Kenangan

dhani
5 min readOct 26, 2020
The Drinkers (1890) by Vincent Van Gogh. Original from the Art Institute of Chicago. Digitally enhanced by rawpixel.

Usai krisis moneter 1998 keluargaku mengalami kesulitan ekonomi. Aku ingat, mungkin pada awal 2001 saat SMP kelas dua, aku pulang dalam keadaan lapar. Di rumah tak ada makanan, ibu bilang ia lupa masak nasi, ia lantas memintaku untuk pergi ke rumah bibiku. Rumah bibi tidak terlalu jauh, naik sepeda hanya butuh 15 menit. Aku sampai di rumah bibi dan bertemu dengan Erwin, sepupuku. Kami makan siang sup ceker ayam pedas. Pamanku bilang aku harus nambah dan nanti boleh bawa pulang sisa sup itu untuk ibuku.

Bertahun kemudian aku tahu kalau ibu sudah tak punya uang sama sekali. Bahkan untuk beras ia tak ada. Ada saat di mana ibu hanya makan tiga kali seminggu dengan dalih puasa. Kamu tahu puasa nabi Daud? Sehari makan dan sehari tidak. Ibu perlu menahan diri untuk menghemat beras dan lauk. Saat itu bisnis keluarga kami sedang berantakan. Usaha kerupuk nyaris gulung tikar, toko sepi, dan sejak bapak kecelakaan hingga gegar otak, uang tabungan keluarga habis untuk biaya pengobatan. Bertahun kemudian setelah aku dewasa, ibu bercerita tentang kondisi ekonomi keluarga kami saat itu, aku merasa sungguh tolol.

Ibu juga membuat kami anak-anaknya mencintai makanan rumah. Apapun yang disajikan ibuku dengan ajaib menjadi makanan yang enak. Nasi yang dimakan dengan ikan teri dan sambal. Itu saja, dua piring nasi dengan sesendok teri pedas super asin yang membuatmu kenyang. Atau martabak mie dengan potongan bawang yang banyak dan dimakan dengan kecap yang diberi potongan cabai. Seringkali ibu hanya makan sisa makan kami, ia selalu punya kesibukan saat kami makan. Entah menjahit, entah mencuci wajan, aku baru sadar ia memberikan jatah makannya untuk kami.

Makanan yang dibuat ibu mungkin tak punya nilai gizi, tapi ia murah, sangat murah malah. Ibu memberi beras dengan kualitas paling buruk agar bisa dapat lebih banyak. Menanak nasi dan mencampurnya dengan beras jagung. Olahan tahu dan tempe yang dibikin ibu juga dengan ajaib tak pernah membosankan. Tahu campur yang dimasak dengan sambal kacang dan ditumis, atau orek tempe yang diberi potongan daun jeruk kering kriuk yang memberi cita rasa asam pedas manis. Kemiskinan mengajarkan kami cara untuk menikmati bahan murah melalui olahan yang aduhai.

Aku tak pernah merasakan krisis, atau kukira krisis ekonomi adalah sesuatu yang jauh, di Jakarta sana. Kini saat pandemi datang, saat ekonomi berantakan, saat pekerjaan susah didapat, saat semua terasa demikian mencekik, aku ingat orangtuaku. Bagaimana mereka bisa bertahan dalam kondisi mengerikan itu? Saat pekerjaan tak ada, saat uang susah didapat, saat harus membayar uang sekolah anak, dan bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apa yang harus dilakukan? Apa siasat mereka saat itu?

Orangtuaku punya lima anak. Dengan tiga anak sedang kuliah saat itu, sementara aku dan adikku ada di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, biaya hidup bulanan tentu sangat besar. Kami bukan orang kaya, bapak kontraktor bangunan yang mengawasi proyek pembangunan dari pemerintahan. Sementara ibu pedagang kerupuk dan sesekali membuka toko kelontong. Bagaimana mungkin dengan pekerjaan semacam itu bapak-ibu bisa membiayai seluruh kebutuhan kami?

Bapak bilang ia menerima pekerjaan sampingan membetulkan tembok rumah, membangun jalan di gang-gang dari urunan warga, kadang jika beruntung membangun masjid dari sumbangan orang kaya. Ibu menggoreng kerupuk sendirian, membungkusnya, lantas menjual kerupuk itu bersama kakakku. Mereka melakukan apapun untuk bertahan hidup, meski itu harus mengirim anak-anaknya untuk makan di rumah saudara.

