Maemunah Thamrin

dhani
6 min readMar 7, 2024
Girl Carrying a Basket (1882) by Winslow Homer. Original from The National Gallery of Art. Digitally enhanced by rawpixel.

Tulisan ini dibuat pada 2011 dengan perbaikan dan sedikit koreksi.

8 Januari, hari Sabtu, 2011 saya mendengar kabar kematian Maemunah Thamrin. Istri dari almarhum Pramoedya Ananta Toer, saat itu saya kaget sekali. Sesaat setelah memanjatkan doa, kabar itu saya teruskan di Twitter dan Facebook. Saya pribadi tidak mengenal Maemunah Thamrin secara langsung. Karena ia bukanlah sosok pesohor yang dikenal luas oleh publik.

Ibu Maemunah juga bukan penyair atau sastrawan, perkenalan saya dengan beliau berawal dari sampul dalam Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu jilid II. Dalam beberapa bagian buku tersebut terdapat fragmen-fragmen yang dituliskan Pram tentang istrinya. Ia menggambarkan Maemunah Thamrin sebagai perempuan dengan kualitas kebaikan dan ketabahan tanpa banding.

Dulu Ibu sering menghardik dan mengingatkan jika saya menangis, jadi manusia jangan menye-menye dan berkualitas sandal jepit. Diam saat diinjak dan putus jika digunakan lari. Maemunah dalam banyak kesempatan, digambarkan sebagai perempuan dengan mental baja, yang mau mengerti dan tabah dalam menghadapi hidup. Pramoedya Ananta Toer boleh jadi dikenal sebagai sastrawan hebat yang berkali-kali dinominasikan sebagai peraih Nobel sastra tapi tak banyak orang yang tahu, jika pada awal-awal kehidupan sebagai penulis nasibnya tak lebih baik dari anak jalanan. Miskin dan sakit-sakitan.

Kehidupan Pram yang keras dan susah ini, digambarkan dari karyanya Cerita Dari Blora dan Bukan Pasar Malam. Barangkali inilah alasan kerasnya pendirian Pram dalam hidup, ditempa oleh pengalamannya semasa hidup. Ini juga yang mungkin oleh Istri pertamanya salah ditafsir dan dimaknai sebagai hidup yang tak berguna dan sengsara.

Dalam beberapa kesempatan Pram menggambarkan istri pertamanya dengan kurang baik. Seperti “merongrong suaminya karena kurang keras bekerja” atau dalam Bukan Pasar Malam “mata yang dulu bagus dan yang kini tak menarik hatiku lagi itu”. Gambaran-gambaran ini akan ditemukan dalam karya Pram, kita hanya perlu jeli siapa dan bagaimana ia menggambarka karakter-karakter di dalamnya.

Berbeda dengan istri pertama, cara Pram menulis tentang Maemunah, begitu santun, kasmaran, dan sangat centil menggambarkan perempuan itu sebagai Istri yang sempurna. Kepada putri keempatnya Astutiek atau Tieknong, dalam sebuah surat, Pram menceritakan awal pertemuannya dengan Maemunah.

Saat itu Maemunah menjaga stand buku Toko Gunung Agung. Dalam sebuah fragmen Pram berkata “Pertemuan dan perkenalan dengan ibumu membikin semangat hidupku bangkit kembali. Dengan dia aku akan hidup.” Sebelumnya Pram yakin bahwa ia akan mati sebelum umur 30, namun kini ia menemukan bara kehidupan baru. Seakan hidup Pram yang kedua dimulai pada saat ia bertemu dengan Maemunah.

Saat berkenalan dengan Maemunah ternyata Pram tidak mengetahui perihal siapakah Haji Abdulah Thamrin, Ayahanda Maemunah yang juga saudara dari M.H Thamrin. Apalagi perihal kekayaan Ayahanda Maemunah yang banyak memiliki rumah di Jakarta saat itu. Maemunah pun tampaknya tidak begitu peduli dengan materi, karena dengan Pram ia tidak berbagi cerita tentang kekayaannya.

Barangkali itu pula yang membuat Pram jadi Kasmaran. Dalam hal ini Pram menggambarkan perasaannya “Seakan-akan kami berdua bertemu sebagai orang yang tak punya sangkut paut dengan apapun. Hubungan kami Polos, tanpa sesuatu syarat, suatu hubungan yang sederhana, indah tanpa Pretensi.”

Dalam banyak kehidupan penulis dan pengarang besar, peran seorang istri memang sangat luar biasa. Bahkan beberapa penulis mengabadikan kisah pertemuan dengan istrinya dalam suatu cerpen atau novel, dan kisah itu malah jadi suatu magnum opus. Sebut saja James Joyce dengan istrinya Nora yang kemudian melahirkan Ulysses atau Tolstoi dan Sofia Tolstaya istrinya dalam kisah Kazak dan Penyerbuan.

Pram sendiri kemudian mengabadikan kisah pertemuannya dengan Maemunah kedalam cerpen ‘Sunyi Senyap di Siang Hidup,’ sayangnya saya belum beruntung untuk dapat membaca karya tersebut. Kehidupan mereka bukannya lancar jaya atau indah seperti kisah Cinderella. Malah mungkin sangat dramatis, lebih dramatis dan emosional daripada cerita-cerita bikinan Punjabi.

