Barangkali ada beberapa hal di muka bumi yang semestinya dibiarkan membusuk lantas dilupakan. Seperti rindu yang tidak digenapi, pesan yang tidak berbalas dan perasaan-perasaan seusai bangun tidur. Terlalu banyak hal remeh yang terlalu kita pikirkan, hingga akhirnya abai membahagiakan diri sendiri.
Seperti dengung suara kerumunan, seperti derik suara kasur yang terseret, juga sisa genangan air usai hujan. Angin yang berhembus membawakan kabar, tentang udara yang bergerak dan sekerat ingatan tentang satu pagi di pantai usai badai besar semalam. Tentang sarapan pagi yang terlalu banyak, tentang pengar mabuk semalam dan juga ulu hati yang nyeri karena telat makan.
Kita diam. Memandang pasir juga ombak yang perlahan jadi membosankan. Mungkin kita sudah sampai pada titik di mana kata-kata sudah tidak berguna, dan bicara sudah terlalu melelahkan. Apa yang kita rasakan saat ini adalah ampas dari sebuah hubungan yang dipaksakan.
Langit dan laut. Dan hal-hal yang tak kita bicarakan.
Perpisahan ini niscaya. Kamu tahu itu. Kita paham ini. Dan berulang kali kita mencoba bertahan atas nama waktu, atas nama cinta, atas nama apapun yang bisa kita gunakan. Tapi kamu tahu, ia rapuh, serapuh alasan kita untuk memutuskan memulai perjalanan ini. Merencanakan perpisahan paling gemilang yang pernah dilakukan sepasang kekasih di dunia.
Kita berencana untuk menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya, sebaik baiknya untuk bersama. Karena hanya waktu yang kita punya, karena hanya kebersamaan yang kita punya, kesementaraan yang telah kita perjuangkan. Semuanya berakhir ketika doa-doa kita membentur dinding besar bernama restu.
Ada hal hal yang pantas diperjuangkan katamu. Tapi ia tidak semestinya menginjak kebahagiaan ibumu. Aku paham ini, kau mengerti ini. Kita sepasang anak ibu yang kebingungan memperdebatkan kebahagiaan masing masing. Lantas memutuskan mengalah sebelum bendera perang dikibarkan. Terlalu banyak hal yang akan terluka jika kita memaksa bersama.
Langit dan laut. Dan hal-hal yang tak kita bicarakan.
Kamu selalu suka laut. Ia adalah jalan pulang segala yang resah, seperti juga ibu. Aku hanya diam. Aku tak pernah suka laut, aku tak suka pedas, aku tak suka gunung, pada dasarnya aku tak suka apapun. Tidak sejak kau dan aku bersepakat untuk memulai perpisahan ini. Aku berusaha untuk tetap tidak memohonmu kembali dan aku tahu kamu sudah pasrah pada keinginanmu sendiri.
Kita menghabiskan sepanjang sore kemarin dengan bergandengan tangan. Menyusuri jejak pantai putih ini hingga ke karang yang paling curam. Lantas berhenti sebentar menikmati senja yang rubuh pada sebuah muara yang airnya bersih dan segar. Kamu masih bisa tertawa meilihat sepasang camar yang terbang. Mirip kita saat bertengkar katamu. Sementara aku terlalu sibuk untuk menepuk lalat yang mulai mengganggu.
Pagi ini kita akan pulang. Pulang ke kota yang kita kutuki keberadaannya. Kota yang membuatmu menjadi tua sebelum waktunya. Kota yang membuatku mudah marah. Setidaknya kita sudah berusaha merayakan sisa waktu yang ada, perasaan terakhir yang kita miliki, sebelum akhirnya pulang sambil memanggul salib masing-masing. Sementara kita pulang, pantai itu menyambut hujan juga angin.
Angin dan hujan. Dan hal-hal yang tak bisa kita relakan.