Ada waktu dimana ibu mesti bertemu dengan kepala sekolah karena telat membayar uang sekolah. Ada waktu dimana kami mesti makan nasi dengan satu telur dadar yang dicampur tepung dan garam agar bisa jadi lebih banyak. Ada waktu di mana kami pura-pura tak ada di rumah karena penagih hutang menggedor pintu rumah. Ada juga kami mesti menerima telpon dari debt collector karena tagihan kartu kredit yang lewat tenggat. Aku ingat, kami harus diam di kamar menanggung malu karena penagih hutang berteriak di depan rumah hingga tetangga datang ke halaman rumah kami.

Aku tidak paham mengapa bapak mengambil kartu kredit jika tak punya uang? Ibuku bilang kadang untuk beli makanan, sehari-hari, juga sisa hutang terdahulu, untuk membeli bahan baku kerupuk, yang kemudian barang produksinya tak laku terjual, modal macet, tak mampu membayar hutang. Aku ingin tahu bagaimana mereka bisa melunasi hutang puluhan hingga ratusan juta sembari merawat dan memenuhi kebutuhan kami anak-anaknya.

Ibu tetap berdagang kerupuk ketika krisis terjadi. Dahulu kami punya banyak pekerja. Tiga orang membantu menggoreng kerupuk. Tiga orang membuat kerupuk mentah kemudian menjemurnya hingga kering. Lantas lima orang untuk membungkus kerupuk yang telah jadi. Kami membantu banyak orang untuk bisa hidup, lantas satu persatu harus dikurangi karena pemasukan yang terus berkurang.

Ibu bilang ia menjual mobil bapak, lantas membeli pick up untuk mengirim kerupuk dan membeli bahan baku. Ibu juga membuka persewaan playstation dengan dua TV yang berkembang jadi lima TV setelahnya. Di sela-sela rental playstation itu, ibu menjual indomie goreng, kopi, dan penganan lain. Kadang kami mendapat cukup banyak uang dalam sehari, kadang berhar-hari sepi. Ibu dan kakakku bersiasat untuk mencari tambahan uang.

Saat SMP dan SMA aku jalan kaki ke rumah saudara-saudaraku, karena sepeda yang ada harus dipakai bergantian. Setiap hari sebelum ke sekolah ibu memberiku 10 bungkus kerupuk untuk dijual di warung. Dari situ aku mendapatkan uang saku. Tentu ada rasa malu, saat teman-teman lain naik motor ninja, satria, hingga motor modif berwarna-warni. Tapi apa arti malu jika kamu diancam kelaparan? Apa arti malu jika kamu hidup dalam kemiskinan?

Ibu juga membantu sodara-sodara kami. Bantu keponakan yang lain, paman dan bibi yang kesulitan membayar uang sekolah anak-anaknya, kadang sampai menjual barang-barang di rumah untuk membantu mereka. Aku baru tahu ketika kakak sepupu, bibi, dan saudara yang lain bercerita. Kini mereka menawariku rumah, menawariku pekerjaan, menawariku bantuan uang untuk membalas budi Ibuku.

Ibu pernah bilang sebelum membantu orang lain, pastikan diri sendiri aman sehingga kamu tak perlu direpotkan jika nanti ditimpa kemalangan. Tapi dalam hidup, aku melihat ibu lebih sering membantu orang lain daripada membantu diri sendiri. Aku juga kesulitan membuat batasan, membuat boundaries, kerap kali jika orang meminta bantuan, aku menolong mereka begitu saja. Saat ini solidaritas sosial jadi demikian berharga. Ia bisa jadi penentu hidup mati seseorang kala pandemi.

Aku kini bersiap untuk meniru orangtuaku. Melakukan apapun, termasuk menjual barang-barang yang kumiliki saat ini, untuk bisa bertahan hidup. Aku tak tahu apa yang akan terjadi besok, bulan depan, tahun depan, yang bisa dilakukan hari ini adalah berusaha sebaik-baiknya. Melamar pekerjaan baru, mengasah kemampuan diri, membentuk relasi baru, mengembangkan jaringan kerja, hingga mengurangi hal-hal tak penting untuk menekan biaya hidup.

Pandemi memukul jatuh banyak orang. Aku salah satunya. Aku tak tahu apa yang akan terjadi. Yang bisa dilakukan adalah berikhtiar sebisanya. Menolak tunduk pada rasa takut, rasa malu, dan rasa putus asa. Jika aku harus merangkak, aku akan merangkak. Jika aku harus merayap, aku akan merayap. Aku akan melakukan apapun untuk bisa bertahan. Aku berharap kamu juga demikian. Tidak menyerah, besok akan datang lagi, dan kita akan bersiap lagi menghadapi yang tanda tanya.

--

--

dhani
dhani

Written by dhani

Spinning tales with the remnants of broken hearts, because why waste good pain?

No responses yet