekitarnya tetap optimis dan positif dalam memandang hidup.

Bagi banyak orang semangat positif, kata-kata mutiara, dan motivasi bisa jadi pemantik harapan. Bagi yang lain ia seperti ejekan, seperti injakan di kepala, dan tonjokan yang tak perlu. Saat ini kondisi remuk, dunia tidak sedang baik-baik aja, dan setiap orang merasa takut, mengapa mereka tak boleh merasakan hal-hal negatif tadi?

Saat punya pekerjaan saya bisa melakukan banyak hal positif. Olah raga, baca buku, menulis, dan memasak. Semua hal ini bisa dilakukan karena saya tahu, nanti malam saat tidur saya masih punya pekerjaan, dan ketika besok bangun pagi saya akan menerima gaji. Ketika kebutuhanmu terpenuhi, kecemasanmu hilang, maka kamu bisa melakukan hal-hal lain yang tak perlu kamu takuti.

Psikolog dan sosiolog yang meneliti dampak depresi besar di Amerika, menyebut bahwa pengangguran merusak kesehatan mental dan merusak tatanan sosial masyarakat. Psikolog menggambarkan hubungan antara pengangguran yang tidak disengaja (misalnya dipecat karena pandemi bukan karena kesalahan) dan kesehatan mental. Mereka yang menganggur mengalami perasaan tidak berdaya, kehilangan rutinitas, dan kecemasan yang konstan.

Mereka yang menganggur merasa kehilangan harga diri yang berujung pada keraguan akan kemampuan hidup dan kecemasan yang tak beralasan. Pengangguran membuat seseorang merasa tidak berdaya, perasaan ini lahir karena mereka tak punya pekerjaan yang bermakna. Perasaan bergantung dari belas kasih ornag lain dan tak bisa memberikan bantuan pada orang-orang tersayang.

Jika ini terus berlanjut, menganggur dalam waktu lama akan berujung depresi. Respon lingkungan juga sangat berpengaruh terhadap persepsi individu terhadap pengangguran. Misalnya mereka yang memojokkan dan menganggap para penganggur ini kurang berinisiatif, tidak mau mencari kemungkinan lain, atau menyebut penganggur sebagai pemalas bisa jadi triger gangguan kesehatan mental.

Di awal-awal masa pandemi saya masih optimis, belakangan optimisme itu meredup dan jadi getir. Ketika durasi menganggur bertambah, beberapa dari kita jadi pesimistik dan tekanan untuk segera bekerja bertambah. Jika tidak mampu beradaptasi mereka akan jatuh dalam ketakutan, kecemasan, keterasinga dan rasa ragu akan diri sendiri.

Keadaan ini akan menjadi berlipat ganda jika kamu punya tanggung jawab keuangan, mengurus istri, anak, keluarga, orang tua dan sebagainya. Ketidakmampuan memenuhi tanggung jawab ini yang membuatmu merasa buruk. Temuan lain menunjukkan mereka yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan karir cemerlang, lebih rentan terhadap gangguan kesehatan mental ketika kehilangan pekerjaan.

Rasa kebanggaan, angkuh, dan kepercayaan diri tinggi hancur berantakan ketika pekerjaan hilang. Kamu lulusan perguruan tinggi ternama, memiliki karir gemilang di perusahan mentereng, pengabdian bertahun-tahun, karya yang luar biasa, lantas saat dipecat, seluruh fondasi hidupmu hancur dan kamu tak tahu harus melakukan apa kecuali meratapi diri sendiri dan mengutuk nasib.

Jika kamu mengalami ini, kamu tak sendiri. Rasakan apa yang harus kamu rasakan. Semoga keadaan akan berganti dan hidupmu pulih. Saya berharap kondisi ini akan membaik dan kamu tak perlu lagi cemas akan hari esok.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet