Malu/Pemalu

dhani
3 min readNov 12, 2020
Apollo on the Clouds (1688–1698) by Johan Teyler (1648–1709). Original from The Rijksmuseum. Digitally enhanced by rawpixel.

“Jika kamu masih punya malu,” kata bapakku dulu, “Kamu harus tahu hal yang penting diperjuangkan.”

Aku tumbuh dengan mengidolakan dan membenci bapak sekaligus. Pada usia lima tahun bapak minta ijin ibu, mengajakku untuk membeli buku. Setelah pulang dari satu-satunya toko buku di kota kami, bapak membawaku bertemu temannya. Setelah memberiku martabak dan memutar dragon ball di TV, bapak masuk ke dalam kamar bersama temannya. Bertahun kemudian aku baru menyadari bapak selingkuh dan menggunakan aku sebagai alasan.

Aku tidak tahu bagaimana merespon ini. Apakah malu atau marah? Apakah dendam atau menyadari bahwa bapak memang sejak awal tidak sempurna? Aku baru menyadari apa itu aib ketika mengenal malu. Kukira malu lahir karena ketidaksempurnaan atau kegagalan menjadi mapan. Kamu tahu? Malu kenapa memakai baju lungsuran kakak, malu memakai sepeda bekas, malu ketika orang tua selalu dipanggil ke sekolah karena telat bayar uang sekolah, bagiku malu nyaris selalu sinonim dengan kemiskinan.

Hari ini aku menerjemahkan aib sebagai sikap buruk yang lahir dari kegagalan menjaga martabat diri. Aku tak pernah malu lahir dari keluarga miskin, aku malu karena miskin membuatku menunduk dan tak berani menyuarakan suara sendiri. Aku tak malu mengakui kesalahan, aku malu menyembunyikan kesalahan dan tak mengubah perilaku. Aku tak malu gagal, aku malu ketika gagal, malah menyalahkan orang lain dan tidak memperbaiki diri sendiri.

Hari ini aku sadar kemiskinan atau kegagalan bukan aib yang perlu ditutupi. Kerap kali rasa takut akan kemiskinan atau kegagalan bukan dari rasa malu, tapi perisakan yang dialami setelah orang lain mengetahuinya. Aku pernah mengalami keadaan dimana tak punya teman saat SMA karena tak punya motor. Bertahun kemudian aku menemukan teman-teman yang sebaya, yang senasib, dan menerima bahwa memiliki motor bukan syarat mutlak persahabatan.

Aku tumbuh dengan meyakini kemiskinan adalah aib. Pengangguran adalah bentuk dosa paling keji dan produktivitas adalah ukuran kepatutan. Aku takut sekali jadi miskin, takut sekali menganggur, dan selalu ingin melakukan sesuatu. Aku melihat bagaimana keluargaku dihina karena jatuh miskin, kakakku dianggap benalu karena tak bekerja. Perlakuan semacam ini membuatmu membenci kemiskinan dan bersumpah akan membalas perlakukan orang lain dengan menjadi sombong ketika punya uang.

Tak ada yang tahu siapa yang menanamkan rasa malu tadi. Ibuku tak pernah memintaku untuk kaya, ia memintaku untuk rajin ibadah. Bapakku tak pernah minta aku untuk jadi pekerja, ia memintaku untuk tak lupa keluarga. Maka telunjuk kuarahkan pada mereka yang menghina kemiskinanku. Menganggapku memalukan karena tak pernah ganti baju ketika nongkrong, memakai baju yang itu-itu saja, pakaian yang dibeli setahun sekali ketika lebaran. Tapi siapa yang mengajarkan mereka untuk menganggap kemiskinan sebagai aib?

Aku belajar bahwa kemiskinan membuatmu dikucilkan, membuatmu dijauhi, hingga pada akhirnya kamu membenci diri sendiri. Aku belajar kemiskinan dan segala yang menyertainya dianggap sebagai penyakit, karena beberapa orang melarang keluarganya berinteraksi dengan kemiskinan. Mereka dianggap pemalas, pencuri, dan penipu. Kemiskinan membuat seseorang jadi kriminil tanpa pengadilan. Apa yang membuat mereka berhak menghakimi seseorang berdasar hartanya?

Aku tumbuh menemukan orang-orang yang menerima bahwa kemiskinan adalah kondisi yang bisa diatasi. Kemiskinan juga lahir dari sikap rakus orang yang tak mau berbagi. Kemiskinan adalah keadaan yang dipelihara, dieksploitasi oleh orang gila ketika pemilu. Aku lantas menciptakan kebencian yang lain, mereka yang menciptakan kemiskinan dan membuat orang lain tak bisa keluar dari neraka itu.

Bapak mengajarkanku untuk punya rasa malu. Setelah apa yang ia lakukan dulu, belakangan bapak lebih sering diam di rumah. Beribadah dan mengingat dosa-dosa yang dilakukan. Tapi tak pernah sedikitpun ia malu karena jatuh miskin atau berakhir miskin. Ia lebih malu karena tak bisa bekerja dan menganggur Lebih malu gagal menjadi ayah bagi anaknya, lebih malu karena gagal memenuhi kebutuhan anaknya, hingga pada akhirnya mesti bergantung belas kasih saudara dan keluarga.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet