Memilih

dhani
3 min readNov 19, 2020

Di media sosial aku melihat kerumunan manusia di kafe yang menyediakan live music. Beberapa orang melaporkan kerumunan itu ke polisi, yang lain keberatan kerumunan itu dilaporkan.

“Itu kan berbahaya, bagaimana jika jadi pusat penularan baru,” kata yang melapor.

“Itu kan orang cari makan, jangan membunuh rejeki orang,” kata yang keberatan kerumunan itu dilaporkan.

Pandemi belum selesai dan beberapa dari kita diminta memilih. Tetap di rumah, tidak bekerja, tak punya pemasukan dan terancam kelaparan. Atau nekat keluar rumah, bekerja, dan terpapar virus yang bisa saja berujung dengan kematian. Mungkin bagi mereka yang sudah sangat terdesak memilih nekat bekerja adalah pilihan paling masuk akal.

“Ngga apa saya yang kena penyakit, asal bisa makan, ngga kerja juga mati, ya mending mati saat usaha daripada ngga kerja terus mati,”

Pernyataan di atas terdengar sangat putus asa dan heroik. Tapi itu realitas yang agak abai, jika kita mati sendiri dan tak berpotensi menulari orang lain, ya tak masalah. Saya sadar banyak sekali orang yang kehilangan pekerjaan karena pandemi. Warung, tempat hiburan malam, toko, dan banyak pekerjaan lain yang terpaksa tutup karena ancaman penyebaran virus. Tapi apakah resiko tetap bekerja sepadan dengan beban yang akan ditanggung?

Diam di rumah dan ga punya penghasilan itu menakutkan, tapi lebih menakutkan kalau maksa bekerja lantas tertular. Jika kamu sakit dan memburuk, yang direpotkan bukan cuma keluarga, tapi tenaga kesehatan. Jika kamu mati, berpotensi menulari supir pembawa jenazah, mereka yang melakukan pemulasaraan jenazah, dan penggali kubur. Ada mata rantai pekerja yang berpotensi direpotkan, ditulari, dan terancam virus karena kamu memaksa diri bekerja karena takut tak punya penghasilan.

Kita mesti menyadari bahwa diam di rumah, tetap bisa makan, dan hanya khawatir pada penyebaran penyakit adalah kemewahan yang tak bisa dinikmati semua orang. Beberapa dari kita benar-benar harus bertaruh nyawa untuk bisa makan. Mereka yang mengurus penderita Covid, mulai dari dokter, tenaga kebersihan, supir ambulan, pemulasara mayat, hingga penggali kubur. Tak ada yang benar-benar aman dari pandemi ini dan kita semestinya paham ancaman virus ini adalah nyata.

Nyatanya sistem kapitalistik memaksa kita tetap bekerja dalam kantor, hingga muncul kluster-kluster baru wabah. Pekerja yang dipaksa masuk dalam ruangan, mencuri-curi kesempatan, mengakali aturan, sehingga pada akhirnya mereka tertular dan tak mau ambil tanggung jawab. Uang bisa dicari, tapi sekali mati, siapa yang bisa mengganti? Apakah pekerjaan itu akan menghidupi keluarga yang ditinggalkan? Siapa yang mau bertanggung jawab?

Sesama bagian dari masyarakat semestinya kita punya solidaritas. Kita semestinya tidak saling menyalahkan atau mendaku diri paling benar. Mereka yang tetap diam di rumah mungkin punya penghasilan atau tabungan yang membuat kekhawatiran hanya pada wabah. Sementara yang tetap bekerja dipaksa keadaan karena tak punya pilihan, tak punya penghasilan, dan mau tidak mau harus bekerja untuk bisa makan.

Di media sosial sesama warga, sesama masyarakat, sesama individu kita dibuat saling bertikai. Mereka yang khawatir akan pandemi merasa pemerintah diam saja dan tak punya solusi menangkal virus. Mereka yang sudah terdesak merasa pemerintah tak menyediakan solusi bagi kebutuhan dasar yang tak terpenuhi karena menganggur. Kegagapan dan kegagalan pemerintah yang inkompeten memaksa masyarakat harus mempertaruhkan nyawa sendiri untuk memenuhi kebutuhannya.

Kita semestinya tak dipaksa memilih bekerja dengan resiko kematian atau diam di rumah dengan resiko kehilangan pekerjaan. Pilihannya bukan dua. Pilihannya bukan diam di rumah tak bekerja atau keluar maksa bekerja dan terancam penyakit, tapi ada pilihan ketiga, memaksa pemerintah memberlakukan UU Kekarantinaan Kesehatan dan menjamin kebutuhan dasarmu. Jangan mau dibenturkan sesama warga.

Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan warga dalam undang-undang, jika ini dipenuhi maka kita tak akan repot memilih diam di rumah atau tetap bekerja. Yang dimaksud dengan “kebutuhan dasar penduduk”, antara lain, kebutuhan pelayanan kesehatan, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet