Aku ingin tetap punya semangat. Aku ingin tetap hidup dengan kepala tegak. Tapi hari kehari, aku dipaksa kalah, dipaksa menyerah, dipaksa bertanya; apakah ada hari yang lebih baik?
Aku memeriksa bagasi ingatanku, apa yang membuatku selalu merasa bersedih? Yang kutemukan adalah perasaan-perasaan bersalah karena membiarkan diri sendiri diinjak. Menyadai bahwa selama ini aku hidup untuk menyenangkan orang lain. Kukira ini yang membuatku kadang lupa cara menghargai dan menikmati hidup. Aku sibuk membuat orang lain senang, berusaha mencari tempat di lingkar hidup mereka, dan melupakan kesenangan sendiri.
Belakangan setelah jarang bertemu dengan teman, jarang bertemu dengan orang asing, dan tak punya pacar, aku menyadari bahwa hidup ini terasa kosong. Kegetiran, kebosanan, dan rasa lelah yang tak ada sebabnya ini pelan-pelan menemukan titik terang. Bahwa selama ini aku menekan segala perasaan sendiri, perasaan cemas, perasaan takut, dan perasaan kecewa. Sehingga saat tak lagi pura-pura, di hadapan cermin, aku melihat diriku sendiri sedang telanjang dan aku tidak baik-baik saja. Aku berantakan.
Aku tak lagi berpura-pura, aku sedang menjadi diriku yang sebenarnya. Tidak berusaha menyenangkan orang lain, tidak sedang memakai topeng agar diterima orang lain, dan tidak sedang belagak baik baik saja. Saat kamu melepas semua topeng, semua kostum, semua make up yang dipakai untuk bersandiwara, kamu akan merasa lemah, merasa tak berdaya, tapi ini langkah pertama untuk sembuh. Yaitu mengakui bahwa kamu butuh bantuan dan kamu tak lagi mampu bertingkah dengan kebohongan dan menganggap segalanya baik-baik saja.
Belakangan aku merasa tubuhku seperti lempung yang disiram air. Jadi lembek dan menjadi gumpalan lumpur yang tidak tahu cara untuk bangkit. Kamu hanya tahu cara berpura-pura, seumur hidup aku berusaha menyenangkan orang lain, berusaha menyukai apa yang orang lain suka agar bisa diterima, membahas apa yang ramai dibicarakan agar dianggap wajar dan baik-baik saja, kini saat pandemi, tak ada lagi manusia yang bisa dibikin kagum, dibikin terpukau, aku hanya punya satu wajah di muka cermin. Wajahku sendiri yang tak mungkin bisa kutipu.
Aku lantas ingat sebuah peristiwa menggelikan ketika SMP dulu. Saat kami duduk di halaman sekolah, menunggu masuk kelas, teman-temanku bicara soal musik yang mereka suka. Seorang temanku bicara tentang album terbaru Limp Bizkit, yang lain bicara tentang Korn, dan musik metal seperti Megadeth atau Slayer. Sementara di tasku, ada kaset band romantik terbaik Indonesia sepanjang masa, Bragi. Aku malu sekali, takut dianggap cemen karena menyukai musik balada, band yang disukai perempuan.
Sekolah mungkin rimba belantara yang penuh tukang jagal dan manusia-manusia keji. Seorang teman yang keceplosan mengaku menyukai Siti Nurhaliza dan Rita Sugiarto, ia jadi korban olok-olok dan dianggap banci karena suka dangdut. Berbeda denganku, dengan kepala tegak ia mengaku tak peduli, musik baginya adalah seni yang membuat manusia bahagia. “Lho aku suka kok, hakmu apa ngatur-ngatur aku?” katanya dalam bahasa Madura.
Keesokan harinya membeli majalah Hai, majalah gitar, dan mencari musik apa yang disukai anak laki-laki seusiaku, hanya untuk bisa bicara dengan teman yang lain. Diam-diam di rumah aku tetap mendengarkan Bragi, tetap mendengarkan Project P, atau Shania Twain. Aku mengunci rapat selera musikku di kamar hingga kuliah, teman-temanku tak tahu jika aku menyukai Avir Lavigne, Michelle Branch, atau Utada Hikaru. Di hadapan mereka aku adalah Dhani yang menggemari System of A Down, Rage Against The Machine, dan Linkin Park.
Jangan salah, aku menyukai band-band keras tadi, tapi jika hidup terlalu brengsek, terlalu pedih karena jatuh cinta dan tak berbalas, aku mendengarkan Utada Hikaru — First Love, mendengarkan Michelle Branch — Everywhere ketika aku butuh semangat mendengarkan. Aku memakai topeng dan memakai kepribadian yang lain. Bertahun-tahun bertingkah dengan kebohongan membuatku demikian lelah. Pelan-pelan kemampuanku berpura-pura meredup dan aku kehilangan kemampuan untuk baik-baik saja dan itu tak apa. Aku tak harus selalu kuat.