Kehidupan mereka menggambarkan kehidupan kebanyakan orang Indonesia pada tahun 50–60an. Keras dan sulit dalam menghadapi kehidupan sebagai warga negara yang baru merdeka. Ajip Rosidi yang dekat dengan keluarga Pram menggambarkan kehidupan pengantin baru itu dengan sangat detil, ia berkata “Saya sering mengunjungi Pram dan Maemunah di rumah petaknya…hanya satu ruangan tidur…dapur, berlantai tanah. Bagian depan rumahnya memakai Ram kawat…yang biasa dipakai untuk kandang ayam.” Bukan kehidupan yang ideal bagi pasangan baru menikah, saya sendiri tidak yakin bisa hidup semacam itu.

Ajip Rosidi juga mengagumi sikap menerima dan ikhlas yang dijalankan oleh Maemunah dalam menghadapi kualitas kehidupan seperti itu. Ia berkata “namun tidak pernah terdengar ia mengeluh karena memilih pengarang melarat sebagai suami.” Karena perlu saya dan anda catat, saat itu Maemunah adalah putri seorang juragan tanah yang kaya raya dan memiliki banyak aset.

Maemunah tidak menuntut banyak kepada Pram, ia juga menerima sikap keras kepala dan idealis Pram yang tidak mau menerima belas kasihan orang tuanya, malah memberikan kebebasan sepenuhnya para Pram.

Setelah menikah dengan Maemunah, kehidupan Pram yang berantakan pasca bercerai dengan istrinya boleh dikatakan semakin membaik. Ia mulai makan dengan teratur meski hanya nasi dan lauk garam. Mulai mampu memperbaiki rumah petaknya itu. Mampu mengganti kendaraan dengan lebih baik. Lalu akhirnya mampu membangun rumah sederhana meski dengan bantuan Haji Thamrin ayahanda Maemunah.

Maemunah dengan kesabaran besar mendampingi Pram melewati itu semua. “Maemunah menemaniku melewati kemiskinan yang luar biasa” kata Pram pada anaknya yang sekaligus menepis anggapan bahwa Maemunah telah merebut Pram dari keluarganya.Maemunah sendiri adalah sosok perempuan sederhana yang tidak neko-neko. Setiap hari ia bekerja selayaknya ibu rumah tangga.

Maemunah kerap kali hanya diam dan diam saat kondisi rumah tangganya dengan Pram sedang mengalami kesulitan hidup. Meski susah ia tetap mencuci pakaian milik Pram dua kali sehari, memasak, dan merawat anak-anak Pram tanpa sekalipun tercatat ia pernah menuntut atau marah terhadap kondisi keluarga. Dari akun FB salah satu murid Pram, Muhidin M Dahlan, saya membaca bahwa Maemunah atau yang ia biasa sebut sebagai ‘Oma’ malah pernah berkelakar “Pram nggak boleh tahu dan ngurusi soal dapur”.

Setelah membaca buku Pram Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, saya baru menyadari peran Maemunah. Ia adalah semangat hidup dan mercusuar keyakinan Pram. Lastmi Pamuntjak malah menuliskan jika “Kehadiran Maemunah Thamrin yang setia, tabah dan manis budi, bagi Pramoedya bagaikan matahari yang terbit di ufuk timur itu”. Yang saat berada dalam penjara di Roemah Tahanan Chusus (RTC) Salemba, Maemunah menemani dengan begitu sabar.

Bahkan saat mengalami pengasingannya di pulau Buru, Pram yang seorang individualis tulen itu, meminta agar Maemunah menikah lagi dan rela menceraikannya. Karena Pram sadar betul, dalam pemerintahan fasis Soeharto, entah kapan ia akan bebas. Jawaban yang diberikan dan sikap yang ditunjukan oleh Maemunah sangat mengiris-iris hati. Lebih mengharukan daripada momen dimana Nurdin Halid memutuskan mundur dari PSSI.

Maemunah dengan telaten merawat ke anak-anaknya, meski ia tahu ia bersuamikan orang yang dicap sebagai antek PKI. Dalam surat Tieknong kepada Ayahnya di Pulau Buru, tanpa sengaja ia menceritakan betapa heroiknya Maemunah. Bahwa Ibunya itu menuntut agar Tieknong terus belajar keras, sehingga bisa sekolah di Sekolah Asisten Apoteker, bahwa kelak jika memiliki uang, Tieknong dan Yudi bisa berangkat ke pulau Buru untuk menjenguk Pram.

Ibunya dengan lembut melindungi fakta penangkapan Pram dengan penjelasan yang masuk akal, dan meyakinkan pada Tieknong dan adik-adiknya ia tak perlu malu menjadi anak Pram malah seharusnya Ia bangga. Buat saya itu adalah sikap paling manis dan sayang ibu paling hebat sepanjang masa.

Dan inilah saya mengenang ‘Oma’ yang tidak pernah saya kenal dan temui. Hanya merasakan rasa cinta dan kedekatan yang begitu rupa karena gambaran kecil melalui tulisan-tulisan yang ada tentangnya. It doesn’t need to know someone to feel sad, that is why it is called empathy, kata Al Pacino dalam film Frankie and Johnnie.

Kehidupan adalah kefanaan dan proses menyiapkan diri untuk menuju kematian. Setidaknya itu menurut saya, bukan menjadi fatalis. Hidup Maemunah Thamrin sebagai pendamping dan ibu dari anak-anak Pramoedya Ananta Toer telah selesai sudah. Dan yang tertinggal hanya kenangan kisah hidup seorang wanita biasa yang dicintai dengan sempurna. Sesederhana itu obituari ini dibuat. Hanya sekedar tulisan pendek dari segala yang telah terjadi dalam hidup Maemunah Thamrin.

Dan malam di luar terus juga menelan umur manusia.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet