Tujuh bulan lalu aku tak bisa membayangkan hidupku tanpamu. 18 bulan yang lalu aku tak akan membayangkan jadi pengangguran. Tiga tahun yang lalu aku tak bisa membayangkan hidupku melawan perisakku. Hari ini aku bisa bertahan hidup menghadapi perpisahaan kita, kehilangan pekerjaan, dan melawan orang keji yang merisakku bertahun-tahun. Aku percaya waktu bisa membuat kita jadi berbeda, membuat kita lebih pejal, lebih tangguh. Atau mungkin sebaliknya, lebih buruk, lebih lembek, dan lebih sengsara.
Aku pernah berpikir mencintaimu adalah menulis permohonan setiap hari, menuliskan kata yang terasa sesak di dada, memuji dan mengemis perhatian untukmu membalas pesanku. Aku pernah berpikir bahwa cinta adalah puisi yang aku susun untukmu saat menangis, saat aku rapuh, saat kejujuran mengambil alih diriku, tapi kini aku sadar, mungkin itu bukan cinta, itu adalah keputusasaan.
Aku pernah berpikir lari dari masalah adalah cara untuk menjadi waras. Aku pikir berteriak, menangis, dan menghindar adalah cara paling benar untuk menghadapi perisakan. Aku menutup diri dan menghindari konfrontasi karena merasa bahwa dengan diam bisa menyelamatkanku. Aku dulu berpikir mencintai diri sendiri adalah dengan pergi menjauhi konflik. Tapi kini aku percaya jika kamu tak bersalah, jika kamu benar, lawan segala kedengkian yang ditujukan padamu.
Aku dulu percaya bahwa dengan kemampuanku saat ini, segala hal bisa kucapai, aku tak lagi belajar dan merasa diri sebagai sosok yang adipintar. Aku jadi sombong, dungu, dan kemudian disishkan. Aku berkali-kali diberhentikan dan aku mengasihani diri sendiri. Alih-alih belajar, aku mengutuk nasib, pelan-pelan aku berusaha mencari cara untuk berkembang. Aku tak bisa terus tunduk pada kesombongan dan rasa malas, aku bangkit dan memaksa diri untuk belajar lagi, membaca lagi, menulis lebih banyak, dan berpikir lebih dalam.
Aku pernah berpikir bahwa hidupku akan berakhir dengan kegetiran. Bahwa aku hanya debu dari jagat raya yang tidak signifikan, tak punya arti, dan jika aku mati tak akan ada yang peduli. Belakangan aku percaya bahwa hidup ini berharga. Aku punya teman yang mencintaiku, punya keluarga yang menungguku, punya sahabat yang menikmati leluconku, hidup terlalu sepele untuk diakhiri karena kehilangan pekerjaan atau kehilangan cinta.
Berbulan-bulan kemudian setelah aku putus, berbulan kemudian setelah aku kehilangan pekerjaan, bertahun kemudian setelah aku difitnah dan dirisak, aku menemukan tujuan hidupku. Aku menyesali segala hal yang telah lewat, kesalahan, sikap keras kepala, dan kesombongan masa muda yang sembrono, mubazir memanfaatkan kepercayaan dan kesempatan. Aku belajar untuk lebih baik, untuk lebih keras berusaha.
Saat ini aku berusaha untuk melupakan yang telah lewat. Aku tentu tidak akan melupakan kesalahanku. Belajar dari yang tak bisa diselamatkan dan berusaha jadi lebih bijak menerima perpisahan. Aku berusaha untuk memperbaiki apa yang patah, memprioritaskan diri sendiri, belajar untuk tak peduli pada omongan orang, fokus pada pengembangan jiwa untuk jadi manusia yang lebih baik. Aku tak lagi meletakan ekspektasi hidup pada orang lain, aku percaya pada kerja keras dan konsistensi. Mungkin ini caraku melawan kegetiran hidup.
Tentu aku berharap bisa kembali seperti dulu. Punya pekerjaan tetap, punya karir gemilang, punya seseorang yang bisa diandalkan. Tapi aku yang hari ini adalah hasil kerja keras melawan depresi dan kebencian diri sendiri. Aku tak lagi menyimpan kemarahan pada orang lain, pada orang yang menyakitiku. Aku belajar merelakan, sangat sulit, apalagi kamu masih bergulat pada kenangan, pada keinginan, pada harapan yang tak mungkin bisa terjadi.
Tumbuh sepertinya bukan hanya perkara memaafkan. Tumbuh bisa jadi proses merasakan, membiarkan dirimu merasakan amarah pada orang lain, kekecewaan pada orang lain, memiliki harapan pada orang lain, meski pada akhirnya hidupmu hanya milik dirimu sendiri. Kamu pelan-pelan menerima orang yang dulu penting, kini hanya sekedar nama di ponselmu. Kamu menerima satu tanggal yang istimewa, kini hanya satu hari dalam seminggu. Pelan-pelan kamu menerima keadaan ini sebagai upaya untuk maju, upaya untuk dewasa.
Kamu bisa tunduk pada nasib yang buruk. Mengutuk keadaan atau menyalahkan orang lain. Tapi pada akhirnya, saat kamu tidur, segala beban hari ini adalah perkara kamu melawan dirimu sendiri, melawan kemalasan, kecemasan, dan kegetiran yang kamu tumpuk bertahun-tahun silam.