Lima Puisi untuk Indonesia

dhani
4 min readApr 27, 2021

Dulu, saya percaya bahwa puisi dapat menyelamatkan peradaban. Kita sebagai manusia hanya perlu duduk sebentar, mendengar, dan meresapi kata demi kata dalam puisi. Merenungi setiap makna yang tersirat dalam sebuah stanza. Lalu merefleksikan kata tersebut dalam dirinya sendiri.

Tapi saya salah. Umat manusia tak akan pernah berubah hanya karena puisi.

Dahulu bapak pernah bercerita, Umar ibn Khatab yang mahsyur itu. Luluh hatinya dan menangis seperti kanak-kanak. Karena jatuh cinta pada ayat-ayat dalam Al Quran, khususnya At Thaha. Hingga tanpa sadar ia berkata “Betapa indah dan mulia kata-kata ini,” katanya.

Bapak selalu berkata bahwa semua pemimpin dan kalifah besar dalam Islam adalah seorang penikmat puisi. Umar sebelum jadi muslim dikenal sebagai pecinta puisi di Mekah. Dari beberapa bacaan saya juga mengetahui jika Santo Fransiskus dari Asisi dan Fransis Bacon juga menikmati puisi.

Mereka adalah orang yang tercerahkan oleh puisi. Orang yang berani mencari tahu dan belajar bertafakur meresapi sajak-sajak sebagai pesan yang tersembunyi. Sayangnya tak semua manusia demikian. Beberapa manusia terlalu malas, dan seringkali, menganggap membaca puisi sebagai kegiatan tak berguna.

Bagaimana jika puisi bisa menjadi representasi negara? Bagaimana jika puisi bisa menunjukkan bopeng sebuah bangsa? Indonesia belakangan telah gagal menunjukan wajahnya yang indah. Indonesia seperti seorang ibu yang kelelahan melihat pertengkaran anak-anaknya yang saling menginjak.

Saat menulis ini saya terpikir soal apa saja puisi yang bisa bicara tentang Indonesia. Karena seringkali tanpa kita sadari, memaknai Indonesia sama dengan jawa. Banyak puisi yang dikenal dan diperkenalkan bercerita tentang jawa. Jarang sekali puisi yang mampu berbicara tentang Indonesia secara universal.

Akhir-akhir ini pula saya mengalami kegelisahan yang begitu hebat. Tentang kondisi bangsa ini yang semakin hari semakin keruh, panas dan gelisah. Kebencian dan kecurigaan menjadi sesuatu yang biasa. Kekerasan adalah bahasa sehari-hari. Hal ini mau tak mau membuat kita meyakini bahwa Indonesia tak lagi butuh puisi. Ia lebih butuh suatu konseling serius.

Tak mudah menyusun puisi ini. Karena rupanya banyak penyair yang bukunya saya miliki adalah orang yang tinggal di Jawa. Saya takut menjadikan kumpulan sayak yang dipilih adalah tentang jawa dan bukan tentang Indonesia. Tapi ya sudahlah ya?

Inilah beberapa kumpulan Penyair dan Sajak yang saya pikir bisa merepresentasikan Indonesia saat ini.

Goenawan Mohamad — Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum

Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan
Liang luka yang lebih.
Bayang-bayang bergoyang sibuk
dan beranda meninggalkan bisik.
Orang ini takberkartu.
Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak bertanda gambar
Juru peta yang Agung, di manakah tanah airku?

Puisi ini menggambarkan sebuah teror. Sebuah tragedi yang terjadi menjelang pemilu. Kata-kata yang ditulis naratif dan membangun imajinasi sebuah desa yang sunyi. Lalu gempar karena sebuah penemuan mayat tak bertuan. Permainan diksi tak begitu banyak dilakukan GM saat itu. Namun puisi ini bisa membuat pembacanya menyusun imaji yang lugas. Bahwa sebuah politik bisa menjadi ladang pembantaian.

Puisi ini ditulis GM pada 1971 merupakan kegelisahan bangsa muda yang baru bangkit dari keterpurukan. Pada 5 Juli 1971 Indonesia menyambut Pemilu pertama setelah orde baru bangkit. Saat itu ada 10 partai politik yang ikut serta. Dimana lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.

