Lelah

dhani
3 min readOct 20, 2020
Foto oleh Instagram @ Pujianto

Jarak paling jauh dari perpisahaan adalah jeda setelah menunggu. Kamu tahu? Ketika kamu berusaha memahami, atau menyadari, bahwa hubungan yang kalian jalani sudah selesai, sudah tamat dan tak ada yang bisa diselamatkan darinya. Kamu hanya bisa menunggu perasaan sedih itu lewat, kamu hanya bisa menunggu perasaan getir itu hilang, kamu menunggu dan menunggu, tanpa menyadari bahwa proses itu begitu melelahkan.

Kamu bisa memilih tentu saja. Diam di kamar mengasihani diri sendiri, bergembira bersama teman-teman, mencari tahu dengan meditasi, atau sepertiku berusaha menulis setiap hari tanpa henti. Ada hal yang bisa kamu pelajari dari ketekunan usai kehilangan. Emosi akan membajak isi kepalamu, membuatmu melakukan hal bodoh yang akan kamu sesali nanti ketika pengar itu tiba.

Kamu boleh jadi percaya diri sebagai orang paling rasional di kolong langit, kelak, jika kamu jatuh cinta lalu berpisah, segala logika dan rasionalitas yang kamu miliki hanya sekedar gimmick. Terus menerus berusaha baik-baik saja, atau belagak tidak terjadi apa-apa hanya akan menggerogoti kondisi jiwamu. Kamu tak perlu membendung duka itu sendirian, kamu tak perlu merasakan kepedihan itu sendirian, kamu hanya perlu mencari seseorang yang cukup peduli untuk mendengarkan keluh kesahmu itu.

Pernahkah kamu mendengar cerita orang yang baru saja mengalami tragedi? Ia akan mengisahkan satu cerita yang sama berulang-ulang dari sudut berbeda. Rengekan yang sama, air mata yang sama, pertanyaan yang sama; mengapa ini terjadi? Dan seterusnya. Kamu hanya perlu mencari seseorang yang cukup gila, atau keras kepala, untuk mendengar racauan, kemarahan, dan iba yang kamu bagi setiap saat. Kamu hanya perlu mengeluarkan pedih di dada kirimu.

Hidup mungkin seperti ini. Dikutuk dengan kegetiran yang diulang dengan wajah berbeda. Mungkin kamu ditakdirkan untuk jatuh cinta pada orang yang tak pernah peduli padamu, atau kamu ditakdirkan untuk mencintai seseorang yang tak pernah bisa kamu miliki. Mungkin ada satu nasib yang mustahil diubah. Orang-orang yang dengan keras kepala jatuh cinta dan menolak kpergi. Mereka yang menunggu ketidakmungkinan itu untuk berganti jadi kemungkinan yang sulit. Kamu tahu? Sulit, tapi bukan tidak mungkin.

Aku belajar untuk tidak menyerah pada keadaan dengan cara yang perih. Aku bangun tiap hari dengan membenci diri sendiri. Melakukan banyak hal yang berujung pada perusakan diri. Hingga pada akhirnya aku lelah. Lelah menyakiti diri sendiri, lelah merusak diri, dan lelah jadi beban orang lain. Aku berusaha untuk cari alternatif lain memperlakukan diri. Aku tak mau lelah itu menguasai, mengendalikan, dan menantukan nasibku.

Aku tak bisa mundur ke masa lalu untuk mengubah keputusan yang telah diambil, tapi aku bisa mengubah akhir ceritaku di masa depan. Jika aku tak bisa menerima kepedihan dan tragedi yang telah terjadi, aku hanya perlu memperbaiki yang ada saat ini, memulai sesuatu yang baru, belajar dari apa yang telah rusak, berharap kelak jika dihadapkan dengan persoalan yang sama, daripada jadi orang tolol yang tak belajar, aku bisa mengambil keputusan yang lebih baik.

Saat ini, jika kamu merasa lelah, aku berharap kamu akan menemukan seseorang yang cukup sinting untuk menemanimu dalam hidup yang rumit. Orang yang cukup keras kepala untuk menunggu badai di kepala dan hatimu usai. Seseorang yang menghormati tragedi dan trauma dalam hidupmu. Seseorang yang menghargai penderitaan dan lukamu butuh waktu untuk sembuh. Seseorang yang akan datang dan membawakanmu handuk kering beserta teh panas usai hujan deras.

Seseorang yang akan membagi indomi goreng di tengah malam. Seseorang yang akan mengirimimu teh boba saat makan siang. Orang yang akan mendengarkan gosip tentang betapa tidak kompeten bos di kantormu. Aku berharap kamu tak lagi perlu malu menyimpan bekas luka di tubuhmu. Seseorang yang akan mencium keningmu sebelum tidur. Seseorang yang tahu betapa melelahkannya menunggu. Seseorang yang tahu apa itu lelah usai berpisah.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet