Naskah ini ditulis pada 2014.
Dulu ketika mengkritik keberadaan pemerintah, Saya coba menolak menggunakan segala fasilitas yang dihasilkan oleh pemerintah. Saya ingin bersetia dengan apa yang diucapkan. Saya pikir negara tidak berguna. Saya menolak membayar pajak, karena dengan membayar pajak berarti mengakui keberadaan negara.
Kemudian saya berpikir, sebenci-bencinya pada negara, sekorup korupnya sebuah negara. Ia masih membayarkan gaji jutaan PNS. Tentu ada PNS yang pemalas dan korup, tapi ada pula PNS seperti guru-guru di pedalaman yang bekerja dengan hati, dokter dokter di pelosok pulau terluar yang bekerja dengan integritas.
Meski menganggap diri kritis, saya toh tak bisa seperti beberapa kawan yang mau jadi guru di pelosok selama bertahun tahun, menjadi dokter dengan fasilitas dan gaji kecil di pelosok. Saya masih hedon, masih suka nonton film terbaru, denger musik terbaru, dan ingin pamer. Maka salah satu kontribusi saya untuk bisa mendukung mereka adalah dengan membayar pajak. Tentu ini bukan satu satunya cara, kita bisa langsung menyumbang mereka dengan buku, obat atau uang yang mereka butuhkan.
Keberadaan negara, apalagi para pemangku jabatannya memang menyebalkan. Tapi dengan adanya negara kita punya sasaran tembak. Ada yang dimintai pertanggung jawaban atas kerja-kerja untuk publik. Pemerintah memiliki peran itu. Kita bisa menuntut pemerintah untuk memperbaiki jalan, meningkatkan pelayanan publik dan juga kualitas pendidikan.
Agak sebal ketika kemudian kelompok kelompok yang menunjukan identitas diri sebagai kiri, anarki atau libertarian. Mengajak orang untuk golput. Mengatakan bahwa negara tidak berguna. Bahwa siapapun yang terpilih nasib kita toh tak akan berubah. Lantas membodoh bodohkan mereka yang menunjukan sikap politiknya.
Saya tak malu melabeli diri sebagai slacktivist, orang yang sok sokan peduli dengan masalah sosial melalui hastag di twitter atau status facebook. Karena sebagai penulis yang gendut dan pemalas, jalanan dan demonstrasi adalah hal yang saya benci. Albert Camus punya istilah untuk orang seperti saya, intelektual kafe, ia tentu menyindir karib dan lawannnya Sartre.
Keberadaan pemerintah kita memang tolol dan gagal. Tapi dengan kondisi masyarakat yang sungguh majemuk, dengan permasalahan yang begitu kompleks, menjadi diam dan abai adalah sikap yang kurang memiliki empati. Tentu negara bersama pemerintahnya bukan obat sapu jagat yang bisa memperbaiki seluruh keadaan. Tapi kita bisa menuntut mereka untuk bekerja dengan baik dan maksimal.
Jika anda saja tidak mengakui keberadaan negara, mengapa anda menuntut negara dan apaturnya untuk peduli dengan anda dan masalah anda?
Aparatur negara sering kongkalikong dengan pemilik kapital. Ini benar dan ratusan tahun sejarah perjuangan proletariat, borjuisme dan friksi antar kelas sampai hari ini adalah buktinya. Tapi menihilkan peran negara sama sekali juga abai, ada kok negara-negara kesejahteraan (welfare state) yang memuliakan dan berpihak pada warganya.
Tentu menjadi mandiri dan berdaulat secara berkelompok tanpa bantuan negara baik. Toh banyak contoh yang bisa menjadi inspirasi. Seperti masyarakat Samin, Badui dan juga para Shaman Mentawai. Tapi abai dan sok sokan tidak butuh negara tanpa memiliki landasan pemahaman yang baik tentang konstitusi juga agak gimana.
Menolak negara tapi menuntut aparatur negara untuk bersikap baik. Menolak pemerintah dan membayar pajak, tapi marah marah jika ada jalan yang rusak, gaji guru terlambat, PLN byarpet, koneksi internet kacau, wifi gratis Telkom lelet. Bagi saya perlu ada jalan keluar yang baik. Bahwa solidaritas tidak melulu dengan mengacungkan tinju, membuat poster garang atau melakukan vandalisme.
Ada yang lebih santun. Kerja kerja komunal dan terorganisir dari Pak Roem Topatimasang. Seorang guru rakyat yang mendedikasikan hidupnya untuk orang-orang terpinggirkan lebih tiga puluh tahun terakhir. Ia tidak perlu menjadi garang dengan membakar ATM. Meski demikian saya paham jika beberapa teman, menyerukan golput atau kerap mengkritik pilihan politik seseorang.
Gerakan sosial semestinya praktis dan efektif. Tidak masalah apakah itu mesti bekerja sama dengan negara, menihilkan peran negara, bekerja secara komunal atau swadaya bersama masyarakat. Pada akhirnya gerakan sosial adalah masalah penyadaran diri, kedaulatan rakyat dan kemandirian bersama.