Abdul Hadi W.M — Doa Untuk Indonesia

Seorang wartawan bisa berkata : Indonesia
Adalah berita-berita yang ditulis
Dalam bahasa yang kacau
Dalam huruf-huruf yang coklat muda
Dan undur dari bacaan mata
Di manakah ia kausimpan dalam dokumentasi dunia?

Saya justru mengenal Abdul Hadi W.M sebagai penulis mengenai sufisme. ia menulis tentang Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa sebagai sebuah telaah yang multi disiplin tentang salah satu pendekatan dalam beragama itu. Hal ini juga tercermin dalam banyak puisinya yang bersifat profetik dan fatalis.

Namun puisinya yang berjudul Doa Untuk Indonesia barangkali salah satu karya Abdul Hadi yang paling baik. Di dalamnya ia berbicara panjang lebar perihal Indonesia. Aforisme dan estetika sajak yang sederhana membuat puisinya membumi. Puisi yang bisa dipahami bahkan oleh para fasis yang tak pernah membaca sajak sekalipun.

Fikar W Eda — Seperti Belanda

seperti Belanda
mereka suguhi kami anggur
hingga kami mendengkur
lalu dengan leluasa mengeruk perut kami
gas alam, minyak, emas, hutan,
sampai akar rumput bumi

Pertemuan pertama saya dengan Fikar terjadi saat Forum Penyair Internasional Indonesia di Surabaya. Bertempat di gedung Cak Durasim, Fikar dengan rambut yang terburai dan suara menggelegar, ia mampu membuat seluruh pengunjung di gedung itu larut dalam sajak yang indah mengenai tsunami Atjeh. Di situ segala identitas luruh menjadi satu. Menjadi kesedihan itu sendiri.

Dalam puisi berjudul Seperti Belanda, Fikar seolah ingin menjadi suara lantang yang menggugat Indonesia (dalam hal ini Jakarta) yang kerap kali bertingkah seperti penipu. Memberikan kita janji-janji, rasa nyaman dan juga kesenangan, namun akhirnya menikam dari dalam. Atjeh, seperti juga Borneo dan Papua adalah bangsa-bangsa yang terlalu sering dikhianati.

John Waromi — Wawini

Para Mambotaran telah melangkahi utara
Anak-anak mereka sedang memanggul panah
dan tombak, menuju timur.
Hari masih subuh.
Saat Ampari, sang kakek renta
menegakkan punggungnya.

John Waromi Papua mengejutkan saya saat ia berkata “Sukarno adalah seorang pemimpin hebat yang keinginannya kerap kali disalahartikan oleh saudara saya di Papua.” Saya terpukau dengan sikapnya yang sama sekali berbeda dengan kebanyakan orang papuia yang saya temui.

Tapi tentu saja John, sebagai seorang penyair dan intelektual, memiliki keberpihakan yang jelas. Dalam puisi yang berjudul Wawini ia menggambarkan kehidupan pastoral di Papua. Tanah yang saat ini tengah dilanda konflik. John dengan cerdas menggambarkan keindahan Papua, yang bukan tak mungkin, pelan-pelan menuju kepunahan.

WS Rendra — Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

Ada sebuah video yang dibuat pada 19 Agustus 1977 di ITB. Seorang lelaki mengisap sebatang lisong. Ia adalah Rendra muda, dengan rambut gondrong dan dada terbuka. Berlatar api yang menggelora si burung merak bicara tentang Indonesia dalam bahasa yang paling sinis. Perihal birokrasi yang busuk, korupsi dan kebebalan aparatus negara yang ogah mengerti.

Sajak Sebatang Lisong yang tersususn dalam Potret Pembangunan bisa menjelma antitesis dari Repelita, GBHN dan juga SDSB. Bahwa pemerintah telah gagal memakmurkan bangsanya. Bahwa pemerintah saat ini hanya diisi oleh tiran tiran medioker yang menghamba pada komprador-komprador raksasa. Dan sepertinya Indonesia sedang di jual murah.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet