Masak

dhani
3 min readJun 28, 2020

Memasak adalah keterampilan minimal manusia untuk bertahan hidup. Setidaknya itu yang kupelajari dari dapur ibu. Ia mengajarkan bagaimana cara menanak nasi, membuat sambal, menggerus bumbu, memulai bara tungku, menyiangi ikan, memotong ayam, hingga perkara memilih bagian mana yang segar dari kangkung.

Dari dapur ibu aku belajar cara menghilangkan bau prengus kambing, memilih ikan yang segar, membedakan mana jahe, lengkuas, dan kunyit. Atau bagaimana cara memanfaatkan nasi sisa semalam untuk dibuat nasi goreng gurih hanya bermodal mentega, bawang putih, dan bawang merah saja.

Keterampilan memasak adalah kemampuan untuk mengenali potensi dari masaing-masing bahan. Bersiasat untuk menghadirkan hidangan sedap dengan bahan yang kadang hanya seadanya.

Ibu pernah kehabisan gas elpiji dan hanya punya ayam mentah. Ia kemudian membuat bara tungku, membelah paha ayam hingga lebar, membakarnya. Kemudian membuat sambal hanya bermodalbawang merah dan bawang putih yang dicampur garam. Rasanya? Aduhai nikmatnya.

Keterampilan ini terbukti berharga saat pandemi. Aku bersama kawan di kosan kerap memasak untuk menjaga kualitas pangan kami. Pada masa awal penyebaran corona, kami takut untuk makan di luar, sehingga pilihan paling masuk akal adalah memasak sendiri.

Karena beragam latarbelakang, selera, dan cita rasa, masakan kami nyaris selalu berbeda setiap hari. Taleb, kawanku dari Arab Saudi, memasak makanan dengan minim bahan. Biasanya hanya ayam, kentang, terong. Dibuat dengan kayu manis, rempah yang aku tidak tahu bahannya, dan dimakan dengan roti.

Sementara aku memasak apa saja yang aku ingat dari ibu. Sayur oyong, kuah bayam, tumis kangkung, sop, orek tempe, terong balado, sambal terasi, hingga percobaan terakhir mie ayam dengan minyak bawang buatan sendiri. Perkara memasak dan membuat makanan semestinya jadi kegiatan menyenangkan.

Kadang-kadang pagi setelah olahraga, biasanya aku belanja di dekat kosan. Bapak-bapak penjual sayur biasanya sudah menggelar dagangan setiap jam 5 pagi. Masih gelap dan orang-orang berkumpul untuk belanja. Jika beruntung aku bisa dapat udang segar seperempat kilo seharga 18–20rb, tempe 5ribu, dan cabe atau bawang yang menyesuaikan fluktuasi harga pasar.

Beberapa waktu yang lalu aku memasak udang sambal. Mudah belaka. Bawang merah, bawang putih, cabe merah, cabe rawit, serai, jahe, daun jeruk, tomat dan sedikit terasi. Bawang, cabe, terasi dan tomat dihancurkan, lalu ditumis. Masukkan jahe dan serai yang dimemarkan kemudian daun jeruk. Garam dan gula sesuai selera. Dimasak dengan api sedang lalu masukkan udang dan telur putuh jika mau.

Kami makan beramai-ramai, ditambah kerupuk, sayur tumis toge, dan abon kering sisa puasa. Sedap belaka.

Membawa bekal juga butuh keterampilan tersendiri. Ada beberapa makanan yang mesti segera dimakan, jika terlalu lama disimpan dalam kotak bekal cita rasanya akan remuk. Belakangan memprioritaskan pada makanan tumis seperti terong, kangkung, toge, atau labu siam. Makanan goreng juga lebih tahan lama, tapi disimpan dalam kotak akan mengembun dan membuat lauk jadi lembek.

Jika kamu diet, bisa lebih mudah. Rebusan wortel, brokoli, labu siam, kentang, selada, tinggal siram dengan minyak bawang putih, sedikit lada, dan garam untuk rasa. Atau bisa juga bumbu jadi kewpi juga mantab untuk sayur mentah seperti selada, timun, dan tomat ceri. Ada banyak cara membuat bekal yang yahud.

Memasak juga bentuk kasih sayang. Saat aku membawa pulang makanan dari luar, sementara ibu memasak, biasanya dia marah. Merasa bahwa kerja kerasnya tidak dihargai. Pada lain waktu, saat kuliah ketika pulang libur semester, ibu memasak makanan khusus yang kusuka. Ikan merah yang digoreng kering dengan sambal terasi yang banyak perasan jeruknya.

Memasak semestinya kegiatan menyenangkan. Selain memberikan kepuasan karena bisa membuat sesuatu secara mandiri, melihat orang lain menyukai apa yang kita masak adalah kebahagiaan itu sendiri. Makanan memang terasa paling enak saat dibagi, terutama jika dibagi pada orang yang kita sayang. Entah suami atau ibu sendiri.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet